Misteri Dibalik Jendela Batin
Didalam batin kita ternyata ada khasanah yang agung melebihi
kebesaran Jagad Semesta. Kita bisa melihatnya, bukan dengan mata kepala,
tetapi dengan matahati kita. Apa yang tampak dalam wujud fisik kita
hanyalah lambang belaka dari hakikat yang ada didalam dada.
Jika saja ada anatomi batin, tentu saja ada penglihatan, rasa dan pendengaran batin, bahkan ada Ibadah-ibadah yang mesti dilakukan oleh batin kita, sebagaimana keharusan yang dilakukan oleh gerak-gerik fisik kita.
Kalau kita merasa bersedih, dimanakah tempat bersedih? Kalau kita bergembira, dimanakah tempat kegembiraan itu? Kalau kita sedang mencintai, dimanakah tempatnya cinta? Kalau kita sedang rindu dimanakah rindu itu sesungguhnya? Kalau kita sedang menikmati, dimanakah wilayah nikmat dalam batin kita?
Allah memiliki Sebuah Nama yang disebut dengan Al-Baathin (Yang Maha Batin), lalu apa hubungannya dengan nuansa batiniyah dan lahiriyah kita? Bagaimana batin kita bisa merasakah gelap dan terang?
Ada apa dengan batin kita? Tiba-tiba kita menanyakan sesuatu yang selalu hadir, tetapi terasa misterius, dan sehari-hari, terkadang kita biarkan mengalir dengan sendirinya, tanpa kita berhasrat untuk mengusik lebih jauh. Tetapi siapa yang bisa membendung kerinduan batin itu sendiri untuk hadir dalam penyaksian jiwa kita, dan mengenal Sang Penggerak Batin, Yang Maha Al-Bathin, Allah Ta'ala?
Ketika waktu menembus tengah malam, kita seperti sedang mengembara di jagad semesta. Di balik jubah hitam yang menyelimuti semesta itu, tanpa terasa kita telah menggapai satu bintang ke bintang lainnya. Tetapi kita tidak pernah menjenguk diri kita, apa dan siapa yang tadi mengembara ke cakrawala malam itu? Mengapa sebegitu mudah, seakan-akan seluruh cakrawala itu ada di genggaman kita? Apakah seluruh benda-benda di langit, di bumi dan bahkan makhluk-makhluk Allah di langit itu memiliki hubungan erat dengan diri kita?
Mari kita ketuk pintu batin kita, untuk sekadar membuka hakikat-hakikat dibalik misteri perjalanan hidup kita, lalu kita teguhkan keyakinan-keyakinan kita, yang selama ini naik turun diantara lembah-lembah ngarai, puncak-puncak bukit dan jurang-jurang kehidupan. Lalu muncul adalah perasaan suka dan duka, sedih dan bahagia, bahkan keharuan-keharuan yang tak terhingga, bahkan berlanjut dengan sejuta pertanyaan yang memburu kita. Kita mulai memasuki fakta dan hakikat sesungguhnya, kebenaran-kebenaran yang tidak hanya kita pandang dari sudut dan bilik-bilik pemikiran kita, tetapi sudah mulai menampkkan bayang-bayang, sampai pada titik tertentu, adalah gambaran sesungguhnya tentang kita, diri kita, hakikat kita.
Dalam ruang dalam di dada kita (limaa fish shuduur) ternyata ada kehidupan yang sesungguhnya. Di ruang tengah ada jantung , yang terletak di sisi dada kiri kita, dan itulah yang disebut Qalbu. Dunia Qalbu adalah sentra dari seluruh aktivitas batin kita, yang secara organik termekanis oleh gerak gerik batin kita. Dan Qalbu lah yang memutuskan untuk menerima atau menolak.
Al-Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazaly
secara cemerlang membedah anatomi batin kita dalam kitabnya Al-Ihya,
dengan uraian yang begitu sistematis, menggambarkan organisasi batin
ini. Sebab jauh-jauh Rasulullah Saw, telah mengisyaratkan adanya segumpal darah yang sangat menentukan kebaikan dan keburukan kita.
