Hijrah-Hakikat Dan Aplikasinya Dalam Kehidupan Seorang Muslim.
الذين ءامنوا وهاجروا وجاهدوا في سبيل الله بأموالهم وأنفسهم أعظم درجة عند الله , وأولئك هم الفائزون
“ Orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah ; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan” [QS. At-Taubah : 20].
Muqaddimah
Dalam Al qur’an tidak kurang dari 31 kata yang berasal dari kata Hajara atau Hijrah. Dari jumlah itu tidak kurang dari 6 ayat yang menyebutkan kata Hajaruu (orang-orang yang berhijrah) bergandengan dengan kata Aamanuu (orang-orang yang beriman) dan Jahaduu (orang-orang yang berjihad). Ayat yang dikutip diatas adalah salah satunya. Belum lagi kata Hajaruu diiringi dengan kata Fillah (karena Allah) atau Fi Sabiilillah (di jalan Allah). Ini berarti betapa erat kaitan hijrah dengan iman. Hijrah sama sekali berbeda dengan Migrasi, hijrah adalah terminologi khas Islam yang landasanya iman kepada Allah. Jadi hijrah menjadi tolok ukur keimanan seseorang. Orang yang benar-benar beriman tentu tidak akan merasa berat melakukan hijrah. Sebaliknya, orang yang tidak melakukan hijrah menunjukan lemah atau tidak sempurna imannya. Yang menjadi persoalan sekarang adalah apa hakikat hijrah yang menjadi tolok ukur keimanan tersebut? dan bagaimana mengaplikasikannya dalam kehidupan kita sebagai seorang Muslim ?
Hijrah Makaniyah
Secara bahasa hijrah berarti At-Tarku yang artinya meninggalkan, baik meninggalkan tempat maupun meninggalkan sesuatu yang tidak baik. Dalam syari’at islam hijrah diartikan meninggalkan negeri kafir menuju negeri Islam karena takut fitnah. Fitnah disini maksudnya adalah bahaya yang dapat mengancam fisik dan keimanan seorang muslim, baik secara pribadi maupun secara kelompok. Dalam siroh Nabi atau sejarah kehidupan Rasulullah, kita kenal ada dua macam hijrah ; Pertama, hijrah ke Habasyah dan kedua hijrah ke Madinah. Hijrah ke Habasyah bertujuan sebagai perlindungan, artinya orang-orang yang melakukan Hijrah pada umumnya orang-orang yang lemah yang patut mendapatkan perlindungan, sementara orang-orang kuat justru dilarang ikut berhijrah. Oleh sebab itu, hijrah ini bersifat sementara. Sedangkan hijrah ke Madinah bertujuan untuk melakukan mobilisasi umat dalam rangka meletakkan basis kekuatan dan menegakkan daulah. Berbeda dengan hijrah ke Habasyah yang pada umumnya dilakukan oleh orang-orang lemah, hijrah ke Madinah ini justru dilakukan oleh orang-orang kuat. Oleh sebab itu, hijrah ke Madinah merupakan suatu keharusan bagi setiap mukmin. Hanya orang lemah, anak-anak, wanita dan orang-orang tua diizinkan untuk tidak berhijrah, sebagaimana firman Allah [QS.An-Nisa’ : 97-98]. Baik Hijrah ke Habasyah maupun hijrah ke Madinah dalam terminologi Islam disebut hijrah makaniyah (hijrah tempat).
Dalam aplikasinya sekarang hijrah makaniyah ini tidaklah mutlak harus dilakukan , karena hijrah makaniyah dalam bentuk pertama bisa dilakukan manakala negeri yang kita diami sudah sangat tidak aman sekali yang dapat mengancam keselamatan jiwa setiap mukmin, sehingga jangankan melaksanakan ibadah kepada Allah secara maksimal, secara minimal pun sulit dilaksanakan. Disamping itu harus ada negeri yang bisa memberi jaminan keamanan.
Sedangkan Hijrah makaniyah dalam bentuk kedua sebagaimana telah dijelaskan, tujuannya adalah untuk meletakkan basis kekuatan Islam. Kalau tujuan ini dapat dicapai tanpa hijrah. Maka tidak diperlukan lagi hijrah. Bukankah Rasulullah sebelum hijrah ke Madinah terlebih dahulu mencari tempat-tempat yang bisa dijadikan basis kekuatan sehingga Islam bisa ditegakkan, mulai dari Mekkah itu sendiri, Thaif dan suku-suku sekitar mekkah? bahakan hijrahnya sebagian sahabat ke Habasyah pun menurut sebagian ulama tidak terlepas dari tujuan ini, bukan semata-mata sebagai perlindungan. Kemudian pada akhirnya Rasulullah mendapatkan Yatsrib (yang kemudian dinamakan Madinah) dipandang lain untuk dijadikan basis kekuatan dan tegaknya agama islam setelah sejumlah penduduknya meyatakan masuk islam serta siap membela islam dan Rasulullah,baru Beliau dan para Sahabatnya berhijrah.
Jadi yang dituntut terhadap umat Islam sekarang ini adalah menyiapkan terwujudnya basis kekuatan Islam, baik di Negeri sendiri ataupun di negeri orang lain. Inilah sebetulnya substansi sekaligus aplikasi hijrah makaniyah yang merupakan tuntutan Iman. Dengan demikian umat islam bisa keluar secara total dari dominasi pengabdian terhadap manusia menuju pengabdian hanya kepada Allah dengan mengaplikasikan sistem Islam dalam semua aspek kehidupan. Atau dengan kata lain terbebas dari ‘Ubudiyah (pengabdian atau penghambaan) terhadap syaitan menuju pengabdian atau penghambaan hanya kepada Allah. Syaitan bisa berbentuk Jin dan bisa berbentuk manusia dengan segala manifestasinya.
