Kematian Hati
Banyak
orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut sedang mengintainya. Banyak orang
cepat datang ke shaf shalat layaknya orang yang amat merindukan kekasih. Sayang
ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi. Ia memperlakukan
Tuhannya seperti penagih hutang yang kejam. Ada yang datang sekedar memenuhi
tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang
tak dicari, ada tak disyukuri.
Tersanjungkah
engkau dengan licin lidahmu bertutur, sementara dalam hatimu tak ada apa-apa.
Kau kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati
jernih, bahwa engkau adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas
meyakini itu tanpa rasa takut. Abu Bakar Asshiddiq Ra. selalu gemetar saat
dipuji orang. “Ya Allah, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka,
janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah aku lantaran
ketidaktahuan mereka”, ucapnya lirih.
Ada
orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana, lalu ia
lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan
selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang
beramal sedikit dan mengklaim amalnya sangat banyak. Dan ada orang yang sama
sekali tak pernah beramal, lalu merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang
beramal, karena kekurangan atau ketidaksesuaian amal mereka dengan lamunan
pribadinya, atau tidak mau kalah dan tertinggal di belakang para pejuang.
Mereka telah menukar kerja dengan kata. Dimana kau letakkan dirimu?
Saat
kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu sering
engkau bergetar dan takut. Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah,
engkaupun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah
jadi biasa, tanpa rasa.
Telah
berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya
tak terasa lagi saat maksiat menggodamu dan engkau menikmatinya? Malam-malam
berharga berlalu tanpa satu rakaat pun kau kerjakan. Usia berkurang banyak
tanpa jenjang kedewasaan ruhani yang meninggi. Rasa malu kepada Allah, dimana
kau kubur dia?
Di
luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat
layar kaca, sampul majalah, atau bahkan melalui penawaran langsung. Ini potret
negerimu: 228.000 remaja mengidap putau. Dari 1.500 responden usia SMP &
SMU, 25% mengaku telah berzina dan hampir separuhnya setuju remaja berhubungan
seks di luar nikah asal jangan dengan perkosaan.
Mungkin
engkau mulai berpikir “Jamaklah, bila aku main mata dengan aktivis perempuan
bila engkau laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau berdialog dalam
jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak kau perlukan
sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh.” Betapa jamaknya ‘dosa
kecil’ itu dalam hatimu. Kemana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat
“TV Thaghut” menyiarkan segala “kesombongan jahiliyah dan maksiat”?
Saat
engkau muntah melihat laki-laki (banci) berpakaian perempuan, karena kau sangat
mendukung ustadzmu yang mengatakan “Jika Allah melaknat laki-laki berbusana
perempuan dan perempuan berpakaian laki-laki, apa tertawa riang menonton akting
mereka tidak dilaknat?”
Ataukah
taqwa berlaku saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling lantang “Ini tidak
Islami” berarti ia paling Islami, sesudah itu urusan tinggallah antara engkau
dengan dirimu, tak ada Allah disana?
Sekarang
kau telah jadi kader hebat. Tidak lagi malu-malu tampil. Justru engkau akan
dihadang tantangan: sangat malu untuk menahan tanganmu dari jabatan tangan
lembut lawan jenismu yang muda dan segar. Hati yang berbunga-bunga di depan
ribuan massa. Semua gerak harus ditakar dan jadilah pertimbanganmu tergadai
pada kesukaan atau kebencian orang, walaupun harus mengorbankan nilai terbaik
yang kau miliki.
Lupakah
engkau, jika bidikanmu ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak
300 meter dia tidak melenceng 1 milimeter lagi? Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, sedikit banyak
karena para elitenya telah salah
melangkah lebih dulu. Siapa yang mau menghormati ummat yang “kiayi” nya
membayar beberapa ratus ribu kepada seorang perempuan yang beberapa menit
sebelumnya ia setubuhi di sebuah kamar hotel berbintang, lalu dengan enteng
mengatakan “Itu maharku, Allah waliku dan malaikat itu saksiku” dan sesudah itu
segalanya selesai, berlalu tanpa rasa bersalah?
Siapa
yang akan memandang ummat yang da’inya berpose lekat dengan seorang perempuan
muda artis penyanyi lalu mengatakan “Ini anakku, karena kedudukan guru dalam
Islam adalah ayah, bahkan lebih dekat daripada ayah kandung dan ayah mertua”
Akankah engkau juga menambah barisan kebingungan ummat lalu mendaftar diri
sebagai ‘alimul lisan (alim di lidah)? Apa kau pikir sesudah semua kedangkalan
ini kau masih aman dari kemungkinan jatuh ke lembah yang sama?
Apa
beda seorang remaja yang menzinai teman sekolahnya dengan seorang alim yang
merayu rekan perempuan dalam aktivitas da’wahnya? Akankah kau andalkan
penghormatan masyarakat awam karena statusmu lalu kau serang maksiat mereka
yang semakin tersudut oleh retorikamu yang menyihir? Bila demikian, koruptor
macam apa engkau ini? Pernah kau lihat sepasang mami dan papi dengan anak
remaja mereka. Tengoklah langkah mereka di mall.
Betapa
besar sumbangan mereka kepada modernisasi dengan banyak-banyak mengkonsumsi
produk junk food, semata-mata karena
nuansa “western-nya” . Engkau akan
menjadi faqih pendebat yang tangguh
saat engkau tenggak minuman halal itu, dengan perasaan “lihatlah, betapa
Amerika-nya aku”. Memang, soalnya bukan Amerika atau bukan Amerika, melainkan
apakah engkau punya harga diri.
Mahatma
Ghandi memimpin perjuangan dengan memakai tenunan bangsa sendiri atau terompah
lokal yang tak bermerk. Namun setiap ia menoleh ke kanan, maka 300 juta rakyat
India menoleh ke kanan. Bila ia tidur di rel kereta api, maka 300 juta rakyat
India akan ikut tidur disana.
Kini
datang “pemimpin” ummat, ingin mengatrol harga diri dan gengsi ummat dengan
pameran mobil, rumah mewah, “toko emas berjalan” dan segudang aksesoris. Saat
fatwa digenderangkan, telinga ummat telah tuli oleh dentam berita tentang hiruk
pikuk pesta dunia yang engkau ikut mabuk disana. “Engkau adalah penyanyi
bayaranku dengan uang yang kukumpulkan susah payah. Bila aku bosan aku bisa
panggil penyanyi lain yang kicaunya lebih memenuhi seleraku.”
Oleh Ustadz Rahmat Abdullah rahimahullah. Ditulis ulang oleh Permana Pria Utama.
Oleh Ustadz Rahmat Abdullah rahimahullah. Ditulis ulang oleh Permana Pria Utama.
0 komentar:
Posting Komentar