Al-Ghazali membagi sudut utama batin menjadi Qalbu, Ruh, Nafsu dan Akal.
Sementara Syeikhul Akbar Muhyiddin Ibnu Araby, membuat klasifikasi,
dengan, Al-Fikr, Al-Aql, Al-Fuad dan Al-Lubb.
Qalbu itulah yang dikatakan sebagai Hakikat Manusia. Hakikat yang terus menerus bergerak mengatur organisme ruhaninya. Dan karenanya, Qalbu disebut sebagai Lathifah Rabbaniyah, yang mengenal dimensi Ketuhanan, sebab Allah berada diantara person dan qalbunya.
Qalbu yang sesungguhnya bermakna berbolak balik, karena fungsi qalbu itu sendiri yang senantiasa menjadi fokus tarik menarik antara Ruh dan Nafsu kita. Ruh yang terus menerus menghembuskan nafas kebajikan menuju kepada Allah, sementara Nafsu mencemarkan dengan udara kotor yang menyeret Qalbu agar berbuat jahat, buruk dan destruktif, melalui kebinatangan nafsu dan kebuasannya. Di sela-sela tarik-menarik itulah syetan memasuki ruang dalam bilik-bilik peredaran darah yang mengaliri seluruh diri kita.
Qalbu itulah yang kelak disebut sebagai Arasy, atau cermin dari Arasy Ilahi. Dan sebab itu, dalam Hadits Nabi Saw, dikatakan, Qalbu seorang Mukmin adalah Arasy Allah. Istana Ilahi yang ada dalam diri kita. Jika dada spiritual kita disebut Al-Kursi, maka Qalbu adalah Arasy nya. Seluruh wilayah di dalam dada akan diorganisir menurut perintah Qalbu. Qalbu yang dipenuh cahaya CintaNya, sehingga sang hamba memenuhi ruang qalbu dengan mencintaiNya, adalah Qalbu para AuliyaNya.
Sejumlah metafor Qalbu dibangun oleh Al-Ghazali. Qalbu ibarat cermin. Gambar yang memantul dalam cermin itu adalah ilmu-ilmu hakikat. Dan dalam cermin itu sebuah kebenaran diterima dalam mosaik cermin Qalbu. Penerimaan kebenaran oleh hati, bisa melalui informasi yang diterima, atau melalui kenyataan yang diyakini, atau bahkan kenyataan atau fakta yang yang disaksikan dengan jelas, khususnya oleh kaum Shiddiqin dan Auliya.
Tetapi mosaik ini akan buram dan menghalangi cahaya kebenaran yang memantul dalam hati kita, lewat sejumlah penghalang: Gambar yang memantul dalam cermin itu rusak; atau cermin itu buruk dan ternoda; atau cermin itu berlainan arah; atau cermin itu tertutupi oleh hijab tertentu, dan tentu saja rupa dalam cermin akan tidak tampak manakala yang memandang memang bodoh tentang pengetahuan rupa dan cermin itu sendiri.
