Berpikir dan Bertindak "Out Of The Box"
Berikut tulisan Bapak Perry Tristianto, salah seorang usahawan terkemuka di kota Bandung yang menginspirasi....
Hal yang terindah adalah melihat seseorang
tersenyum, Tapi yang terlebih indah adalah mengetahui bahwa engkau adalah
alasan di belakangnya!
Berikut tulisan Bapak Perry Tristianto, salah seorang usahawan terkemuka di kota Bandung yang menginspirasi....
Ada seorang anak laki-aki tunanetra duduk di
tangga sebuah bangunan dengan sebuah topi terletak di dekat kakinya. Ia
mengangkat sebuah papan yang bertuliskan: “Saya buta, tolong saya”.
Tak berapa lama, nampak hanya ada beberapa keping uang di dalam topi itu.
Kemudian datanglah seorang pria berjalan melewati tempat anak ini. Ia mengambil
beberapa keping uang dari sakunya dan menjatuhkannya ke dalam topi itu. Lalu ia
mengambil papan, membaliknya dan menulis beberapa kata. Pria ini menaruh papan
itu kembali sehingga orang yang lalu lalang dapat melihat apa yang baru saja ia
tuliskan.
Segera sesudahnya, topi itu pun terisi penuh.
Semakin banyak orang memberi uang kepada anak tuna netra ini. Sore itu
pria yang telah mengubah kata-kata di papan tersebut datang untuk melihat
perkembangan yang terjadi. Anak ini mengenali langkah kakinya dan bertanya,
“Apakah Bapak yang telah mengubah tulisan di papanku tadi pagi? Apa yang bapak
tulis?”
Pria itu berkata, “Saya hanya menuliskan
sebuah kebenaran. Saya menyampaikan apa yang kamu telah tulis dengan cara
yang berbeda”. Apa yang ia telah tulis adalah: “Hari ini adalah hari yang
indah dan saya tidak bisa melihatnya”. Bukankah tulisan yang pertama dengan
yang kedua sebenarnya sama saja artinya?
Benar.
Tentu arti kedua tulisan itu sama, yaitu bahwa anak itu buta. Tetapi, tulisan
yang pertama hanya mengatakan bahwa anak itu buta. Sedangkan, tulisan yang
kedua mengatakan kepada orang-orang bahwa mereka sangatlah beruntung bahwa
mereka dapat melihat. Apakah kita perlu terkejut melihat tulisan yang kedua
lebih efektif?
Dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam
menjalankan kewirausahaan, seringkali kita terjebak oleh pemikiran-pemikiran
biasa. Ketika kita menghadapi masalah, seringkali kita terpaku kepada
permasalahannya, dan tidak berusaha keluar dari masalah itu dengan melihatnya
dari berbagai sisi. Kita merasa jenuh, seringkali mengatakan segala
sesuatunya sudah mentok. Padahal masih ada hal yang dapat kita ulang kembali
dengan melihat permasalahan yang kita hadapi dengan cara berbeda. Kita
seringkali terkurung dan terpatok untuk menjalani hidup yang rutin, bisnis yang
“sekadar jalan”, tanpa berusaha melihat sisi lain yang barangkali memberikan
peluang lebih bagus. Ketika bisnis kita sudah jalan dengan lancar kita lalu
mandek, berhenti dan tidak lagi melakukan terobosan-terobosan berarti. Maka
kita mengatakan bisnis kita ‘jalan di tempat’.
Seorang teman yang membuka kios kelontongan di
pinggir jalan, dengan tambahan warnet di ruangan yang tersisa setiap hari
mengeluh tentang semakin sepinya konsumen dan pengunjung warnetnya. Ia terjebak
dengan kegiatan rutin, buka kios dan warnet, menunggu pembeli dan pengunjung,
dan menghitung perolehan hari itu. Kadang dia mengeluhkan tentang setoran ke
bank yang tidak mencukupi, sehingga ia berputar-putar pada masalahnya, tanpa
usaha untuk mencari terobosan dengan cara beda. Padahal, tempat atau lokasi
kios itu strategis sekali. Pinggir jalan utama dekat perempatan, yang
selalu dilewati banyak orang selama 24 jam. Toh ia masih mengeluh bisnisnya
sepi.
Saya coba melihat dari sisi yang beda. Ia buka
kiosnya dengan jam yang tidak teratur. Kadang jam 9 pagi, kadang jam 11. Bahkan
beberapa kali saya lihat lewat tengah hari kios masih tutup. Ketika
mengunjunginya suatu hari dan saya tanyakan kenapa sudah siang belum juga buka,
dengan enteng dia menjawab, “Habis baru jam lima tadi saya tidur!”
Padahal ada anak yang sudah dapat diminta tolong
untuk menjaga kios atau warnet, ada isteri dan saudara-saudara isterinya yang
juga dapat dimintakan bantuannya untuk keperluan itu. Memang saya belum masuk
terlalu jauh untuk menanyakan cash flownya. Yang saya amati dan dapat
saya prediksikan dia kurang telaten untuk melakukan pencatatan atau pembukuan
tentang keuangannya. Di samping itu ia juga kurang disiplin dalam mengelola
kiosnya. Ia tidak pernah membuat jadwal atau menggilir anak atau
saudara-saudaranya untuk menjaga kios dan warnet. Jika ada anaknya atau
saudara isterinya mengambil barang dari kiosnya, ia tidak pernah mencatat atau
membayarnya. Dengan demikian, modal yang berputar itu dapat saja digerogoti
oleh hal-hal kecil yang tidak diperhatikannya. Mungkin dari sisi itu ada
kelemahan yang dapat dilakukan perbaikan.
Di samping “keluar dari kotak” (out of the
box), pemikiran yang rutin, masih ada hal lain yang juga menjadi kelemahan
para wirausahawan kita. Tidak hanya para wirausahawan, bahkan Koentjaraningrat
pada akhir abad silam telah mengingatkan bahwa salah satu kelemahan mentalitas
bangsa kita adalah suka menerabas. Kita lebih akrab dengan istilah “budaya
instan”. Maunya serba cepat, serba oke, cepat berhasil, cepat sohor, cepat kaya
tanpa mau bersusah payah menjalani prosesnya.
Banyak orang menawarkan kiat-kiat sukses yang
menurut mereka instan. Menurut mereka menjadi kaya atau sukses tidak perlu
bekerja keras karena ada formula “rahasia” untuk bisa meraih kekayaan dan
kesuksesan seperti itu. Yang membuat sedih adalah mereka membangun mentalitas
instan di dalam masyarakat, sehingga orang lupa bahwa proses adalah hukum alam
untuk semua hal. Tidak ada orang yang begitu lahir terus langsung berlari.
Setiap orang harus melewati proses pembelajaran setahap demi setahap untuk
sekadar bisa berlari.
Tidak ada pohon atau peternakan siap saji. Yang ada
adalah kebun sayur, yang harus dipelihara sejak kecil, disirami, dipupuk,
dilindungi dari serangan hama, dipanen melewati mata rantai perdagangan yang
panjang sebelum akhirnya masuk ke dapur, dicuci, di potong-potong,
dipanaskan dalam tungku api, diberi aneka bumbu sebelum akhirnya dapat
terhidang di meja makan atau restoran.
Sebagian masyarakat kita adalah orang-orang yang
lupa atau tidak melihat hukum alam ini. Dalam hidup kita berhadapan dengan
hukum alam yang tidak bisa dilawan. Hidup ini seperti makan di restoran. Kita
harus membayar dulu setiap porsi makanan yang kita makan. Tidak ada makanan
yang gratis. Soalnya, kita memilih model restoran yang bayar dulu baru makan,
atau makan dulu baru bayar kemudian. Persis seperti itulah hidup. Untuk setiap
kesenangan, setiap keberhasilan, setiap kesuksesan, orang harus membayar
harganya.
Semakin besar nilai keberhasilan, kesenangan atau kesuksesan yang ingin diperoleh, semakin besar pula bayaran yang harus kita berikan. Kita juga bisa memilih jenis restoran yang bayar dulu atau bayar kemudian. Membayar di depan berarti kita harus bekerja keras, bersusah payah, membanting tulang memeras keringat dan jika perlu penuh dengan darah dan air mata, karena itulah harga yang harus kita bayar untuk mendapatkan keberhaslan. Membayar di belakang berarti bersenang-senang dahulu, bersakit-sakit berkepanjangan…
Semakin besar nilai keberhasilan, kesenangan atau kesuksesan yang ingin diperoleh, semakin besar pula bayaran yang harus kita berikan. Kita juga bisa memilih jenis restoran yang bayar dulu atau bayar kemudian. Membayar di depan berarti kita harus bekerja keras, bersusah payah, membanting tulang memeras keringat dan jika perlu penuh dengan darah dan air mata, karena itulah harga yang harus kita bayar untuk mendapatkan keberhaslan. Membayar di belakang berarti bersenang-senang dahulu, bersakit-sakit berkepanjangan…
Bahkan ada pula para pemuja budaya instan, yang
“mau makan tanpa bayar”. Orang macam ini ingin hidup santai, nyaman, sukses dan
kaya tanpa mau bekerja keras. Orang-orang macam ini ingin cepat mendapatkan
pekerjaan tertentu sehingga menyuap pun dilakukan. Orang ingin cepat kaya
dengan mudah, maka yang dilakukan adalah mencuri, merampok, menghipnotis,
berjudi dan korupsi.
Pemerintah ingin memberantas kriminalitas, narkoba dan korupsi, yang dilakukan adalah pidato dan kampanye antikriminalitas, antinarkoba dan antikorupsi, tanpa pernah meneliti akar permasalahannya. Tanpa mencoba mengatasi dengan cara melewati prosesnya… Padahal, sesederhana macam apa pun segala hal yang ada di dunia ini harus ada prosesnya. Ini hukum alam. Dan, sekali lagi kita tak dapat melawan hukum alam.
Pemerintah ingin memberantas kriminalitas, narkoba dan korupsi, yang dilakukan adalah pidato dan kampanye antikriminalitas, antinarkoba dan antikorupsi, tanpa pernah meneliti akar permasalahannya. Tanpa mencoba mengatasi dengan cara melewati prosesnya… Padahal, sesederhana macam apa pun segala hal yang ada di dunia ini harus ada prosesnya. Ini hukum alam. Dan, sekali lagi kita tak dapat melawan hukum alam.
Kembali pada pemikiran “out of the box”,
marilah kita mengajak orang-orang lain menuju hal-hal yang baik dengan hikmat.
Jalani hidup ini tanpa dalih dan mengasihi tanpa rasa sesal. Ketika hidup
memberi engkau 100 alasan untuk menangis, tunjukkan pada hidup bahwa
engkau memiliki 1000 alasan untuk tersenyum.
Hadapi masa lalumu tanpa sesal. Tangani saat
sekarang dengan percaya diri. Bersiaplah untuk masa depan tanpa rasa takut.
Peganglah iman dan tanggalkan ketakutan.
Orang bijak berkata,
“Hidup harus menjadi sebuah proses perbaikan yang terus berlanjut, membuang kejahatan dan mengembangkan kebaikan. Jika engkau ingin menjalani hidup tanpa rasa takut, engkau harus memiliki hati nurani yang baik sebagai tiketnya”.
“Hidup harus menjadi sebuah proses perbaikan yang terus berlanjut, membuang kejahatan dan mengembangkan kebaikan. Jika engkau ingin menjalani hidup tanpa rasa takut, engkau harus memiliki hati nurani yang baik sebagai tiketnya”.
Moral dari cerita ini:
Bersyukurlah untuk segala yang kau miliki. Jadilah
kreatif. Jadilah inovatif. Berpikirlah dari sudut pandang yang berbeda dan
positif. Keluar dari “kotak” dan cobalah untuk melihat dari sudut pandang
yang tidak biasa.
semoga.
0 komentar:
Posting Komentar