Riya, Penyakit yang Membinasakan Manusia
Di tengah masyarakat ada saja orang yang melakukan perbuatan demi
mendapat pujian orang lain atau untuk menunjukkan apa yang sudah
dilakukannya. Orang seperti ini biasanya tidak melihat Allah sebagai
tujuan dalam melakukan sesuatu. Tidak peduli dengan Allah Swt dalam
perbuatan dan ucapan serta kecintaan yang luar biasa akan masalah
lahiriah memunculkan penyakit yang bernama riya. Perbuatan ini dilarang
keras dalam Islam. Karena orang yang riya berada dalam lingkaran
kesyirikan dan membuat terjatuh dari derajat kemanusiaan.
Arti kata riya sendiri adalah menampakkan dan memamerkan sesuatu dan
dalam istilah berarti manusia yang melakukan satu pekerjaan baik dengan
tujuan pamer di hadapan manusia, bukan kepada Allah Swt. Perbuatan riya
bisa terjadi dalam ibadah dan juga dalam perbuatan biasa seperti
membantu orang lain. Orang yang riya begitu senang akan pujian orang
lain. Orang seperti ini akan terus berusaha agar apa yang dilakukannya
dilihat oleh orang lain, sementara ketika tidak ada yang mengetahui, ia
tidak begitu terdorong untuk melakukannya. Sejatinya, orang yang riya
berusaha sedemikian rupa sehingga menjadi perhatian orang lain lalu
dipuji. Bila tidak demikian, ia tidak akan mengulangi lagi perbuatan
itu.
Riya menghancurkan amal perbuatan manusia dan
seperti rayap yang memakan dan merusak kayu dari dalam. Riya membuat
perbuatan manusia tidak memiliki kandungan apapun. Manusia yang
melakukan ibadah yang disertai riya, maka ketika berbuat semua
perhatiannya tertuju pada bagaimana perbuatannya diterima orang lain.
Menjadi tidak penting baginya apakah Allah Swt juga menerima ibadahnya
atau tidak. Sementara orang mukmin berkeyakinan bahwa Allah menyaksikan
perbuatan yang dilakukan hambanya, sekaligus memberikan balasan atas
perbuatan baiknya. Dengan demikian, ia tidak lagi menanti orang lain
memujinya.
Sangat mungkin bahwa pada awalnya
seseorang tidak mampu memilih dan memilah perbuatan yang terpolusi
dengan riya atau tidak, tapi salah satu tanda paling jelas dari orang
yang riya adalah pamrih. Bila seseorang melakukan satu pekerjaan dan
dengan pekerjaan itu ia berusaha mengungkit-ungkitnya kepada orang lain
dan dengan cara ini amal perbuatannya menjadi sia-sia. Allah dalam
al-Quran menyamakan mengungkit, mengganggu dan riya. Karena ketiganya
sama membatalkan sedekah dan perbuatan baik. Bahkan disebutkan juga
bahwa orang yang riya tidak beriman kepada Allah Swt dan hari akhirat.
Allah Swt dalam Al-Quran berfirman, "Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang
yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu
seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa
hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak
menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (QS. al-Baqarah: 264)
Islam sangat menentang sikap riya dan menyebut siapa yang berbuat riya
bukan seorang mukmin. Imam Shadiq as berkata, "Seluruh riya adalah
syirik dan barangsiapa yang berbuat karena manusia maka pahalanya juga
dari manusia dan barangsiapa yang bekerja untuk Allah Swt maka
pahalanya juga akan diberikan oleh-Nya."
Masalah niat
sangat penting dalam ibadah kepada Allah Swt, bahkan boleh dikata niat
merupakan ruh dari ibadah itu sendiri. Nilai dari sebuah ibadah
memiliki hubungan erat dan penuh dengan niat manusia. Bila niat manusia
bermasalah dan tidak untuk Allah Swt, maka sekalipun perbuatan yang
dilakukan sangat besar dan agung, tapi tidak ada manfaatnya bagi
manusia. Dalam pekerjaan sehari-hari, kita sangat memperhatikan masalah
niat dan memberikan nilai yang tinggi. Sangat penting sekali bagi
manusia niatnya dalam bekerja itu benar atau tidak.
Sebagai contoh, ketika bertemu dengan seorang teman yang berkata kepada
kita "saya rindu bertemu denganmu". Bila kita melihat bahwa ucapannya
itu benar-benar dari hati yang dalam atau jujur, maka pernyataannya itu
sangat bernilai bagi kita dan secara alami kita juga menunjukkan
perasaan yang sama. Sebaliknya, bila kita mengetahui bahwa apa yang
disampaikan tidak benar adanya dan sekadar rayuan untuk memanfaatkan
kita, maka pernyataan yang semacam itu tidak bernilai sama sekali,
bahkan mungkin kita akan tidak menyukainya. Semakin ia mengulangi
kata-kata itu, maka semakin bertambah pula kebencian kita kepadanya.