Bila hakikat manusia adalah Qalbu, lalu apakah hakikat Qalbu itu? Hakikat Qalbu adalah nuansa batinnya qalbu. Qalbu ini menjadi wilayah dari batinnya sendiri, yang disebut sebagai Ruh. Dalam anatomi fisik, ruh biasa disebut dengan nyawa yang bertempat dalam titik hitam di tengah jantung. Tetapi secara hakiki, Ruh adalah Kelembutan Rabbaniyah yang menggerakkan Qalbu Ruhani. Maka di dalam Ruh itu ada Amar yang mengatur gerak-gerik Ruh dari Allah Ta'ala. Karena itu dalam Al-Quran disebutkan, Katakanlah bahwa Ruh itu adalah Amar Tuhanku. (Al-Isra: 85), dan pada ayat lain dijelaskan, Ruh dipertemukan dari AmarNya pada orang yang dikehendaki dari para hambaNya pada hari pertemuan. (Ghaafir: 15), atau ayat, Mereka yang telah dicatat di hati mereka, keimanan, dan dikokohkan dengan ruh dari Allah. (Al-Mujaadilah: 22)
Mereka yang berada dalam wilayah Ruhiyah adalah para Muqarrabun, karena penguasaan Ruh Ilahiyah yang melimpah begitu kuat dalam dirinya. Para Muqarrabun yang jumlahnya sedikit di dunia ini, adalah mereka yang disebut dalam Al-Quran, Dan tidak Kami beritahu tentang (ruh) kecuali sedikit. Para Auliya Allah, ruh mereka senantiasa terfokus pada musyahadah (penyaksian) Kemahaagungan Allah dimana-mana, dan kapan saja. Ruh mereka berada dalam alam Malakut-Nya, yang terus menerus menyucikan Allah. Itulah nuansa kaum Muqarrabun.
Jika Ruh posisinya di atas Qalbu, maka Nafsu berada di bawah Qalbu. Pada dasarnya, Nafsu merupakan refleksi dari seluruh keadaan dunia dalam kita, termasuk di sana Qalbu dan ruh, akal dan fikiran. Tetapi, yang demikian itu bermakna Nafsu sebagai Nafs yang berarti jiwa. Namun secara khusus, Nafsu memiliki bilik-bilik transformatif di dalam jiwa itu sendiri, yang kelak terbagi-bagi dalam kamar-kamar jiwa kita.
Paling rendah adalah Nafsu Ammarah, yaitu Nafsu yang senantiasa memerintahkan kita untuk berbuat jahat, yang kelak melahirkan sifat-sifat tercela (al-Madzmumat) disebabkan oleh dorongan sifat nafsu ini yang mengarah pada syahwat dan marah serta sifat-sifat tercela lainnya. Jika nafsu ini mendapatkan Rahmat Allah, ia akan selamat. Dari nafsu Ammarah naik ke Nafsu Lawwamah, yaitu nafsu yang pasif, antara kebaikan dan keburukan, dan terombang ambing di sana. Seseorang terkadang menuruti syahwat dan keburukan lainnya, kadang ia terdorong untuk bertobat dan kebaikan.
Lalu naik ke tahap Nafsu Muthmainnah, yaitu Nafsu yang tenteram. Nafsul Muthmainnah adalah kondisi dimana seseorang berada dalam ketenangan bersama Allah, dari dan kepada Allah. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang kembali kepada Allah (an-Nafs al-Murjiah). Dan yang bisa kembali kepada Allah hanyalah orang-orang senantiasa berdzikir kepada Allah.
Jiwa atau Nafs yang bisa kembali kepada Allah-lah yang bisa tenteram, dan ketentraman jiwa inilah yang menghantar pada kerinduan hamba untuk meraih Ridha Allah. Maka di gerbang Nafsu berikutnya adalah Nafsu Raadhiyyah . Nafsu Raadhiyah adalah kondisi Nafsu yang melampaui Muthmainnah. Karena itu, pada situasi Raadhiyyah, seseorang sudah tidak memikirkan lagi syurga dan neraka. Yang ada hanyalah kerinduan pada Ridha Allah Ta'ala.
Akhir dari Radhiyah adalah Nafsu Mardhiyyah. Seorang hamba telah menjadi Ridha itu sendiri dalam kontemplasi ruhaniyahnya. Karena ia tidak lagi berupaya meraih RidhaNya, sebab Ridha telah menjadi nama, sifat dan perilakunya.
Dari Mardhiyyah naik menjadi Nafs Mulhimah, yaitu Nafsu yang dilimpahi Ilham Allah, yang kelak berada dalam Nafsu Kaasyifah. Nafsu yang berada dalam ketercerahan Rahasia-rahasia Batin (Al-Asraar), yang menjadi gerbang dari Nafs Arifah (yang terus menerus marifat kepada Allah. Dan puncaknya adalah Nafs Kamilah, nafsu yang peripurna dalam tranformasi ruhani seorang hamba yang mendapat predikat Insan Kaamil.
