Menjaga Rahasia. Memegang teguh suatu rahasia adalah sikap yang sangat sulit
dipegangi di masa sekarang. Maka alangkah baiknya jika anak-anak kita
sudah terdidik dengan sikap itu sejak kecil. Sifat kanak-kanak yang
melekat, seperti keingintahuan yang besar, tentu saja menjadikan upaya
itu tak mudah. Sehingga teladan orangtua menjadi hal yang sepatutnya
dilakukan.
Gosip, layaknya sesuatu yang mudah ditemui. Satu rahasia yang
semestinya tersimpan rapi pun begitu mudah dibongkar melalui jalan ini.
Tak hanya diminati oleh kaum ibu, anak-anak pun banyak menggemarinya.
Tatkala duduk-duduk bersama teman, tak jarang berbagai obrolan meluncur
tanpa terasa. Sampai hal yang semestinya tak disampaikan pun akhirnya
terungkap. Terkadang disertai bumbu, “Ssst… tapi jangan bilang
siapa-siapa, ya! Ini rahasia!”
Hal tercela yang dianggap biasa. Orangtua yang mendengar atau
menyaksikan anak-anaknya melakukan seperti ini pun tak bereaksi.
Wallahul musta’an …
Padahal tidak demikian yang ada dalam kehidupan para pendahulu kita
yang shalih. Mereka begitu kukuh memegang sesuatu yang disebut rahasia.
Barangkali perlu kita lihat, bagaimana putri Rasulullah n, Fathimah x
memegang rahasia sang ayah, sampai waktunya dia bisa mengungkapkannya.
Aisyah x mengisahkan:
أَقْبَلَتْ فَاطِمَةُ تَمْشِي كَأَنَّ مِشْيَتَهَا مَشْيُ النَّبِيِّ،
فَقَالَ النَّبِيُّ: مَرْحَبًا يَا ابْنَتِي، ثُمَّ أَجْلَسَهَا عَنْ
يَمِيْنِهِ -أَوْ عَنْ شِمَالِهِ- ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيْهَا حَدِيْثًا
فَبَكَتْ، فَقُلْتُ لَهَا: لـِمَ تَبْكِيْنَ؟ ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيْهَا
حَدِيْثًا فَضَحِكَتْ، فَقُلْتُ: مَا رَأَيْتُ كَالْيَوْمِ فَرَحًا
أَقْرَبَ مِنْ حُزْنٍ، فَسَأَلْتُهَا عَمَّا قَالَ. فَقَالَتْ: مَا كُنْتُ
لِأُفْشِيَ سِرَّ رَسُوْلِ اللهِ -حَتَّى قُبِضَ النَّبِيُّ- فَسَأَلْتُهَا
Suatu ketika, Fathimah datang berjalan kaki. Cara jalannya amat
mirip dengan cara jalan Nabi n. Nabi n lantas menyambut, “Selamat
datang, wahai putriku!” Lalu beliau mendudukkan Fathimah di sebelah
kanannya –atau di sebelah kirinya– kemudian beliau membisikkan sesuatu
kepadanya. Fathimah pun menangis. Kutanyakan padanya, “Mengapa engkau
menangis?” Kemudian beliau membisikkan sesuatu lagi kepadanya, lalu dia
tertawa. Aku berkata heran, “Tak pernah kulihat kegembiraan yang begitu
dekat dengan kesedihan seperti hari ini.” Aku pun bertanya pada Fathimah
tentang apa yang dikatakan Nabi n. Fathimah menjawab, “Aku tak akan
menyebarkan rahasia Rasulullah n!” Sampai ketika Nabi n telah wafat, aku
tanyakan kembali hal itu kepadanya (barulah Fathimah menceritakannya).”
(HR. Al-Bukhari no. 3623 dan Muslim no. 2450)
Kalau sekarang kita dapati, orangtua yang membiarkan perilaku
anaknya menyebarkan rahasia, dulu pada masa sahabat, orangtua justru
membimbing anaknya untuk menjaga rahasia. Seorang ibu yang mulia, yang
dikenal amat besar semangatnya untuk memberikan kebaikan pada anaknya,
Ummu Sulaim x, menjadi cermin bagi kita untuk berkaca diri. Diceritakan
oleh putranya, Anas bin Malik z:
أَتَى عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَا أَلْعَبُ مَعَ الْغِلْمَانِ.
قَالَ: فَسَلَّمَ عَلَيْنَا، فَبَعَثَنِي إِلَى حَاجَةٍ. فَأَبْطَأْتُ
عَلَى أُمِّي. فَلَمَّا جِئْتُ قَالَتْ: مَا حَبَسَكَ؟ قُلْتُ: بَعَثَنِي
رَسُوْلُ اللهِ n لِحَاجَةٍ. قَالَتْ: مَا حَاجَتُهُ؟ قُلْتُ: إِنَّهَا
سِرٌّ. قَالَتْ: لاَ تُحَدِّثَنَّ بِسِرِّ رَسُوْلِ اللهِ n أَحَدًا
“Rasulullah n pernah mendatangiku ketika aku sedang bermain-main
dengan anak-anak yang lain. Beliau memberi salam kepada kami, lalu
menyuruhku untuk suatu keperluan, sehingga aku terlambat pulang kepada
ibuku. Ketika aku datang, ibuku bertanya, “Apa yang membuatmu
terlambat?” “Rasulullah n menyuruhku untuk suatu keperluan,” jawabku.
“Apa keperluannya?” tanya ibuku. Aku menjawab, “Itu rahasia.” Ibuku pun
mengatakan, “Kalau demikian, jangan kau beritahukan rahasia Rasulullah n
kepada siapa pun!” (HR. Al-Bukhari no.6289 dan Muslim no.2482)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t menjelaskan, sebagian ulama mengatakan bahwa
sepertinya rahasia itu khusus berkenaan dengan istri-istri Nabi n.
Seandainya rahasia itu berupa ilmu tentu tidak ada celah bagi Anas z
untuk menyembunyikannya.
Al-Hafizh t juga menukilkan penjelasan Ibnu Baththal t bahwa
pendapat yang dipegangi oleh ahlul ilmi, rahasia tidak boleh
disembunyikan bila mengandung bahaya bagi pemiliknya. Sebagian besar
dari mereka berpendapat bila pemilik rahasia itu meninggal, maka tidak
harus disembunyikan rahasianya sebagaimana yang harus dilakukan semasa
hidupnya, kecuali bila berakibat merendahkan martabatnya. (Fathul Bari,
11/99)
Demikian semestinya. Orang tua harus benar-benar bijak mengajarkan
kepada anak-anaknya untuk menjaga rahasia. Tidak setiap hal boleh
diberitakan dan tidak setiap rahasia boleh disebarkan. Dengan ini, akan
tumbuh kepercayaan masyarakat pada dirinya di masa mendatang, sebagai
seseorang yang dipandang bisa memegang rahasia.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran
0 komentar:
Posting Komentar