عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، اْلإِمَامُ رَاعٍ
وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ
زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ
سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِِ - رواه البخاري
Dari Abdullah bin Umar ra, Rasulullah SAW bersabda. “Setiap
kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung
jawaban dari apa yang dipimpinnya. Seorang Imam (pimpinan) adalah
pemimpin dan ia akan dimintai pertanggung jawaban dari apa yang
dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin di keluarganya dan ia
akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang
wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia akan dimintai
pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang khadim
(pembantu) adalah pemimpin pada harta tuannya (majikannya), dan ia
bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.”(HR. Bukhari, Muslim, Turmudzi, Abu Daud & Ahmad bin Hambal)
Terdapat beberapa hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini. Diantara hikmah-hikmah tersebut adalah :
1. Hakekat kepemimpinan dalam Islam.
Seorang pemimpin dalam Islam, bukanlah sekedar seseorang yang diangkat untuk menempati jabatan kepemimpinan tertentu, seperti jabatan presiden misalnya. Namun pemimpin adalah seseorang yang mendapatkan suatu amamat yang harus dikerjakan dan dilaksanakannya, kendatipun kecilnya amanat tersebut. Karena apa yang diamanatkan kepada dirinya, akan dimintai pertanggun jawabannya oleh Allah SWT secara keseluruhan tanpa terkecuali.
2. Manhaj Rasulullah SAW dalam mentarbiyah para sahabatnya.
Beliau senantiasa menanamkan rasa “kepemimpinan”, pada hati setiap sahabatnya. Contohnya adalah hadits ini, yang menanamkan rasa “kepemimpinan” sahabat, kendatipun ia hanya sebagai seorang khadim (pembantu), atau hanya sebagai seorang suami dan juga bahkan jika ia hanya sebagai seorang istri di rumah suaminya.
3. Persamaan tanggung jawab insan di hadapan Allah SWT.
Karena semua manusia akan kembali kepadanya, kendatipun tingginya kedudukan yang dimilikinya di dunia ini. Seorang khadim, belum tentu ia lebih hina di akhirat dibandingkan dengan majikannya. Seorang istri yang hanya sebagai ibu rumah tangga, bisa jadi ia lebih mulia dibandingkan dengan seorang presiden yang memimpin sebuah negara. Namun mereka semua memiliki satu kesamaan, yaitu pertanggung jawaban yang sama atas amanat yang Allah berikannya pada mereka. Inilah bukti keadilan Islam.
4. Antara Imam (pemimpin) dan khadim (pelayan).
Dalam hadits ini, Rasulullah SAW mendahulukan menyebut “Imam”, kemudian mengakhirkan menyebut “Khadim”. Hikmah dari mengawalkan imam dan mengakhirkan khadim adalah karena kecendrungan manusia yang sering silau dengan jabatan. Manusia berlomba-lomba mencari jabatan yang paling tinggi di kehidupan dunia ini, karena dipandang sebagai satu kemuliaan. Padahal semakin tinggi jabatan seseorang, maka semakin besar tanggung jawab yang akan dipikulnya di akhirat kelak. Dalam sebuah hadits umpamanya, Rasulullah SAW mengatakan :
1. Hakekat kepemimpinan dalam Islam.
Seorang pemimpin dalam Islam, bukanlah sekedar seseorang yang diangkat untuk menempati jabatan kepemimpinan tertentu, seperti jabatan presiden misalnya. Namun pemimpin adalah seseorang yang mendapatkan suatu amamat yang harus dikerjakan dan dilaksanakannya, kendatipun kecilnya amanat tersebut. Karena apa yang diamanatkan kepada dirinya, akan dimintai pertanggun jawabannya oleh Allah SWT secara keseluruhan tanpa terkecuali.
2. Manhaj Rasulullah SAW dalam mentarbiyah para sahabatnya.
Beliau senantiasa menanamkan rasa “kepemimpinan”, pada hati setiap sahabatnya. Contohnya adalah hadits ini, yang menanamkan rasa “kepemimpinan” sahabat, kendatipun ia hanya sebagai seorang khadim (pembantu), atau hanya sebagai seorang suami dan juga bahkan jika ia hanya sebagai seorang istri di rumah suaminya.
3. Persamaan tanggung jawab insan di hadapan Allah SWT.
Karena semua manusia akan kembali kepadanya, kendatipun tingginya kedudukan yang dimilikinya di dunia ini. Seorang khadim, belum tentu ia lebih hina di akhirat dibandingkan dengan majikannya. Seorang istri yang hanya sebagai ibu rumah tangga, bisa jadi ia lebih mulia dibandingkan dengan seorang presiden yang memimpin sebuah negara. Namun mereka semua memiliki satu kesamaan, yaitu pertanggung jawaban yang sama atas amanat yang Allah berikannya pada mereka. Inilah bukti keadilan Islam.
4. Antara Imam (pemimpin) dan khadim (pelayan).
Dalam hadits ini, Rasulullah SAW mendahulukan menyebut “Imam”, kemudian mengakhirkan menyebut “Khadim”. Hikmah dari mengawalkan imam dan mengakhirkan khadim adalah karena kecendrungan manusia yang sering silau dengan jabatan. Manusia berlomba-lomba mencari jabatan yang paling tinggi di kehidupan dunia ini, karena dipandang sebagai satu kemuliaan. Padahal semakin tinggi jabatan seseorang, maka semakin besar tanggung jawab yang akan dipikulnya di akhirat kelak. Dalam sebuah hadits umpamanya, Rasulullah SAW mengatakan :
قَالَ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ
عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ
غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ - رواه
مسلم
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang hamba yang Allah berikan amanat kepadanya berupa rakyat yang dipimpinnya kemudian ia mati dan pada saat ia mati ia berbuat kecurangan terhadap rakyatnya, melainkan Allah akan haramkan baginya surga (HR. Muslim)
5. Setiap muslim harus berhati hati terhadap profesi apapun yang diembannya;
apakah sebagai karyawan, pedagang, buruh pabrik, ibu rumah tangga, pembantu, tukang kebun, supir taksi, pengurus masjid, marbot masjid, bendahara yayasan, anggota dewan, pejabat, kepala sekolah dan lain sebagainya. Karena pada hakekatnya ia sedang memimpin pada “amanahnya” tersebut. Jika tidak berhati-hati, maka ia akan mendapatkan azab, karena lalai dalam menjalankan amanahnya.
apakah sebagai karyawan, pedagang, buruh pabrik, ibu rumah tangga, pembantu, tukang kebun, supir taksi, pengurus masjid, marbot masjid, bendahara yayasan, anggota dewan, pejabat, kepala sekolah dan lain sebagainya. Karena pada hakekatnya ia sedang memimpin pada “amanahnya” tersebut. Jika tidak berhati-hati, maka ia akan mendapatkan azab, karena lalai dalam menjalankan amanahnya.
Wallahu A’lam
0 komentar:
Posting Komentar