Sementara pada tampak lahiriahnya, apa yang dilakukan itu sama, tapi
dengan niat yang berbeda. Dengan demikian, sebagai satu kaidah umum
bahwa manusia yang cerdas tidak akan menilai sebuah pekerjaan dari
tampak lahiriahnya saja, tapi melihat sampai pada niat di balik
perbuatan itu.
Kebalikan dari riya adalah ikhlas.
Keikhlasan adalah sifat dimana seorang melakukan perbuatan murni hanya
untuk melakukan perintah Allah Swt dan tidak ada niatan selain-Nya.
Orang seperti ini tidak mau menunjukkan perbuatannya kepada orang lain
dan memamerkannya guna mendapat pujian dari orang, tapi yang
dilakukannya hanya untuk Allah Swt. Mungkin saja ia melakukan
perbuatannya di depan orang lain dan mendapat pujian, tapi yang penting
adalah niatnya berbuat tidak untuk mendapat pujian orang lain.
Perlu diketahui bahwa bila seseorang memurnikan niatnya hanya untuk
Allah dan melakukan satu pekerjaan karena Allah, di sebagian kasus,
bahkan perbuatan di hadapan orang lain menjadi sunnah hukumnya dan itu
merupakan ibadah lain. Allah Swt dalam ayat 31 surat Ibrahim berfirman,
"Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka
mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami berikan
kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang
hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan."
Membersihkan perbuatan dari riya merupakan pekerjaan besar. Siapa yang
berhasil melakukan perbuatannya hanya karena Allah Swt dan tidak punya
motifasi lain kecuali Allah akan mendapat maqam yang tinggi di sisi
Allah. Surat al-Insan diturunkan untuk menjelaskan perbuatan Ahli Bait
Nabi Saw, yakni Imam Ali, Sayidah Fathimah, Imam Hasan dan Imam Husein
as. Keluarga ini memberikan makanan berbuka puasa mereka kepada orang
miskin, yatim dan budak selama tiga hari. Perbuatan ini dilakukan
mereka dengan niat hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh
karenanya, Allah Swt menerima perbuatan mereka yang didasari keikhlasan
dan surat al-Insan diturunkan untuk memuji perilaku ini, sehingga
mereka menjadi teladan bagi orang lain.
Sebagian
ulama dan urafa menjelaskan bahwa bila kalian ingin aman dari penyakit
riya, berusahalah bahkan untuk tidak memikirkan perbuatan baik yang
dilakukan dan katakan bahwa itu semua berkata pertolongan dan kecintaan
Allah. Bila seseorang sangat menikmati bahkan berlebihan mencintai
perbuatannya sendiri dan berulang kali memikirkannya di benaknya, maka
pada dasarnya ia telah mengurangi tingkat keikhlasan perbuatan itu.
Dengan demikian, bila engkau menolong orang lain, berjihad di jalan
Allah, menulis karena Allah, dan perbuatan baik lainnya, maka
berusahalah untuk tidak mengurutkannya di benakmu. Karena riya berasal
dari kata raa yang berarti melihat dan itu berarti menyaksikan
perbuatan. Dengan memikirkannya kembali, maka engkau akan melihat
perbuatanmu lebih besar dari apa yang sudah dilakukan. Dengan demikian
engkau akan menanti pujian yang lebih dari orang lain.
Satu lagi cara lain untuk menyelamatkan diri dari riya adalah
introspeksi diri. Artinya, seseorang menjelang berakhirnya hari itu, ia
mengevaluasi kembali perbuatan, sikap dan ucapan yang disampaikannya.
Perbuatan ini memberi kesempatan kepada manusia untuk menilai niatnya
lebih teliti, sehingga dapat melihat semua niat yang tersembunyi dalam
perbuatannya. Dalam evaluasi ini, seseorang tidak boleh mentoleran
dirinya sendiri, sehingga evaluasi ini dapat membantunya mengenal akar
dan cabang riya lalu berusaha membinasakannya.
Demi
menyempurnakan upaya introspeksi diri ini, kita menyimak penjelasan
Imam Khomeini ra dalam bukunya Chehel Hadis, "Wahai saudaraku! Sadarlah
dari kelalaianmu dan memikirkan perbuatanmu serta memandang lembaran
amal perbuatanmu. Takutlah dari perbuatan yang engkau anggap benar
seperti shala, puasa, haji dan lain-lain, ternyata di alam sana menjadi
penyebab masalah dan kehinaan. Evaluasilah dirimu di alam ini sehingga
mendapat kesempatan memperbaikinya dan timbanglah amal perbuatanmu...
Bila di sini engkau tidak mengevaluasi diri dan tidak meluruskannya,
maka di sana engkau akan diperhitungkan dan perbuatanmu akan dihitung.
Pada waktu itu engkau akan mendapat musibah yang besar. Takutlah akan
keadilan ilahi dan jangan sampai sombong. Dan pada saat yang sama
jangan sampai meninggalkan usaha keras."
0 komentar:
Posting Komentar