Jika Nafsu (syahwat dan ghadab), Ammarah, itu melahirkan sifat-sifat Madzmumat (tercela), seperti Kufur, Syirik, Iri, Dengki, Takabbur, Riya, Mencintai Dunia, Tajub pada diri (keakuan), Merasa paling bisa dan hebat, Menuruti Syahwat, Ghibah (menggunjing), Ambisius, Serakah, Dzalim, Nifaq, Fasiq, dan seluruh sifat tercela yang bisa menghancurkan diri sendiri, justru sebaliknya jika Allah melimpahkan rahmat pada Nafs, maka akan mengalami transformasi menuju kesempurnaan nafsu itu sendiri, dengan sejumlah predikat Akhlak al-Mahmudah (terpuji), seperti kehambaan, ketaubatan, kezuhudan, kewaraan kesyukuran, keridhaan, ketawakkalan, qanaah, dan sampai tahap-tahab Mahabbah dan Marifah.
Nafsu yang bisa terasah dalam kecermelangan, pada mulanya bisa berada dalam ketenteramannya dan seterusnya. Tetapi ketika didominasi oleh Ammarah dan Lawwamah, akan semakin terjerembab oleh lumpurnya sendiri.
Namun perlu diingat dalam Nafsu manusia ada empat dimensi buruk: 1) Sifat-sifat keganasan atau kebuasan yang melhirkan emosi marah. 2) Sifat-sifat hewaniyah yang berperilaku bak binatang. Kedua sifat diatas akan melahirkan rasa senang terhadap kejahatan, kemenangan, pemaksaan, rekayasa buruk dan pengkhianatan. Dari sinilah melahirkan sifat yang ke 3) Sifat-sifat Syaithaniyah. Dan ke 4) Sifat-sifat Rabbaniyah, yaitu sifat yang berambisi ingin menyamai Tuhan, ingin dipuja, ingin disembah, ingin dicatat nama kebesarannya.
Dimensi batin lain yang tak kalah pentingnya adalah Akal. Dalam hadits Nabi disebutkan, Awal mula yang diciptakan oleh Allah adalah Akal. Hadits lain menyebutkan, Qalam, dan hadits lain lagi menyebutkan An-Nuur. Ketiganya, Akal, Qalam dan Nur, sesungguhnya satu wilayah dengan istilah berbeda. Fungsi akal adalah melihat yang benar dan yang salah, yang kelak akan diputuskan oleh Qalbu apakah yang benar itu diterima dan yang salah itu ditolak, adalah tergantung keputusan Qalbu.
Kedudukan Akal di sisi Qalbu, ibarat kedudukan raja dengan perdana menterinya. Sedangkan badan kasar kita adalah wilayah kekuasaannya.
Akal manusia hanya bisa melahirkan kebijaksanaan-kebijaksanaan, tetapi akal tidak bisa memutuskan suatu keyakinan. Karena keyakinan itu wilayahnya Qalbu. Oleh sebab itu sehebat apa pun akal manusia, maka akal manusia tidak bisa menyerap dimensi spiritual yang hakiki. Ia sebatas berada dalam paradigma filsafatan saja. Maka bila akal ditanya, Wahai akal, apakah sesungguhnya induk dari pengetahuan anda ini? Ia akan menjawab, Induk Ilmu pengetahuan adalah filsafat. Lalu ditanya apakah induk filsafat itu? Akal tak mampu menjawabnya. Qalbu lah yang mampu menjawabnya. Induk filsafat adalah Ahli Dzikir.
Dalam organisme Batin kita kelak akan berhubungan dengan pengetahuan-pengetahuan ruhaniyah dalam pantulan dengan Cahaya Allah (An-Nuur). Maka lembaga batin inilah yang bisa memandang hubungan-hubungan organisma antara kekayaan batinnya dengan Iradah dan Qudrat Allah Ta'ala, termasuk dalam merespon Akhlaq-Akhlaq Allah dalam kefanaan hambaNya, dan kebaqaan-Nya.
