Kamis, 10 April 2014

Kepemimpinan Rasulullah Sosok Panutan

MEMILIH PEMIMPIN YANG AMANAH

Assalamualaikum wr.wb
Dari mimbar Jumat ini khatib mengajak kepada diri saya sendiri dan jamaah sekalian, marilah kita tingkatkan ketaqwaan kita kepada Allah, dengan berusaha menjalankan semua yang Allah perintahkan dengan hati yang ikhlas dan penuh ketaatan, serta berupaya sekuat tenaga meninggalkan larangan-larangan Allah dengan hati yang patuh dengan ketundukan.

Hari-hari ini, kita sedang dan akan menghadapi sebuah hajatan kolektif berupa kewajiban memilih pemimpin bangsa untuk 5 tahun medatang. Memang secara hakiki kita semua adalah pemimpin. Namun dalam lingkup yang lebih luas, kita berkewajban untuk menentukan siapa yang patut dan pantas kita pilih untuk mewakili kita dalam memimpin bangsa yang beragam dan beranekawarna ini.

Berbicara masalah memilih pemimpin dan kepemimpinan, ajaran Islam sangat detil ketika membincangkan tentang pemilihan pemimpin, karena hal tersebut memiliki dampak yang luas, tidak hanya pada individu, namun juga pada masyarakat dan lingkungan yang akan dipimpinnya kelak.

Berbagai persyarat pun digariskan oleh Islam terkait calon pemimpin yang dianggap layak untuk memimpin komunitas, organisasi, daerah, hingga level negara, antara lain adalah shiddiq (benar), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan kepada umat), dan fathanah (cerdas).

Keempat syarat kepemimpinan tersebut sesungguhnya mengacu pada karakter kepemimpinan Rasulullah r yang terbukti mampu menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan penuh dengan barakah serta keridhaan I. Dalam khutbah ini, kita hanya akan fokus membincangkan indikator kedua, yakni “Amanah”.


Amanah, ditinjau dari aspek yang lebih sempit, diartikan sebagai memelihara titipan yang akan dikembalikan dalam bentuknya seperti sediakala. Dalam tinjauan yang diperluas, amanah mempunyai cakupan yang lebih luas, seperti memelihara amanah orang lain, menjaga kehormatan orang lain, atau menjaga kehormatan dirinya.

Kemudian dalam konteks bernegara, amanah yang dibebankan kepada para pemegang amanah (kepala negara atau kepala daerah) harus dipikul dengan sebaik-baiknya karena memiliki dua perspektif pertanggungjawaban yaitu vertikal (hablumminallah) dan horizontal (hablumminannas) sekaligus. Setiap pemimpin, baik di lingkup pemerintahan pusat maupun daerah, dengan demikian wajib menegakkan amanah jabatannya. Dan contoh teladan yang patut menjadi ukuran umat Islam dalam memilih pemimpin adalah mengacu pada kepribadian dan teladan yang melekat pada diri Rasulullah r. Sebab Rasulullah r lah satu-satunya teladan sempurna bagi umat Islam, sebagaimana firman Allah I dalam surah al-Ahzab ayat 21:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat serta dia banyak menyebut Allah”.


Rasulullah pantaslah menjadi sosok panutan bagi para pemimpin dan calon pemimpin karena sifatnya yang amanah tersebut. Meskipun susah untuk mengikuti jejak keteladanan Nabi r secara komprehensif, paling tidak kita bisa mendekati apa yang pernah Nabi Muhammad r lakukan dalam menegakkan amanah sebagai pemimpin agama dan pemimpin negara ketika itu.

Terkait kewajiban memilih pemimpin yang amanah, Allah I berfirman dalam Qu’an Surat an-Nisaa, ayat 58:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

Ayat tersebut di atas dengan jelas menegaskan pentingnya memilih pemimpin yang amanat. Dan salah satu wujud dari pemimpin amanat adalah ketika menetapkan hukum di antara manusia, dia harus mampu bersikap adil dan tidak diskriminatif.

