All Out Dalam Kebaikan
Menjadi yang terbaik
adalah dambaan setiap manusia. Apapun pekerjaan yang dilakoni, biasanya
pemangku the best itu yang pertama kali disorot.
Sebagai contoh, misalnya, menjadi siswa
terbaik di sekolah, menjadi karyawan terbaik di perusahaan, atau menjadi
suami dan ayah terbaik bagi istri dan keluarga di rumah. Bahkan para
ahli menyimpulkan, dalam proses kelahiran manusia, maka sperma
terbaiklah yang menjadi pemenang dari sekian jutaan sperma-sperma
lainnya ketika itu. Sperma terbaik itulah yang berhasil menikahi sel
telur wanita hingga akhirnya menjadi cikal bakal manusia selanjutnya.
Dalam syariat Islam, menjadi yang terbaik
ternyata tak sekedar fitrah dan naluri manusia belaka. Ia juga menjadi
perintah yang tersirat dalam firman Alah;
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menjadikan kematian dan
kehidupan, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang terbaik
amalnya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS: al-Mulk [67]: 2).
Meski demikian, hal itu tentu tak semudah
membalik telapak tangan semata. Sebab ayat di atas juga menyimpan pesan
tersirat kepada setiap Muslim, untuk fokus pada usaha yang maksimal
tanpa menafikan hasil yang akan diperoleh. Suatu perbuatan tak mungkin
menjadi terbaik jika ia berangkat dari ketidakseriusan berbuat. Ia bisa
menjadi baik jika perbuatan tersebut benar-benar tulus diniatkan lalu
diiringi dengan usaha yang maksimal dalam berbuat.
Rasanya sulit membayangkan ketika ada
seorang hamba yang mengaku bisa khusyuk dalam shalatnya, misalnya.
Sedang ia sendiri ternyata ogah dalam mengerjakan ibadah shalat
tersebut. Sebagaimana seseorang jangan bermimpi bisa langsung lancar
membaca Al-Qur’an kalau ia sendiri selama ini malas-malasan mengaji di
rumah atau di masjid.
Fenomena gaya hidup instan yang terjadi di
tengah masyarakat hendaknya menjadi perhatian serius setiap Muslim.
Rupanya budaya yang lahir peradaban Barat itu –sadar atau tidak sadar-
menggerus pemahaman umat Islam secara perlahan. Hari ini tak banyak kita
temukan seseorang yang mampu bertahan dalam “kepayahan” sebuah proses
perbuatan.
Kini para orangtua dipaksa mengurut dada
ketika mendapati anak-anaknya memilih narkoba sebagai pelampiasan dari
kesulitan mereka belajar di sekolah. Tawuran justru menjadi alternatif
pilihan para pelajar sekarang. Padahal boleh jadi hal itu hanya dipicu
oleh persoalan sepele atau kesalahpahaman saja.
Sebenarnya, tak ada yang keliru dengan
kemajuan teknologi dan informasi yang begitu pesat saat ini. Tak ada
yang salah dengan perkembangan sains yang menjadikan segala urusan
menjadi mudah dan instan. Namun ia berubah menjadi masalah jika ternyata
hal itu menjadikan umat Islam kehilangan etos kerja dan spirit
bermujadahah. Hal itu menjadi bumerang yang melukai jika kaum muslimin
malah terjangkiti virus malas berusaha sedang ia berharap hasil yang
terbaik selalu. Sebab secara umum, mujahadah yang maksimal berbanding
lurus dengan hasil terbaik yang dimimpikan selama ini.
Keikhlasan dalam berinfak, misalnya, itu
datang dari latihan memberi yang berlangsung terus menerus. Ia memberi
di saat lapang sebagaimana infak itu tak pudar meski dalam keadaan susah
dan sempit. “Sirran” dan “alaniyah”, demikian Allah menyifati mujahadah dalam urusan berinfak guna mencapai kualitas infak terbaik tersebut.
Bahwa perintah itu berlaku meski terkadang
ia sendiri sangat butuh dengan uluran tangan orang lain. Sebagaimana
kenikmatan dan kekhusyukan shalat tersebut mampir setelah seorang hamba
jatuh bangun menegakkan shalat wajib secara berjamaah dan senantiasa
memelihara shalat shalat sunnah lainnya.
Paradigma ibadah akan berubah dengan sendirinya dalam diri seorang hamba, dari sebuah kewajiban menjadi suatu kebutuhan.
Tentunya (sekali lagi) hal tersebut tidak
lahir secara tiba-tiba. Ia bermula dari proses kesadaran yang panjang.
Dari kebiasaan yang terus dilatih selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya
ibadah shalat itu benar-benar menjadi amalan terbaik yang hanya
dipersembahkan kepada Allah Sang Pencipta semata.
Pun demikian dengan
seluruh amalan-amalan yang lain, ia bisa menjadi amalan terbaik jika
melewati proses mujahadah dan kesungguhan (all out) dalam berbuat kebaikan.
Paradigma ibadah akan berubah dengan sendirinya dalam diri seorang hamba, dari sebuah kewajiban menjadi suatu kebutuhan
0 komentar:
Posting Komentar