Qalbu itulah yang dikatakan sebagai Hakikat Manusia. Hakikat yang terus menerus bergerak mengatur organisme ruhaninya. Dan karenanya, Qalbu disebut sebagai Lathifah Rabbaniyah, yang mengenal dimensi Ketuhanan, sebab Allah berada diantara person dan qalbunya.
Qalbu yang sesungguhnya bermakna berbolak balik, karena fungsi qalbu itu sendiri yang senantiasa menjadi fokus tarik menarik antara Ruh dan Nafsu kita. Ruh yang terus menerus menghembuskan nafas kebajikan menuju kepada Allah, sementara Nafsu mencemarkan dengan udara kotor yang menyeret Qalbu agar berbuat jahat, buruk dan destruktif, melalui kebinatangan nafsu dan kebuasannya. Di sela-sela tarik-menarik itulah syetan memasuki ruang dalam bilik-bilik peredaran darah yang mengaliri seluruh diri kita.
Qalbu itulah yang kelak disebut sebagai Arasy, atau cermin dari Arasy Ilahi. Dan sebab itu, dalam Hadits Nabi Saw, dikatakan, Qalbu seorang Mukmin adalah Arasy Allah. Istana Ilahi yang ada dalam diri kita. Jika dada spiritual kita disebut Al-Kursi, maka Qalbu adalah Arasy nya. Seluruh wilayah di dalam dada akan diorganisir menurut perintah Qalbu. Qalbu yang dipenuh cahaya CintaNya, sehingga sang hamba memenuhi ruang qalbu dengan mencintaiNya, adalah Qalbu para AuliyaNya.
Sejumlah metafor Qalbu dibangun oleh Al-Ghazali. Qalbu ibarat cermin. Gambar yang memantul dalam cermin itu adalah ilmu-ilmu hakikat. Dan dalam cermin itu sebuah kebenaran diterima dalam mosaik cermin Qalbu. Penerimaan kebenaran oleh hati, bisa melalui informasi yang diterima, atau melalui kenyataan yang diyakini, atau bahkan kenyataan atau fakta yang yang disaksikan dengan jelas, khususnya oleh kaum Shiddiqin dan Auliya.
Tetapi mosaik ini akan buram dan menghalangi cahaya kebenaran yang memantul dalam hati kita, lewat sejumlah penghalang: Gambar yang memantul dalam cermin itu rusak; atau cermin itu buruk dan ternoda; atau cermin itu berlainan arah; atau cermin itu tertutupi oleh hijab tertentu, dan tentu saja rupa dalam cermin akan tidak tampak manakala yang memandang memang bodoh tentang pengetahuan rupa dan cermin itu sendiri.
Bila hakikat manusia adalah Qalbu, lalu apakah hakikat Qalbu itu? Hakikat Qalbu adalah nuansa batinnya qalbu. Qalbu ini menjadi wilayah dari batinnya sendiri, yang disebut sebagai Ruh. Dalam anatomi fisik, ruh biasa disebut dengan nyawa yang bertempat dalam titik hitam di tengah jantung. Tetapi secara hakiki, Ruh adalah Kelembutan Rabbaniyah yang menggerakkan Qalbu Ruhani. Maka di dalam Ruh itu ada Amar yang mengatur gerak-gerik Ruh dari Allah Ta'ala. Karena itu dalam Al-Quran disebutkan, Katakanlah bahwa Ruh itu adalah Amar Tuhanku. (Al-Isra: 85), dan pada ayat lain dijelaskan, Ruh dipertemukan dari AmarNya pada orang yang dikehendaki dari para hambaNya pada hari pertemuan. (Ghaafir: 15), atau ayat, Mereka yang telah dicatat di hati mereka, keimanan, dan dikokohkan dengan ruh dari Allah. (Al-Mujaadilah: 22)
Mereka yang berada dalam wilayah Ruhiyah adalah para Muqarrabun, karena penguasaan Ruh Ilahiyah yang melimpah begitu kuat dalam dirinya. Para Muqarrabun yang jumlahnya sedikit di dunia ini, adalah mereka yang disebut dalam Al-Quran, Dan tidak Kami beritahu tentang (ruh) kecuali sedikit. Para Auliya Allah, ruh mereka senantiasa terfokus pada musyahadah (penyaksian) Kemahaagungan Allah dimana-mana, dan kapan saja. Ruh mereka berada dalam alam Malakut-Nya, yang terus menerus menyucikan Allah. Itulah nuansa kaum Muqarrabun.
Jika Ruh posisinya di atas Qalbu, maka Nafsu berada di bawah Qalbu. Pada dasarnya, Nafsu merupakan refleksi dari seluruh keadaan dunia dalam kita, termasuk di sana Qalbu dan ruh, akal dan fikiran. Tetapi, yang demikian itu bermakna Nafsu sebagai Nafs yang berarti jiwa. Namun secara khusus, Nafsu memiliki bilik-bilik transformatif di dalam jiwa itu sendiri, yang kelak terbagi-bagi dalam kamar-kamar jiwa kita.
Paling rendah adalah Nafsu Ammarah, yaitu Nafsu yang senantiasa memerintahkan kita untuk berbuat jahat, yang kelak melahirkan sifat-sifat tercela (al-Madzmumat) disebabkan oleh dorongan sifat nafsu ini yang mengarah pada syahwat dan marah serta sifat-sifat tercela lainnya. Jika nafsu ini mendapatkan Rahmat Allah, ia akan selamat. Dari nafsu Ammarah naik ke Nafsu Lawwamah, yaitu nafsu yang pasif, antara kebaikan dan keburukan, dan terombang ambing di sana. Seseorang terkadang menuruti syahwat dan keburukan lainnya, kadang ia terdorong untuk bertobat dan kebaikan.
Lalu naik ke tahap Nafsu Muthmainnah, yaitu Nafsu yang tenteram. Nafsul Muthmainnah adalah kondisi dimana seseorang berada dalam ketenangan bersama Allah, dari dan kepada Allah. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang kembali kepada Allah (an-Nafs al-Murjiah). Dan yang bisa kembali kepada Allah hanyalah orang-orang senantiasa berdzikir kepada Allah.
Jiwa atau Nafs yang bisa kembali kepada Allah-lah yang bisa tenteram, dan ketentraman jiwa inilah yang menghantar pada kerinduan hamba untuk meraih Ridha Allah. Maka di gerbang Nafsu berikutnya adalah Nafsu Raadhiyyah . Nafsu Raadhiyah adalah kondisi Nafsu yang melampaui Muthmainnah. Karena itu, pada situasi Raadhiyyah, seseorang sudah tidak memikirkan lagi syurga dan neraka. Yang ada hanyalah kerinduan pada Ridha Allah Ta'ala.
Akhir dari Radhiyah adalah Nafsu Mardhiyyah. Seorang hamba telah menjadi Ridha itu sendiri dalam kontemplasi ruhaniyahnya. Karena ia tidak lagi berupaya meraih RidhaNya, sebab Ridha telah menjadi nama, sifat dan perilakunya.
Dari Mardhiyyah naik menjadi Nafs Mulhimah, yaitu Nafsu yang dilimpahi Ilham Allah, yang kelak berada dalam Nafsu Kaasyifah. Nafsu yang berada dalam ketercerahan Rahasia-rahasia Batin (Al-Asraar), yang menjadi gerbang dari Nafs Arifah (yang terus menerus marifat kepada Allah. Dan puncaknya adalah Nafs Kamilah, nafsu yang peripurna dalam tranformasi ruhani seorang hamba yang mendapat predikat Insan Kaamil.