Kemudian, seorang pemimpin yang amanah, juga harus terbebas dari perilaku korupsi; sekecil apapun bentuknya. Baik dalam hal materi maupun kewenanangan. Terkait ini, Rasulullah r bersabda yang artinya:

"Barang siapa yang kami angkat menjadi karyawan untuk mengerjakan sesuatu dan kami beri upah yang semestinya, maka sesuatu yang diambilnya sesudah itu (selain upah) namanya korupsi." (HR Abu Dawud).

Dengan demikian, amanah menjalankan tugas dan fungsi jabatannya, yang dalam standar paling dekat haruslah adil dalam penegakan hukum dan tidak korupsi di tengah-tengah masa jabatannya. Prasarat itulah yang menjadi ukuran dasar bagi seorang pemimpin yang digariskan Islam.


Dari sejumlah dalil yang disampaikan di atas, nampak jelas bahwa kriteria amanah merupakan satu hal yang mutlak dimiliki oleh seorang calon pemimpin, sehingga mampu diandalkan dalam membawa perubahan yang baik bagi kehidupan masyarakat.

Selanjutnya, apa saja yang perlu kita persiapkan sejak awal untuk mengenal, mempersiapkan, dan memilih pemimpin yang sesuai dengan keteladanan Rasul? Rasulullah r setidaknya telah memberikan contoh terbaik, termasuk kriteria bagi seorang pemimpin yang amanah tersebut, antara lain:

Pertama, ia tidak terlalu berambisi merengkuh jabatan itu, apalagi sampai menghalalkan segala cara. Dalam sebuah Hadis sahih dari Abu Musa al-Asy'ari, Rasulullah r bersabda:

''Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan suatu jabatan kepada orang yang memintanya atau berambisi mendapatkannya.'' (HR Muslim).

Memberikan amanah (hak pilih) kepada yang meminta saja tidak boleh, apalagi ketika seseorang sampai menghalalkan segala cara untuk memperoleh suatu jabatan. Bisa dipastikan, sosok pemimpin seperti ini akan sulit berlaku amanah. Alih-alih diharapkan berkorban untuk kesejahteraan rakyat, ia justru akan sibuk mengembalikan modal yang pernah dikeluarkannya, memperkaya diri, dan mencari prestise lewat jabatan yang diemban.

Kriteria Kedua yang diajarkan Rasulullah r dalam memotret pemimpin dan calon pemimpin adalah, ia taat beribadah dan memiliki relasi sosial yang baik. Ketika Umar bin Khattab r mengangkat Nafi' bin al-Harits sebagai gubernur Makkah, Nafi' memilih Ibnu Abza untuk mengepalai masyarakat yang tinggal di daerah lembah dekat Makkah, padahal semua tahu Ibnu Abza hanyalah bekas budak di komunitas tersebut.

Saat Umar bin Khattab t mengonfirmasi hal itu, Nafi' menjawab, ''Ia memang bekas budak, tetapi ia hafal Al-Quran, paham masalah faraidl (waris), dan sering memutuskan persoalan masyarakat dengan adil.'' (HR Ahmad). Maka, Umar pun memuji pilihan Nafi' karena melihat kapabilitas dan tingkat akseptabilitas Ibnu Abza.

Ketiga, ia adalah pribadi yang sederhana dalam kesehariannya. Sebab, hanya pejabat dengan gaya hidup yang sederhanalah yang bisa imun (tahan) dari godaan kemewahan dunia. Sebaliknya, gaya hidup mewah sangat potensial menjerumuskan seorang pejabat untuk melakukan korupsi walaupun telah dimanjakan dengan gaji yang lebih dari cukup. Padahal, Rasulullah r telah menegaskan bahwa pejabat yang curang dan korup tidak akan pernah mencium wangi surga.