Firman Allah : “Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu Hai Bani Adam supaya kamu tidak mengabdi kepada syaitan ? sesungguhnya syaitan itu musuh nyata bagimu. Dan hendaklah kamu mengabdi kepada-Ku. Inilah jalan yang lurus”. [QS. Yaasin : 60-61].
Firman Allah yang lain : “Katakanlah hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa kita tidak mengabdi kecuali kepada Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” [QS. Ali Imran : 64].
Hijrah Maknawiyah
Selain pengertian diatas, dalam terminology Islam, Hijrah juga mempunyai arti meninggalkan segala bentuk yang dilarang Allah. Dalam hal ini Rasulullah bersabda : “Orang yang berhijrah itu adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah”. [HR. Bukhari dan Muslim].
Meninggalkan segala bentuk yang dilarang Allah kalau dijabarkan ,bisa berarti perpindahan seorang muslim dari kufur kepada iman, dari syirik kepada Tauhid, dari Nifaq kepada Istiqomah, dari maksiat kepada taat, dari haram kepada halal. Atau dengan singkat perpindahan total seorang muslim dari kehidupan yang serba jahili menuju kehidupan yang serba Islami. Hijrah dalam pengertian ini disebut Hijrah maknawiyah (hijrah mental) atau bisa juga disebut Hijrah Qalbiyah (hijrah hati).
Hijrah maknawiyah bersifat mutlak, dan kemutlakan berlaku bagi setiap muslim. Artinya setiap muslim mesti melakukan hijrah maknawiyah ini. Karena menjadi pribadi muslim yang kaffah atau seorang yang hanya mengabdi kepada Allah secara totalitas harus didahului dengan hijrah ini. Hijrah ini mulai awal terangkatnya kehidupan manusia dari kegelapan menuju cahaya islam, terbebaskannya manusia dengan melakukan hijrah maknawiyah, tuntutan Allah kepada Umat Islam agar bisa keluar secara total dari dominasi pengabdian terhadap syaitan dengan segala bentuk dan manifestasinya menuju pengabdian hanya kepada Allah seperti di jelaskan diatas, akan segala terpenuhi.
Dalam kondisi sekarang ini, dimana kita hidup dilingkungan masyarakat yang pola kehidupannya banyak yang jauh dari nilai-nilai Islam, hijrah maknawiyah merupakan suatu keharusan. Dengan demikian walaupun secara fisik seorang tetap berada dilingkungannya, namun secara maknawi dia meninggalkan seluruh pola kehidupan lingkungannya.
Pengertian ini yang dikenal dengan istilah “ Yakhtalithuun walaakin yatamayyazuun” (bercampur tapi tetap berbeda), ia tetap dalam kepribadian muslimnya, tanpa harus larut dalam nilai-nilai sekelilingnya. Inilah yang dipesankan Rasulullah : “Janganlah kamu menjadi orang yang mengekor (selalu mengikuti orang lain). Kamu mengatakan : Jika mereka berbuat baik, kami pun berbuat baik ; dan jika mereka berbuat dzalim, kami pun berbuat dzalim. Tapi perkokohlah dirimu ; jika orang-orang berbuat baik, hendaknya kamu berbuat baik, tetapi jika mereka berbuat jahat, janganlah kamu berbuat dzalim”. [HR.Tirmidzi]
Kalau hijrah dalam pengertian ini menjadi keharusan bagi setiap Muslim secara umum, bagi seorang da’i sudah barang tentu lebih ditekankan lagi, karena seorang da’i sebagai panutan umat. Diatas pundaknyalah pertama kali tanggung jawab da’wah dipikulkan. Kalau kehidupan seorang da’i tidak ada bedanya dengan kehidupan masyarakat secara umum yang cenderung bebas nilai, siapa lagi yang diharapkan bisa memperbaiki keadaan masyarakat yang sudah rusak ini.
Penutup
Dari pembahasan diatas, menjadi jelas bagi kita bahwa hakikat hijrah baik makaniyah maupun maknawiyah itu sebenarnya adalah komitmen pada ketentuan Allah dengan meninggalkan segala bentuk sikap dan perilaku yang tidak menunujukan ketaatan kepada Allah. Dalam hal ini Rasulullah bersabda : “Apabila engkau mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka engkau orang yang berhijrah”. [HR.Ahmad dan Bazzar].
“Apabila engkau meninggalkan perbuatan keji, baik yang nyata maupun yang tersembunyi, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka engkau orang yang berhijrah”. [HR. Ahmad dan Bazzar].
Karena hakikat hijrah adalah melaksanakan perintah Allah dengan meninggalkan kemalasan dan kedurhakaan kepada-Nya serta meninggalkan larangan-larangan-Nya dengan meninggalkan segala bentuk kesukaan atau kecintaan kita kepada kemaksiatan, maka hijrah itu harus kita lakukan sepanjang perjalanan hidup kita sebagai muslim, kesemuanya ini tentu saja menuntut kesungguhan (jihad). Karena itu, iman, hijrah dan jihad merupakan kunci bagi manusia untuk meraih derajat yang tinggi dan kemenangan dalam melawan musuh-musuh kebenaran.
Allah berfirman : “Orang-orang yang beriman , berhijrah dan berjihad dijalan Allah dengan harta dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya disisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan”. [QS.At Taubah : 20].
Wallauhu’alam
0 komentar:
Posting Komentar