Beginilah Islam Memuliakan Wanita !
Suatu hari ada seorang sahabat mendatangi Rasulullah.
Lelaki tersebut hendak menanyakan tentang bagaimanakah hendaknya ia
memperlakukan ibunya dalam berbakti dalam hidupnya. Rasulullah pun
menjawab bahwa seorang ibu memiliki hak yang sangat besar dalam masalah
berbaktinya anak kepada orang tua. Seorang ibu memiliki perbandingan 3
kali lebih utama dibanding ayah (3:1) dalam pemrioritasan kebaktian
seorang anak kepada orang tua. Sekali lagi, Nabi menyebut kedudukan ibu
hingga 3 kali baru kemudian kedudukan seorang ayah 1 kali manakala
lelaki tersebut menanyakan bagaimanakah hendaknya dia memperlakukan
kedua orang tuanya (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari).
Kisah
dari hadis yang sudah sangat terkenal dan dipegang kuat oleh umat
Muhammad SAW tersebut membuktikan bahwa Islam sangat memuliakan kaum
perempuan. Namun bentuk penghormatan Islam kepada kaum hawa memang
sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh Barat.Barat memang seolah-olah menjunjung tinggi hak-hak perempuan dengan berbagai program mereka yang terangkum dalam Proyek besar mereka yang bernama kesetaraan jender dalam berbagai bidang. Dalam kesetaraan jender versi barat, wanita diperbolehkan bahkan sangat didukung untuk masuk ke segala bidang kehidupan. Jadi kuli batu, jadi tentara, jadi sopir, jadi single parents.Pokoknya hampir segala bidang kehidupan yang mengandung Maskulinitas hendak mereka jamahi. Jika dalam Islam yang ideal seorang wanita hendaknya berada di rumah membangun keluarga yang baik dan peran mencari nafkah dilakonkan pada lelaki (ayah), maka hal itu dianggap sebagai pengekangan oleh Barat. Barat menganggap penataan keluarga model Islam semacam itu kuno dan mencederai keadilan Jender karena peran wanita dikesampingkan. Mereka (Barat) berdalih jika seorang wanita berada di rumah dan menjadi seorang ibu rumah tangga maka potensi besar kaum perempuan akan tereduksi. Lelaki dan perempuan harus setara, sejajar berbanding lurus an sich dalam segala hal. Itulah pandangan Barat. Nah, pertanyaan besar selanjutnya adalah apakah memang benar kesetaraan Jender model barat itu lebih berhasil daripada model keluarga Islami. Mari kita kaji bersama.
“Seorang anak yang rusak masih bisa menjadi baik asal ia pernah mendapatkan pengasuhan
seorang ibu yang baik.
Sebaliknya, seorang ibu yang rusak akhlaknya, hanya akan melahirkan
generasi yang rusak pula akhlaknya. Itulah mengapa yang dihancurkan
pertama kali oleh Yahudi adalah wanita.”
Ucapan diatas dilontarkan oleh Muhammad Quthb, seorang ulama Mesir yangconcern terhadap
pendidikan Islam sekaligus pemikir ulung abad 20, yang juga merupakan
seorang Profesor Kajian Islam dari Universitas Arab Saudi. Menurut
beliau anak yang pada kemudian hari mendapatkan ujian berupa kehancuran
moral masih akan bisa diatasi, asal sang anak pernah mendapatkan
pengasuhan ibu yang solehah. Pendidikan Islami yang terinternalisasi
dengan baik, akan membuat sang anak lekas bangkit dari keterpurukannya
mengingat petuah-petuah rabbani yang pernah terekam dalam ingatannya.
Sebaliknya, ayah yang memiliki istri yang sudah rusak dari awalnya, maka
ia pun hanya akan melahirkan sebuah keturunan yang memiliki kepribadian
persis dengan wanita yang dipinangnya.Sifat alami anak yang banyak
meniru perilaku sang ibu akan membuka peluang penyaluran sifat alami ibu
kepada anaknya.
Dan hal ini pun dibuktikan dengan hasil penelitian yang baru-baru ini dipublikasikan di Jurnal Current Dirrections In Psychological Science,Amerika Serikat. Seperti yang dikutip Livescience,
selasa (20/12/11), dalam penelitian tersebut dipaparkan bahwa
keterikatan ibu dan anak kecil dapat memprediksi prilaku romantis anak
di kemudian hari. Anak-anak yang merasa aman dengan ibunya, ketika
dewasa akan mampu memecahkan masalah hubungan secara lebih baik. Mampu
pula mengatasi konflik dan menikmati hidup yang seimbang(Kompas, 24/12/11).
Dan jika ditarik sebuah negasi dari pemaparan hasil penelitian
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kerusakan anak akan sangat
tergantung dari kerusakan ibu yang mendidiknya. Oleh karena itu, dalam
bukunya Ma’rakah At Taqaaliid, Muhammad Quthb
mengemukakan alasan mengapa Islam mengatur konsep pendidikan yang
terkait dengan arti kehadiran ibu dalam keluarga. Ia menulis:
“Dalam anggapan Islam, wanita bukanlah sekadar sarana untuk melahirkan, mengasuh, dan
menyusui. Kalau hanya
sekedar begitu, Islam tidak perlu bersusah payah mendidik, mengajar,
menguatkan iman, dan menyediakan jaminan hidup, jaminan hukum dan segala
soal psikologis untuk menguatkan keberadaannya… Kami katakan mengapa
‘mendidik’, bukan sekedar melahirkan, membela dan menyusui yang setiap
kucing dan sapi subur pun mampu melakukannya.”
Nah, konsep inilah yang tidak terjadi di
Negara Barat. Barat mengalami kehancuran total pada sisi masyarakatnya
karena bermula dari kehancuran moral yang menimpa wanitanya.
Wanita-wanita Barat hanya dikonsep untuk mendefinisikan arti kepribadian
dalam pengertian yang sangat primitif, yakni tidak lain konsep
pemenuhan biologis semata.
Fenomena kerusakan wanita Barat sudah lumrah kita
ketahui baik itu melalui film-film mereka maupun pemberitaan media dan
infotainment. Bagaimana si selebritis A berselingkuh dengan artis
Hollywood lain yang sudah berumah tangga. Bagaimana si idola para
Beliber diberitakan menghamili fansnya. Dan bagaimana kelakuan-kelakua
amoral laen dari masyarakat barat yang anehnya di negeri ini dianggap
sebagai trend baru gaya hidup yang wajib di-kiblati. Lantas mengapa
wanita sebenarnya yang ideal harus menjadi ibu rumah tangga? Karena
masih menurut Muhammad Quthb,
“Islam tidak menyukai wanita
dilelahkan syarafnya dengan bekerja memeras tenaga. Wanita yang bekerja
pulang ke rumah sudah dalam keadaan lelah seperti halnya si pria
sendiri. Syarafnya tegang dan otot kaku. Lalu timbullah
pergeseran-pergesaran tegang antara dia dengan suaminya. Kedua-duanya
tidak mau mengalah. Anak-anaknya pun lalu merasa tidak punya ibu. Yang
terasa oleh mereka adalah mereka punya dua ayah, yang sama-sama pria.”
Sungguh patut menjadi perenungan bersama bahwa memang
demikianlah faktanya fenomena masyarakat kita saat ini. Dimana para
wanita karier yang sama-sama sibuk masih juga ditambah ayah yang tak
kalah sibuk dari istrinya yang juga wanita karier tersebut. Dan yang
menjadi korban tentu saja anak-anaknya. Meski dengan dalih mencari uang
buat hidup dan biaya agar anaknya mendapatkan pendidikan terbaik, toh
tetap saja anak-anak tersebut merasa “terasing” dan “ditelantarkan”. Di
rumah dia jumpai hanya pembantunya. Dari sini perlu dicerna kembali,
apakah bekerja itu tuk membahagiakan keluarga atau mencari uang. Karena
nyatanya uang berlimpah-limpah dari kerja siang malam kedua orang tuanya
dengan mengorbankan waktu buat anaknya tak mampu membuat keluarga
tersebut bahagia. Buktinya? Fenomena tawuran remaja dan anak sekolah di
kota-kota besar saat ini ternyata dilakukan bukan hanya oleh anak-anak
papah namun juga anak dari kalangan berpunya namun miskin perhatian
orang tuanya. Anak-anak mereka “diasuh” oleh TV, majalah fashion,
music dan sarana hedonis nan permissive lainnya. Dari sini saya jadi
teringat dengan sebuah pepatah Arab yang berbunyi,
“Ibu
adalah sebuah madrasah (tempat pendidikan) yang jika kamu
menyiapkannya. Berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang
baik budi pekertinya.”
Dan petuah ini
pulalah yang dibuktikan keberhasilannya oleh ibunda Imam Syafii R.A.
Imam besar yang mazhabnya dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia
ini adalah hasil didikan perempuan hebat. Beliau dibesarkan oleh seorang
ibu yang begitu sabar. Ketiadaan suami tidak membuat Ibunda Imam
Syafi’i menyerah pada keadaan dan melupakan hak seorang anak untuk
mendapatkan pendidikan terbaik dalam bidang agama. Kemiskinan pun tidak
lantas membuatnya sungkan “melobi” seorang guru di al-kuttab (Sekolah
Menghafal Qur’an) untuk curhat bahwa dirinya tidak memiliki biaya bagi
sekolah Imam Syafi’i. Bayangkan karena tidak punya uang untuk membeli
kertas, Imam Syafi’i sampai harus menulis di pecahan tembikar, tulang
belulang, hingga pelepah kurma. Dan berkat kegigihan sang ibulah, guru
di Al Kuttab itu merasa luluh. Imam Syafi’i lantas betul-betul
memanfaatkan momen belajar yang telah dibuka oleh ketegaran seorang ibu.
Bayangkan, Imam Syafi’i sudah hafal Qur’an sejak kecil dan di umur 15
tahun telah diizinkan untuk mengeluarkan fatwa. Subhanallah. Tanpa
kehadiran seorang ibu, mungkin saat ini kita hanya mengenal nama Imam
Syafi’i sebagai orang biasa, bukan ulama kesohor yang kejeniusannya
dalam perkara fiqh menjadi peneman kita saat mengalami kebingungan dalam
beribadah.
Islam sebagai agama mulia, secara tegas mengatur
posisi wanita sebagai madrasah utama dalam pendidikan di rumah. Ibu,
dalam Islam mendapat posisi penting sebagai guru pertama anaknya, dan
bukan kakek dari anaknya, nenek dari anaknya, bahkan ayah dari anaknya
sendiri. Maka itu peran istri dalam Islam bagai guru besar pendidikan
pertama yang harus dihormati oleh suaminya. Al Qur’an sendiri secara
jelas melekatkan peran mulia seorang ibu yang simetris dengan peranan
membangun rumah tangga mulia. Dalam surah Al Ahzab ayat 33, Allah
berfirman,
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Banyak orang salah kira, bahwa surat Al Ahzab ayat 33
hanya berlaku spesifik kepada istri nabi,anggapan ini sungguh keliru.
Karena Al Qur’an adalah petunjuk bagi orang beriman dan Rasulullah SAW
telah ditugaskan sebagai nabi yang menjadi panutan umat manusia. Islam
disini bukan berarti melarang seorang istri bekerja, karena bekerja
diperbolehkan dalam Islam. Tapi Islam hanya mendelegasikan bahwa
sekalipun perempuan bekerja itu harus dalam kondisi darurat dan
pekerjaan bukanlah sebagai pokok tugas utamanya, karena tugas utama
mencari nafkah ada pada fihak suami sedangkan istri memiliki beban yang
lebih mulia: orang pertama yang menyiapkan generasi rabbani. Perihal
peran wanita dalam menyiapkan generasi emas Islam, Muhammad Quthb dalam bukunya Ma’rakah At Taqalid pun menulis,
“Islam memperhatikan pria dan wanita karena mereka akan menjadi ibu-bapak produk baru. Tetapi Islam lebih memperhatikan wanita, karena wanitalah pembangun hakiki dari generasi. Sedangkan ayah baru menyusul kemudian. Mungkin ayah yang akan mendidik tapi itu nanti sesudah peranan sang ibu. Itulah sebabnya Islam mengusahakan terjaminnya belanja hidup sang ibu, agar ia tidak usah bekerja di luar rumah.”
Kebenaran
Al Qur’an dan konsep Islam dalam mendudukkan perang seorang wanita
menjadi ibu di rumah memang terbukti benar dalam serangkaian penelitian.
Karena di Inggris kini telah terjadi tren dimana para wanita sudah
terfikir meninggalkan karirnya dan memilih untuk berkonsentrasi di
rumahnya. Sebuah majalah wanita, Genius Beauty,
maret lalu memberitakan bahwa para psikolog dan sosiolog Inggris
menemukan bahwa 70% wanita Inggris meninginkan membangun sebuah keluarga
yang bahagia bersama dengan pasangan mereka. Mereka memiliki
kecendrungan untuk menjadi wanita yang lebih dekat kepada anaknya,
ketimbang dengan “bos” nya. Bahkan Kathy Caprino dalam bukunya“Breakdown, Breakthrough” juga
memiliki kesimpulan hampir sama. Ia meneliti banyak wanita yang terjun
ke dunia pekerjaan cenderung tidak bahagia. Lima alasan terpopuler
mengapa mereka tidak bahagia akan pekerjaan yang disandangnya menurut
Caprino adalah:
1. Merasa tidak akan bisa seimbang antara bekerja dan mengatur keluarga
2. Menderita Masalah Finasial parah
3. Tidak sungguh-sungguh menjalani bakat dan keahlian dengan hati
4. Merasa tidak berharga dan dihormati
5. Hanya mendapatkan sedikit hal positif dan kesenangan dalam pekerjaan
Nah, dari segala pemaparan di atas kiranya para
perempuan yang merupakan benteng pertahanan terakhir dalam menjaga
keberlangsungan hidup manusia-manusia selanjutnya dimana peradaban
disusun didalamnya, seharusnya menyadari hakikat dihadirkannya dirinya
di dunia ini oleh Allah. Perempuan dihadirkan di dunia oleh Allah bukan
sekedar hanya agar dia bersolek, berhubungan seksual, melahirkan,
menjadi korban mode dan iklan, berlenggak-lenggok di depan mata manusia
dengan dalih ratu-ratuan/miss-miss an, dan segala hal remeh temeh
lainnya. Lebih dari semua itu, perempuan di hadirkan di dunia ini agar
dapat menumbuhkan generasi-generasi baru yang lebih baik bagi peradaban
manusia berikutnya. Dan semua harapan besar dari umat manusia itu ada di
pundak wanita-wanita Muslimah karena hanya merekalah wanita terbaik
yang dihadirkan Allah di dunia ini. Karena mereka lebih memilih
mengikuti perintah “Langit” daripada perintah bos-bos mode , fashion,
dan yang sejenisnya. Sebagai penutup saya kutipkan pernyataan ibu Kartini kepadaNyonya Abendanon, 27 Oktober 1902 :
“Sudah
lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu
benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami,
tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna?
Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat
ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai
peradaban?.
0 komentar:
Posting Komentar