Dari tiga kriteria dasar tersebut di atas, setidaknya telah memberi gambaran bagaimana sosok pemimpin dan calon pemimpin yang sebenarnya perlu diberikan amanah kepadanya. Sayangnya, keteladanan pemimpin seperti itu di negeri ini seolah sulit dicari. Memang, sulit bukan berarti tidak ada sama sekali. Oleh karena itulah, rakyat yang cerdas akan mencarinya sampai ketemu.

Meski indikasi keteladanan pemimpin di negeri ini berada pada puncak kepurbaan yang langka, jangalah membuat kita berputus asa untuk mencarinya. Sekali lagi, seseorang dapat dikatakan pemimpin panutan yang layak diteladani apabila melakukan kebajikan yang patut diteladani karena dirinya memantulkan laku baik dan benar. Baik untuk diri sendiri dan kelompoknya, baik bagi seluruh rakyat dan warga yang ia pimpin, juga benar dalam menjaga dan menjalankan amanah yang rakyat titipkan kepadanya.

Kita patut prihatin, kebanyakan dari pemimpin yang ada sekarang terlalu mementingkan pribadi dan golongannya. Kerapkali kebijakan yang dibuat sangat dipaksakan demi kepentingannya sendiri, sementara kepentingan rakyat atau masyarakat diabaikan. Meski sering dinasehati melalui pendekatan pribadi maupun pendekatan sosial seperti demonstrasi, tetap saja tak bergeming. Asal tujuannya tercapai itu sudah lebih dari cukup bagi Sang Pemimpin ini. Orang-orang inilah yang sering disebut pemimpin tidak amanah. Pemimpin seperti ini tidak mengerti artinya memimpin.

Pemimpin yang beriman dan paham akan arti sebuah kepemimpinan yang amanah, akan sangat ketakutan untuk tidak bertindak amanah pada setiap kebijakan yang ia kerjakan. Dan bagi manusia beriman, kepemimpinan merupakan amanah dari Allah I. Apapun bentuk yang ia pimpin. Apakah itu rumah tangga, pemerintahan, BUMN atau BUMD, perusahaan swasta atau memimpin dalam komunitas kecil sekalipun, amanah haruslah menjadi dasar dalam menjalankan roda kepemimpinan.

Pemimpin yang amanah, setidaknya akan selalu meresapi apa yang menjadi pesan Allah I, sebagaimana di firmankan dalam al-Qur’an surat Al-Hasyr,18.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Sebagai umat muslim, kita juga harus mau belajar pada masa lalu, kreatif dengan masa yang sekarang ada, guna mendapatkan hari esok yang lebih baik. Memang, kita juga menyadari bahwa menunaikan amanah bukanlah pekerjaan ringan. Bahkan langit, bumi dan gunung pun tidak mampu mengembannya. Manusia diberi beban amanah karena ia memiliki kemampuan berbeda dengan benda-benda padat. Manusia memiliki hati dan akal pikiran, keimanan, perasaan kasih sayang, empati kepada sesama yang mendukungnya menunaikan amanah.

Karena amanah menentukan nasib sebuah bangsa dan daerah. Jika setiap orang, baik mereka yang memimpin dan kita yang memilih pemimpin bisa menjalankan tugas masing-masing dengan penuh amanah dan tanggung jawab, maka selamatlah bangsa kita. Sebaliknya jika diselewengkan maka hancurlah sebuah bangsa dan daerah itu. Sehingga Rasulullah r mengingatkan dalam sebuah sabdanya,  

"Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya”. Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?. Beliau bersabda, "Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya". (Bukhari dan Muslim).

Semoga kita sentiasa bisa mempersiapkan diri dalam segala hal guna menyongsong kehidupan masa depan yang lebih baik, di dunia dan akhirat. 

Amin.
Penerjemah Khotib Bahasa Isyarat: Mustarjudin
Imam: Robert Nasrullah Al Hafidz
Qori Mizan

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution