MEMILIH PEMIMPIN YANG AMANAH
Assalamualaikum wr.wb
Dari
mimbar Jumat ini khatib mengajak kepada diri saya sendiri dan jamaah
sekalian, marilah kita tingkatkan ketaqwaan kita kepada Allah, dengan
berusaha menjalankan semua yang Allah perintahkan dengan hati yang
ikhlas dan penuh ketaatan, serta berupaya sekuat tenaga meninggalkan
larangan-larangan Allah dengan hati yang patuh dengan ketundukan.
Hari-hari
ini, kita sedang dan akan menghadapi sebuah hajatan kolektif berupa
kewajiban memilih pemimpin bangsa untuk 5 tahun medatang. Memang secara
hakiki kita semua adalah pemimpin. Namun dalam lingkup yang lebih luas,
kita berkewajban untuk menentukan siapa yang patut dan pantas kita
pilih untuk mewakili kita dalam memimpin bangsa yang beragam dan
beranekawarna ini.
Berbicara
masalah memilih pemimpin dan kepemimpinan, ajaran Islam sangat detil
ketika membincangkan tentang pemilihan pemimpin, karena hal tersebut
memiliki dampak yang luas, tidak hanya pada individu, namun juga pada
masyarakat dan lingkungan yang akan dipimpinnya kelak.
Berbagai
persyarat pun digariskan oleh Islam terkait calon pemimpin yang
dianggap layak untuk memimpin komunitas, organisasi, daerah, hingga
level negara, antara lain adalah shiddiq (benar), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan kepada umat), dan fathanah (cerdas).
Keempat
syarat kepemimpinan tersebut sesungguhnya mengacu pada karakter
kepemimpinan Rasulullah r yang terbukti mampu menciptakan masyarakat
yang adil, makmur, dan penuh dengan barakah serta keridhaan I. Dalam
khutbah ini, kita hanya akan fokus membincangkan indikator kedua, yakni
“Amanah”.
Amanah,
ditinjau dari aspek yang lebih sempit, diartikan sebagai memelihara
titipan yang akan dikembalikan dalam bentuknya seperti sediakala. Dalam
tinjauan yang diperluas, amanah mempunyai cakupan yang lebih luas,
seperti memelihara amanah orang lain, menjaga kehormatan orang lain,
atau menjaga kehormatan dirinya.
Kemudian
dalam konteks bernegara, amanah yang dibebankan kepada para pemegang
amanah (kepala negara atau kepala daerah) harus dipikul dengan
sebaik-baiknya karena memiliki dua perspektif pertanggungjawaban yaitu vertikal (hablumminallah) dan horizontal (hablumminannas)
sekaligus. Setiap pemimpin, baik di lingkup pemerintahan pusat maupun
daerah, dengan demikian wajib menegakkan amanah jabatannya. Dan contoh
teladan yang patut menjadi ukuran umat Islam dalam memilih pemimpin
adalah mengacu pada kepribadian dan teladan yang melekat pada diri
Rasulullah r. Sebab Rasulullah r lah satu-satunya teladan sempurna bagi
umat Islam, sebagaimana firman Allah I dalam surah al-Ahzab ayat 21:
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu,
(yaitu) orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat serta dia banyak menyebut Allah”.
Rasulullah
pantaslah menjadi sosok panutan bagi para pemimpin dan calon pemimpin
karena sifatnya yang amanah tersebut. Meskipun susah untuk mengikuti
jejak keteladanan Nabi r secara komprehensif, paling tidak kita bisa
mendekati apa yang pernah Nabi Muhammad r lakukan dalam menegakkan
amanah sebagai pemimpin agama dan pemimpin negara ketika itu.
Terkait kewajiban memilih pemimpin yang amanah, Allah I berfirman dalam Qu’an Surat an-Nisaa, ayat 58:
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat”.
Ayat
tersebut di atas dengan jelas menegaskan pentingnya memilih pemimpin
yang amanat. Dan salah satu wujud dari pemimpin amanat adalah ketika
menetapkan hukum di antara manusia, dia harus mampu bersikap adil dan
tidak diskriminatif.
Kemudian,
seorang pemimpin yang amanah, juga harus terbebas dari perilaku
korupsi; sekecil apapun bentuknya. Baik dalam hal materi maupun
kewenanangan. Terkait ini, Rasulullah r bersabda yang artinya:
"Barang
siapa yang kami angkat menjadi karyawan untuk mengerjakan sesuatu dan
kami beri upah yang semestinya, maka sesuatu yang diambilnya sesudah
itu (selain upah) namanya korupsi." (HR Abu Dawud).
Dengan
demikian, amanah menjalankan tugas dan fungsi jabatannya, yang dalam
standar paling dekat haruslah adil dalam penegakan hukum dan tidak
korupsi di tengah-tengah masa jabatannya. Prasarat itulah yang menjadi
ukuran dasar bagi seorang pemimpin yang digariskan Islam.
Dari
sejumlah dalil yang disampaikan di atas, nampak jelas bahwa kriteria
amanah merupakan satu hal yang mutlak dimiliki oleh seorang calon
pemimpin, sehingga mampu diandalkan dalam membawa perubahan yang baik
bagi kehidupan masyarakat.
Selanjutnya,
apa saja yang perlu kita persiapkan sejak awal untuk mengenal,
mempersiapkan, dan memilih pemimpin yang sesuai dengan keteladanan
Rasul? Rasulullah r setidaknya telah memberikan contoh terbaik,
termasuk kriteria bagi seorang pemimpin yang amanah tersebut, antara
lain:
Pertama,
ia tidak terlalu berambisi merengkuh jabatan itu, apalagi sampai
menghalalkan segala cara. Dalam sebuah Hadis sahih dari Abu Musa
al-Asy'ari, Rasulullah r bersabda:
''Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan suatu jabatan kepada orang yang memintanya atau berambisi mendapatkannya.'' (HR Muslim).
Memberikan
amanah (hak pilih) kepada yang meminta saja tidak boleh, apalagi ketika
seseorang sampai menghalalkan segala cara untuk memperoleh suatu
jabatan. Bisa dipastikan, sosok pemimpin seperti ini akan sulit berlaku
amanah. Alih-alih diharapkan berkorban untuk kesejahteraan rakyat, ia
justru akan sibuk mengembalikan modal yang pernah dikeluarkannya,
memperkaya diri, dan mencari prestise lewat jabatan yang diemban.
Kriteria Kedua yang
diajarkan Rasulullah r dalam memotret pemimpin dan calon pemimpin
adalah, ia taat beribadah dan memiliki relasi sosial yang baik. Ketika
Umar bin Khattab r mengangkat Nafi' bin al-Harits sebagai gubernur
Makkah, Nafi' memilih Ibnu Abza untuk mengepalai masyarakat yang
tinggal di daerah lembah dekat Makkah, padahal semua tahu Ibnu Abza
hanyalah bekas budak di komunitas tersebut.
Saat Umar bin Khattab t mengonfirmasi hal itu, Nafi' menjawab, ''Ia memang bekas budak, tetapi ia hafal Al-Quran, paham masalah faraidl
(waris), dan sering memutuskan persoalan masyarakat dengan adil.'' (HR
Ahmad). Maka, Umar pun memuji pilihan Nafi' karena melihat kapabilitas
dan tingkat akseptabilitas Ibnu Abza.
Ketiga,
ia adalah pribadi yang sederhana dalam kesehariannya. Sebab, hanya
pejabat dengan gaya hidup yang sederhanalah yang bisa imun (tahan) dari
godaan kemewahan dunia. Sebaliknya, gaya hidup mewah sangat potensial
menjerumuskan seorang pejabat untuk melakukan korupsi walaupun telah
dimanjakan dengan gaji yang lebih dari cukup. Padahal, Rasulullah r
telah menegaskan bahwa pejabat yang curang dan korup tidak akan pernah
mencium wangi surga.
Dari
tiga kriteria dasar tersebut di atas, setidaknya telah memberi gambaran
bagaimana sosok pemimpin dan calon pemimpin yang sebenarnya perlu
diberikan amanah kepadanya. Sayangnya, keteladanan pemimpin seperti itu
di negeri ini seolah sulit dicari. Memang, sulit bukan berarti tidak
ada sama sekali. Oleh karena itulah, rakyat yang cerdas akan mencarinya
sampai ketemu.
Meski
indikasi keteladanan pemimpin di negeri ini berada pada puncak
kepurbaan yang langka, jangalah membuat kita berputus asa untuk
mencarinya. Sekali lagi, seseorang dapat dikatakan pemimpin panutan
yang layak diteladani apabila melakukan kebajikan yang patut diteladani
karena dirinya memantulkan laku baik dan benar. Baik untuk diri sendiri
dan kelompoknya, baik bagi seluruh rakyat dan warga yang ia pimpin,
juga benar dalam menjaga dan menjalankan amanah yang rakyat titipkan
kepadanya.
Kita
patut prihatin, kebanyakan dari pemimpin yang ada sekarang terlalu
mementingkan pribadi dan golongannya. Kerapkali kebijakan yang dibuat
sangat dipaksakan demi kepentingannya sendiri, sementara kepentingan
rakyat atau masyarakat diabaikan. Meski sering dinasehati melalui
pendekatan pribadi maupun pendekatan sosial seperti demonstrasi, tetap
saja tak bergeming. Asal tujuannya tercapai itu sudah lebih dari cukup
bagi Sang Pemimpin ini. Orang-orang inilah yang sering disebut pemimpin
tidak amanah. Pemimpin seperti ini tidak mengerti artinya memimpin.
Pemimpin
yang beriman dan paham akan arti sebuah kepemimpinan yang amanah, akan
sangat ketakutan untuk tidak bertindak amanah pada setiap kebijakan
yang ia kerjakan. Dan bagi manusia beriman, kepemimpinan merupakan
amanah dari Allah I. Apapun bentuk yang ia pimpin. Apakah itu rumah
tangga, pemerintahan, BUMN atau BUMD, perusahaan swasta atau memimpin
dalam komunitas kecil sekalipun, amanah haruslah menjadi dasar dalam
menjalankan roda kepemimpinan.
Pemimpin
yang amanah, setidaknya akan selalu meresapi apa yang menjadi pesan
Allah I, sebagaimana di firmankan dalam al-Qur’an surat Al-Hasyr,18.
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Sebagai
umat muslim, kita juga harus mau belajar pada masa lalu, kreatif dengan
masa yang sekarang ada, guna mendapatkan hari esok yang lebih baik.
Memang, kita juga menyadari bahwa menunaikan amanah bukanlah pekerjaan
ringan. Bahkan langit, bumi dan gunung pun tidak mampu mengembannya.
Manusia diberi beban amanah karena ia memiliki kemampuan berbeda dengan
benda-benda padat. Manusia memiliki hati dan akal pikiran, keimanan,
perasaan kasih sayang, empati kepada sesama yang mendukungnya
menunaikan amanah.
Karena
amanah menentukan nasib sebuah bangsa dan daerah. Jika setiap orang,
baik mereka yang memimpin dan kita yang memilih pemimpin bisa
menjalankan tugas masing-masing dengan penuh amanah dan tanggung jawab,
maka selamatlah bangsa kita. Sebaliknya jika diselewengkan maka
hancurlah sebuah bangsa dan daerah itu. Sehingga Rasulullah r
mengingatkan dalam sebuah sabdanya,
"Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya”. Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?. Beliau bersabda, "Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya". (Bukhari dan Muslim).
Semoga
kita sentiasa bisa mempersiapkan diri dalam segala hal guna menyongsong
kehidupan masa depan yang lebih baik, di dunia dan akhirat.
Amin.
Penerjemah Khotib Bahasa Isyarat: Mustarjudin
Imam: Robert Nasrullah Al Hafidz
Qori Mizan
0 komentar:
Posting Komentar