Jika Nafsu (syahwat dan ghadab), Ammarah, itu melahirkan sifat-sifat Madzmumat (tercela), seperti Kufur, Syirik, Iri, Dengki, Takabbur, Riya, Mencintai Dunia, Tajub pada diri (keakuan), Merasa paling bisa dan hebat, Menuruti Syahwat, Ghibah (menggunjing), Ambisius, Serakah, Dzalim, Nifaq, Fasiq, dan seluruh sifat tercela yang bisa menghancurkan diri sendiri, justru sebaliknya jika Allah melimpahkan rahmat pada Nafs, maka akan mengalami transformasi menuju kesempurnaan nafsu itu sendiri, dengan sejumlah predikat Akhlak al-Mahmudah (terpuji), seperti kehambaan, ketaubatan, kezuhudan, kewaraan kesyukuran, keridhaan, ketawakkalan, qanaah, dan sampai tahap-tahab Mahabbah dan Marifah.
Nafsu yang bisa terasah dalam kecermelangan, pada mulanya bisa berada dalam ketenteramannya dan seterusnya. Tetapi ketika didominasi oleh Ammarah dan Lawwamah, akan semakin terjerembab oleh lumpurnya sendiri.
Namun perlu diingat dalam Nafsu manusia ada empat dimensi buruk: 1) Sifat-sifat keganasan atau kebuasan yang melhirkan emosi marah. 2) Sifat-sifat hewaniyah yang berperilaku bak binatang. Kedua sifat diatas akan melahirkan rasa senang terhadap kejahatan, kemenangan, pemaksaan, rekayasa buruk dan pengkhianatan. Dari sinilah melahirkan sifat yang ke 3) Sifat-sifat Syaithaniyah. Dan ke 4) Sifat-sifat Rabbaniyah, yaitu sifat yang berambisi ingin menyamai Tuhan, ingin dipuja, ingin disembah, ingin dicatat nama kebesarannya.
Dimensi batin lain yang tak kalah pentingnya adalah Akal. Dalam hadits Nabi disebutkan, Awal mula yang diciptakan oleh Allah adalah Akal. Hadits lain menyebutkan, Qalam, dan hadits lain lagi menyebutkan An-Nuur. Ketiganya, Akal, Qalam dan Nur, sesungguhnya satu wilayah dengan istilah berbeda. Fungsi akal adalah melihat yang benar dan yang salah, yang kelak akan diputuskan oleh Qalbu apakah yang benar itu diterima dan yang salah itu ditolak, adalah tergantung keputusan Qalbu.
Kedudukan Akal di sisi Qalbu, ibarat kedudukan raja dengan perdana menterinya. Sedangkan badan kasar kita adalah wilayah kekuasaannya.
Akal manusia hanya bisa melahirkan kebijaksanaan-kebijaksanaan, tetapi akal tidak bisa memutuskan suatu keyakinan. Karena keyakinan itu wilayahnya Qalbu. Oleh sebab itu sehebat apa pun akal manusia, maka akal manusia tidak bisa menyerap dimensi spiritual yang hakiki. Ia sebatas berada dalam paradigma filsafatan saja. Maka bila akal ditanya, Wahai akal, apakah sesungguhnya induk dari pengetahuan anda ini? Ia akan menjawab, Induk Ilmu pengetahuan adalah filsafat. Lalu ditanya apakah induk filsafat itu? Akal tak mampu menjawabnya. Qalbu lah yang mampu menjawabnya. Induk filsafat adalah Ahli Dzikir.
Dalam organisme Batin kita kelak akan berhubungan dengan pengetahuan-pengetahuan ruhaniyah dalam pantulan dengan Cahaya Allah (An-Nuur). Maka lembaga batin inilah yang bisa memandang hubungan-hubungan organisma antara kekayaan batinnya dengan Iradah dan Qudrat Allah Ta'ala, termasuk dalam merespon Akhlaq-Akhlaq Allah dalam kefanaan hambaNya, dan kebaqaan-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar