Hadis ke 1
Kesejahteraan rakyat adalah
Tanggung jawab seorang pemimpin
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى
النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ
عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ
عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ
وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ
فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Ibn umar r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw
bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta
pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan
diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang
suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri
yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab
dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang
bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal
yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta
pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Pada dasarnya, hadis di atas berbicara tentang etika kepemimpinan
dalam islam. Dalam hadis ini dijelaskan bahwa etika paling pokok dalam
kepemimpinan adalah tanggun jawab. Semua orang yang hidup di muka bumi
ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya, sebagai pemimpin, mereka semua
memikul tanggung jawab, sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri.
Seorang suami bertanggung jawab atas istrinya, seorang bapak bertangung
jawab kepada anak-anaknya, seorang majikan betanggung jawab kepada
pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab kepada bawahannya, dan
seorang presiden, bupati, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang
dipimpinnya, dst.
Akan tetapi, tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna
melaksanakan tugas lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar)
bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung
jawab di sini adalah lebih berarti upaya seorang pemimpin untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin. Karena kata ra ‘a sendiri secara bahasa bermakna gembala dan kata ra-‘in
berarti pengembala. Ibarat pengembala, ia harus merawat, memberi makan
dan mencarikan tempat berteduh binatang gembalanya. Singkatnya, seorang
penggembala bertanggung jawab untuk mensejahterakan binatang gembalanya.
Tapi cerita gembala hanyalah sebuah tamsil, dan manusia tentu berbeda
dengan binatang, sehingga menggembala manusia tidak sama dengan
menggembala binatang. Anugerah akal budi yang diberikan allah kepada
manusia merupakan kelebihan tersendiri bagi manusia untuk mengembalakan
dirinya sendiri, tanpa harus mengantungkan hidupnya kepada penggembala
lain. Karenanya, pertama-tama yang disampaikan oleh hadis di atas adalah
bahwa setiap manusia adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas
kesejahteraan dirinya sendiri. Atau denga kata lain, seseorang mesti
bertanggung jawab untuk mencari makan atau menghidupi dirinya sendiri,
tanpa mengantungkan hidupnya kepada orang lain
Dengan demikian, karena hakekat kepemimpinan adalah tanggung jawab
dan wujud tanggung jawab adalah kesejahteraan, maka bila orang tua hanya
sekedar memberi makan anak-anaknya tetapi tidak memenuhi standar gizi
serta kebutuhan pendidikannya tidak dipenuhi, maka hal itu masih jauh
dari makna tanggung jawab yang sebenarnya. Demikian pula bila seorang
majikan memberikan gaji prt (pekerja rumah tangga) di bawah standar ump
(upah minimu provinsi), maka majikan tersebut belum bisa dikatakan
bertanggung jawab. Begitu pula bila seorang pemimpin, katakanlah
presiden, dalam memimpin negerinya hanya sebatas menjadi “pemerintah”
saja, namun tidak ada upaya serius untuk mengangkat rakyatnya dari
jurang kemiskinan menuju kesejahteraan, maka presiden tersebut belum
bisa dikatakan telah bertanggung jawab. Karena tanggung jawab seorang
presiden harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada
rakyat kecil dan kaum miskin, bukannya berpihak pada konglomerat dan
teman-teman dekat. Oleh sebab itu, bila keadaan sebuah bangsa masih jauh
dari standar kesejahteraan, maka tanggung jawab pemimpinnya masih perlu
dipertanyakan.
Hadis ke 2
Hukuman bagi pemimpin yang menipu rakyat
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا أَبُو
الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ عَادَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ
مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ الْمُزنِيَّ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ قَالَ
مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّ لِي حَيَاةً مَا
حَدَّثْتُكَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً
يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ
اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Abu ja’la (ma’qil) bin jasar r.a berkata: saya telah mendengar
rasulullah saw bersabda: tiada seorang yang diamanati oleh allah
memimpin rakyat kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya,
melainkan pasti allah mengharamkan baginya surga. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Kejujuran adalah modal yang paling mendasar dalam sebuah
kepemimpinan. Tanpa kejujuran, kepemimpinan ibarat bangunan tanpa
fondasi, dari luar nampak megah namun di dalamnya rapuh dan tak bisa
bertahan lama. Begitu pula dengan kepemimpinan, bila tidak didasarkan
atas kejujuran orang-orang yang terlibat di dalamnya, maka jangan harap
kepemimpinan itu akan berjalan dengan baik. Namun kejujuran di sini
tidak bisa hanya mengandalakan pada satu orang saja, kepada pemimpin
saja misalkan. Akan tetapi semua komponen yang terlibat di dalamnya,
baik itu pemimpinnya, pembantunya, staf-stafnya, hingga struktur yang
paling bawah dalam kepemimpnan ini, semisal tukang sapunya, harus
menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Hal itu karena tidak sedikit
dalam sebuah kepemimpinan, atau sebuah organisasi, terdapat pihak yang
jujur namun juga terdapat pihak yang tidak jujur. Bila pemimpinnya jujur
namun staf-stafnya tidak jujur, maka kepemimpinan itu juga akan rapuh.
Begitu pula sebaliknya.
Namun secara garis besar, yang sangat ditekankan dalam hadis ini
adalah seorang pemimpin harus memberikan suri tauladan yang baik kepada
pihak-pihak yang dipimpinnya. Suri tauladan ini tentunya harus
diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan
pemimpin yang tidak menipu dan melukai hati rakyatnya. Pemimpin yang
menipu dan melukai hati rakyat, dalam hadis ini disebutkan, diharamkan
oleh allah untuk mengninjakkan kaki si sorga. Meski hukuman ini nampak
kurang kejam, karena hanya hukuman di akhirat dan tidak menyertakan
hukuman di dunia, namun sebenarnya hukuman “haram masuk sorga” ini
mencerminkan betapa murkanya allah terhadap pemimpin yang tidak jujur
dan suka menipu rakayat.
Hadis ke 3
Pemimpin dilarang bersikap birokratis
حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ حَدَّثَنَا
ابْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
شِمَاسَةَ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ أَسْأَلُهَا عَنْ شَيْءٍ فَقَالَتْ
مِمَّنْ أَنْتَ فَقُلْتُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ مِصْرَ فَقَالَتْ كَيْفَ كَانَ
صَاحِبُكُمْ لَكُمْ فِي غَزَاتِكُمْ هَذِهِ فَقَالَ مَا نَقَمْنَا مِنْهُ
شَيْئًا إِنْ كَانَ لَيَمُوتُ لِلرَّجُلِ مِنَّا الْبَعِيرُ فَيُعْطِيهِ
الْبَعِيرَ وَالْعَبْدُ فَيُعْطِيهِ الْعَبْدَ وَيَحْتَاجُ إِلَى
النَّفَقَةِ فَيُعْطِيهِ النَّفَقَةَ فَقَالَتْ أَمَا إِنَّهُ لَا
يَمْنَعُنِي الَّذِي فَعَلَ فِي مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ أَخِي أَنْ
أُخْبِرَكَ مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي بَيْتِي هَذَا اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ
أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ
مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ و حَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا جَرِيرُ
بْنُ حَازِمٍ عَنْ حَرْمَلَةَ الْمِصْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
شِمَاسَةَ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
‘Aisjah r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw
bersabda di rumahku ini : ya allah siapa yang menguasai sesuatu dari
urusan umatku, lalu mempersukar pada mereka, maka persukarlah baginya.
Dan siapa yang mengurusi umatku lalu berlemah lembut pada mereka, maka
permudahlah baginya. (hr. Muslim)
Penjelasan:
Hadis ini menerangkan tentang larangan seorang pemimpin untuk
bersikap arogan, elitis, represif dan birokratis atau mempersulit
urusan-urusan rakyatnya. Karena sebagaimana kita ketahui, tidak sedikit
pemimpin yang bersikap arogan dan mempersulit urusan-urusan rakyatnya.
Untuk mengurusi dokumen-dokumen kewarganegaraan saja misalkan, seperti
ktp, akta kelahiran, perijinan usaha, dsb, seorang rakyat harus melalui
tahapan-tahapan yang cukup rumit dan memakan waktu dan biaya yang tidak
sedikit.
Padahal, seorang pemimpin, menurut hadis ini, harus memberikan
pelayanan yang maksimal serta tidak menyulitkan warga atau rakyat. Bila
semua urusan itu bisa dipermudah kenapa harus dipersulit. Akibatnya,
birokrasi yang sejatinya bertujuan untuk mempermudah, berbalik menjadi
mempersulit segala urusan rakyat. Oleh sebab itu, bila sorang pemimpin
suka mempersulit urusan rakyatnya, maka niscaya allah akan mempersulit
segala urusan dia baik di dunia lebih-lebih di akhirat nanti.
Hadis ke 4
Kontrak politik sebagai
mekanisme kontrol terhadap pemimpin
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ سَمِعْتُ
أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ
فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا
هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي
وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا
بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ
اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Abu hurairah r.a berkata : rasulullah saw bersabda : dahulu bani
israil selalu dipimpin oleh nabi, tiap mati seorang nabi seorang nabi
digantikan oleh nabi lainnya, dan sesudah aku ini tidak ada nabi, dan
akan terangkat sepeninggalku beberapa khalifah. Bahkan akan bertambah
banyak. Sahabat bertanya: ya rasulullah apakah pesanmu kepada kami?
Jawab nabi: tepatilah baiatmu (kontrak politik) pada yang pertama, dan
berikan kepada mereka haknya, dan mohonlah kepada allah bagimu, maka
allah akan menanya mereka dari hal apa yang diamanatkan dalam memelihara
hambanya.
Penjelasan:
Pada umumnya, kata bai’at diartikan sebagai janji. Namun sebenarnya, kata bai’at berasal dari suku kata bahasa arab ba-ya-‘a
yang bermakna transaksi. Bila transaksi ini konteksnya adalah ekonomi
maka ia berarti jual beli yang kemudian dikenal dengan kata kerja bu yu’ yang berarti terjadinya transaksi antara penjual dan pembeli.
Akan tetapi bila konteks kata tersebut adalah politik, maka yang
dimaksud transaksi di sini adalah sebuah perjanjian antar rakyat dan
pemimpin. Karena itu, tak heran bila rasul s.a.w senantiasa menekankan
pentingnya bai’at dalam sebuah kepemimpinan, dengan bai’at seorang
pemimpin telah melakukan transaksi politik yang menuntut pemenuhan atas
point-poin yang menjadi ksepakatan dalam transaksi mereka (pemimpin dan
rakyat).
Akan tetapi, dalam konteks belakangan ini, kata bai’at mengalami
reduksi makna hanya sekedar sumpah jabatan yang biasanya bersifat pasif
dan tidak memberikan ruang tawar menawar politik antara rakyat dan
pemimpin. Bila kita melihat praktik sumpah jabatan di indonesia
misalkan, sumpah jabatan presiden hanya dibacakan secara sepihak antara
mpr dan presiden namun tidak menyisakan ruang negoisasi antara rakyat
dan prsiden. Padahal, rakyat sebagai pihak yang dipimpin seharusnya
berhak membuat kesepakatan-kesepakatan politik tertentu dengan presiden
yang bila kesepakatan itu dilanggar maka jabatan presidien dengan
sendirinya akan gugur. Oleh sebab itu, agar sumpah jabatan ini tidak
sekedar menjadi ritual dalam setiap pemilihan presiden atau pemimpin
namun tidak memiliki dampak yang berarti dalam proses kepemimpinannnya,
maka kemudian kita mengenal apa yang dalam istilah politik disebut
sebagai “kontrak politik”.
Kontrak politik di sini mengandung pengertian sebuah ruang dimana
antara pemimpin dan rakyat melakukan “transaksi” dan membuat
kesepakatan-kesepakatan tertentu yang memilki resiko-resiko bila kedua
belah pihak melanggarnya. Kontrak politik, dalam hal ini tidak berbeda
dengan ba’at dalam istilah islam. Hanya saja, kontrak politik terjadi
antara rakyat dan pemimpin secara setara dan diketahui secara publik,
tetapi bai’at dilakukan oleh rakyat, pemimpin dan di atas keduanya ada
tuhan sebagai saksi. Oleh sebab itu, bila kita memaknai hadis di atas
secara dalam dan kontekstual, maka kita dapat menangkap pesan bahwa
rasul s.a.w menekankan betapa pentingnya sebuah kontrak politik dalam
sebuah sistem kepemimpinan yang islami.
Hadis ke 5
Pemimpin dilarang bersikap otoriter
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ
حَازِمٍ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ أَنَّ عَائِذَ بْنَ عَمْرٍو وَكَانَ مِنْ
أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى
عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ زِيَادٍ فَقَالَ أَيْ بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ شَرَّ
الرِّعَاءِ الْحُطَمَةُ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ فَقَالَ لَهُ
اجْلِسْ فَإِنَّمَا أَنْتَ مِنْ نُخَالَةِ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ وَهَلْ كَانَتْ لَهُمْ نُخَالَةٌ
إِنَّمَا كَانَتْ النُّخَالَةُ بَعْدَهُمْ وَفِي غَيْرِهِمْ
‘Aidz bin amru r.a, ketika ia masuk kepada ubaidillah bin zijad
berkata: hai anakku saya telah mendengar rasulullah saw bersabda:
sesungguhnya sejahat-jahat pemerintah yaitu yang kejam (otoriter), maka
janganlah kau tergolong daripada mereka. (HR. Buchary, Muslim)
Penjelasan:
Hadis ke 6
Pemimpin sebagai pelayan rakyat
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدِّمَشْقِيُّ
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَنَّ
الْقَاسِمَ بْنَ مُخَيْمِرَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا مَرْيَمَ
الْأَزْدِيَّ أَخْبَرَهُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى مُعَاوِيَةَ فَقَالَ مَا
أَنْعَمَنَا بِكَ أَبَا فُلَانٍ وَهِيَ كَلِمَةٌ تَقُولُهَا الْعَرَبُ
فَقُلْتُ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ أُخْبِرُكَ بِهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ
وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ
وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ قَالَ فَجَعَلَ رَجُلًا عَلَى حَوَائِجِ النَّاسِ
Abu maryam al’ azdy r.a berkata kepada muawiyah: saya telah
mendengar rasulullah saw bersabda: siapa yang diserahi oleh allah
mengatur kepentingan kaum muslimin, yang kemdian ia sembunyi dari hajat
kepentingan mereka, maka allah akan menolak hajat kepentingan dan
kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka kemudian muawiyah mengangkat
seorang untuk melayani segala hajat kebutuhan orang-orang (rakyat). (abu
dawud, attirmidzy)
Penjelasan:
Pemimpin sebagai pelayan dan rakyat sebagai tuan. Itulah kira-kira
yang hendak disampaikan oleh hadis di atas. Meski tidak secara
terang-terangan hadis di atas menyebutkan rakyat sebagai tuan dan
pemimpin sebagai pelayan, namun setidaknya hadis ini hendak menegaskan
bahwa islam memandang seorang pemimpin tidak lebih tinggi statusnya dari
rakyat, karena hakekat pemimpin ialah melayani kepentingan rakyat.
Sebagai seorang pelayan, ia tentu tidak beda dengan pelayan-pelayan
lainnya yang bertugas melayani kebutuhan-kebutuhan majikannya. Seorang
pelayan rumah tangga, misalkan, harus bertanggung jawab untuk melayani
kebutuhan majikannya. Demikian juga seorang pelayan kepentingan rakyat
harus bertanggung jawab untuk melayani seluruh kepentingan rakyatnya.
Dalam konteks indoensia, sosok “pelayan” yang bertugas untuk memenuhi
kepentingan “tuan” rakyat ini adalah presiden, menteri, dpr, mpr, ma,
bupati, walikota, gubernur, kepala desa, dan semua birokrasi yang
mendukungnya. Mereka ini adalah orang-orang yang kita beri kepercayaan
(tentunya melalui pemilu) untuk mengurus segala kepentingan dan
kebutuhan kita sebagai rakyat. Karena itu, bila mereka tidak
melaksanakan tugasnya sebagai pelayan rakyat, maka kita sebagai “tuan”
berhak untuk “memecat” mereka dari jabatannya.
Hads ke 7
Pemimpin harus bersikap adil
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَّامٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ خُبَيْبِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ
وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ فِي
خَلَاءٍ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسْجِدِ
وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ
مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا قَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ
تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا
صَنَعَتْ يَمِينُهُ
Abu hurairah r.a: berkata: bersabda nabi saw: ada tujuh macam
orang yang bakal bernaung di bawah naungan allah, pada hati tiada
naungan kecuali naungan allah: Imam(pemimpin) yang adil, dan pemuda yang rajin ibadah kepada
allah. Dan orang yang hatinya selalu gandrung kepada masjid. Dan dua
orang yang saling kasih sayang karena allah, baik waktu berkumpul atau
berpisah. Dan orang laki yang diajak berzina oleh wanita bangsawan nan
cantik, maka menolak dengan kata: saya takut kepada allah. Dan orang
yang sedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak
mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. Dan orang
berdzikir ingat pada allah sendirian hingga mencucurkan air matanya.
(buchary, muslim)
Penjelasan:
Meski hadis ini menjelaskan tentang tujuh macam karakter orang yang
dijamin keselamatannya oleh allah nanti pada hari kiamat, namun yang
sangat ditekankan oleh hadis ini adalah karakter orang yang pertama,
yaitu pemimpin yang adil. Bukannya kita menyepelekan enam karakter
sesudahnya, akan tetapi karakter pemimpin yang adil memang menjadi
tonggak bagi kemaslahatan seluruh umat manusia. Tanpa pemimpin yang adil
maka kehidupan ini akan terjebak ke dalam jurang penderitaan yang cukup
dalam.
Untuk melihat sejauh mana seorang peimimpin itu telah berlaku adil
terhadap rakyatnya adalah melalui keputusan-keputuasan dan kebijakan
yang dikeluarkannya. Bila seorang pemimpin menerapkan hukum secara sama
dan setara kepada semua warganya yang berbuat salah atau melanggar
hukum, tanpa tebang pilih, maka pemimpin itu bisa dikatakan telah
berbuat adil. Namun sebaliknya, bila pemimpin itu hanya menghukum
sebagian orang (rakyat kecil) tapi melindungi sebagian yang lain
(elit/konglomerat), padahal mereka sama-ama melanggar hukum, maka
pemimpin itu telah berbuat dzalim dan jauh dari perilaku yang adil.
Hadis ke 8
Jaminan bagi pemimpin yang adil
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ
حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ
عَنْ عَمْرٍو يَعْنِي ابْنَ دِينَارٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ وَأَبُو بَكْرٍ يَبْلُغُ بِهِ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي حَدِيثِ زُهَيْرٍ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ
الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ
يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
Abdullah bin ‘amru bin al ‘ash r.a berkata: rasulullah saw
bersabda: sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil, kelak disisi allah
ditempatkan diatas mimbar dari cahaya, ialah mereka yang adil dalam
hokum terhadap keluarga dan apa saja yang diserahkan (dikuasakan) kepada
mereka. (muslim)
Penjelasan:
Bila hadis sebelumnya berbicara tentang “garansi” allah atas pemimpin
yang berbuat adil, maka hadis ini lebih mengulas tentang “imbalan” bagi
seorang pemimpin yang adil. Dalam hadis ini disebutkan bahwa imbalan
bagi pemimpin yang adil adalah kelak di sisi allah akan ditempatkan di
atas mimbar dari cahaya. Secara harfiyah, mimbar berarti sebuah tempat
khusus untuk orang-orang yang hendak berdakwah atau berceramah di
hadapan umum. Karenanya, mimbar jum’at biasanya mengacu pada sebuah
tempat khusus yang disediakan masjid untuk kepentingan khotib. Sementara
cahaya adalah sebuah sinar yang menerangi sebuah kehidupan. Kata
cahaya biasanya mengacu pada matahari sebagai penerang bumi, lampu
sebagai penerang dari kegelapan, dsb. Oleh sebab itu, kata mimbar dari
cahaya di dalam hadis di atas tentu tidak serta merta dimaknai secara
harfiyah seperti mimbar yang dipenuhi hiasan lampu-lampu yang bersinar
terang, melainkan mimbar cahaya adalah sebuah metafor yang menggambarkan
sebuah posisi yang sangat terhormat di mata allah. Posisi itu
mencrminkan sebuah ketinggian status setinggi cahaya matahari.
Hadis ke 9
Sorga bagi pemimpin yang adil
حَدَّثَنِي أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ
الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارِ بْنِ عُثْمَانَ وَاللَّفْظُ لِأَبِي
غَسَّانَ وَابْنِ الْمُثَنَّى قَالَا حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ
حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ قَتَادَةَ عَنْ مُطَرِّفِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
الشِّخِّيرِ عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ الْمُجَاشِعِيِّ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ َأَهْلُ
الْجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ مُتَصَدِّقٌ مُوَفَّقٌ
وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ لِكُلِّ ذِي قُرْبَى وَمُسْلِمٍ
وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيَالٍ
Ijadl bin himar r.a berkata: saya telah mendengar rasulullah saw
bersabda: orang-orang ahli surga ada tiga macam: raja yang adil,
mendapat taufiq hidayat ( dari allah). Dan orang belas kasih lunak hati
pada sanak kerabat dan orang muslim. Dan orang miskin berkeluarga yang
tetap menjaga kesopanan dan kehormatan diri. (muslim).
Penjelaan:
Bila yang pertama tadi allah akan menjamin pemimpin yang berbuat adil
dengan jaminan naungan rahmat dari allah, dan hadis selanjutnya
menjamin dengan jaminan mimbar yang terbuat dari cahaya, maka jaminan
yang ke tiga ini adalah jaminan sorga. Ketiga jaminan di atas tentunya
bukan sekedar jaminan biasa, melainkan semua jaminan itu menunjukkan
betapa islam sangat menekankan pentingnya sikap keadilan bagi seorang
peimimpin. Rasul s.a.w tidak mungkin memberikan jaminan begitu tinggi
kepada seseorang kecuali seseorang itu benar-benar dituntut untuk
melakukan hal yang sangat ditekankan dalam islam. Dan keadilan adalah
perkara penting yang sangat ditekankan dalam islam. Oleh karena itu,
siapa yang menjunjung tinggi keadilan, niscaya orang tersebut akan
mendapat jaminan yang tinggi dari islam (allah), baik di dunia, maupun
di akhirat.
Hadis ke 10
Batas-batas kepatuhan rakyat terhadap pemimpin
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ
عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ
وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا
لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ
وَلَا طَاعَةَ
Ibn umar r.a berkata : bersabda nabi saw : seorang muslim wajib
mendengar dan ta’at pada pemerintahannya, dalam apa yang disetujui atau
tidak disetujui, kecuali jika diperintah ma’siyat. Maka apabila disuruh
ma’siyat, maka tidak wajib mendengar dan tidak wajib ta’at.
Penjelasan:
Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa kepatuhan seorang rakyat
terhadap pemimpin tidaklah mutlak. Ada batasan-batasan tertentu dimana
seorang rakyat wajib ta’at dan patuh dan ada pula saat dimana rakyat
tidak perlu patuh, bahkan boleh berontak atau melawan. Dalam hadis di
atas, batasan-batasan kepatuhan terhadap pemimpin itu adalah selama
pimimpin tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat ma’siyat. Lantas
pertanyaanya, apa yang dimaksud engan ma’siyat itu?
Secara bahasa ma’siyat adalah berarti durhaka atau tidak ta’at kepada
allah. Namun secara istilahi, makna ma’siyat cukup beragam. Karenanya,
adalah salah kaprah bila kita membatasi makna ma’siyat hanya pada
perkara-perkara semacam pornografi dan pornoaksi, seperti yang dilakukan
oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan islam dalam melakukan
pengrusakan tempat hiburan dengan dalih menghapus kema’siyatan.
Padahal kem’siyatan bukan hanya berada di tempat hiburan malam, akan
tetapi di kantor-kantor pemerintah justru lebih banyak kema’siyatan
dalam bentuknya yang samar namun cukup memprihatinkan. Lihatlah misalnya
di kantor-kantor departemen, di ruang-ruang sidang para wakil rakyat,
bahkan di masjid sekalipun, kita bisa menjumpai kema’siyatan. Namun yang
dimaksud kema’siyatan di sini tentunya bukan penari telanjang atau
orang yang sedang mabuk-mabukan, melainkan tindakan-tindakan yang
mendurhakai allah yang dipertontonkan oleh para pemimpin kita, wakil
rakyat kita dan bahkan ulama-ulama kita. Bukankah korupsi, kolusi dan
semua hal yang mengarah pada ketidak jujuran dalam memimpin negeri ini
serta mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil juga
termasuk ma’siyat. Bukan hanya itu, seorang ulama yang pandai
berkhutbah namun dia menjadi jurkam dari pemimpin yang korup juga telah
masuk dalam kategori berbuat ma’siyat. Bahkan tindakan yang tidak
melindungi anak-anak terlantar, janda-janda tua dan kaum miskin papa
juga termasuk ma’siyat karena semua itu merupakan perintah allah, dan
bagi siapa yang tidak melaksanakan perintah allah maka dia telah
mendurhakai allah, dan orang yang durhaka berarti berbuat ma’siyat
kepada allah.
Dengan demikian, kema’siyatan yang tidak perlu dipatuhi seorang
rakayat terhadap pemimpinnya adalah kema’siyatan dengan pengertiannya
yang cukup luas (mendurhakai allah) bukan saja kema’siyatan yang berarti
sempit (seperti pornoaksi dan pornografi). Oleh sebab itu, dari hadis
di atas bisa kita simpulkan bahwa apabila pemimpin kita sudah tidak lagi
memegang prinsip-prinsip kejujuran serta tidak lagi berpihak pada
kepentingan rakyat kecil, maka batasan kepatuhan terhadap pemimpin
tersebut sudah gugur dengan sendirinya, karena pemimpin itu sendiri
sudah termasuk kema’siyatan yang perlu untuk di hapuskan di muka bumi
ini.
Hadis ke 11
Kepemimpinan tidak mengenal warna kulit
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ
شُعْبَةَ عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ
كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
Anas r.a berkata : bersabda rasulullah saw: dengarlah dan
ta’atlah meskipun yang terangkat dalam pemerintahanmu seorang budak
habasyah yang kepalanya bagaikan kismis. (buchary)
Penjelasan:
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Begitu pula nabi muhammad
s.a.w diutus sebagai nabi bukan hanya untuk orang arab saja, melainkan
untuk semua umat manusia. Karena itu, para pengikut nabi bukan saja dari
kalangan suku quraisy yang menjadi suku bergengsi saat itu, melainkan
juga dari suku-suku lainnya yang sebelum datang islam termasuk suku
“hina”. Bahkan kita mengenal salah seorang sahabat nabi yang bernama
bilal bin rabah yang warna kulitnya cukup hitam legam. Padahal, sebelum
datangnya ajaran islam di arab dulu, orang kulit hitam adalah termasuk
kelompok suku yang sebagian besar berprofesi sebagai budak. Mereka sama
sekali tidak dihargai dan tidak diperlakukan sebagaimana manusia yang
lain. Akan tetapi setelah turun ajaran islam, semua batasan-batasan ras,
warna kulit, dan golongan itu dihapus, dan semua manusia adalah sama
statsunya di muka allah, hanya keimanan dan ketaqwaanlah yang membedakan
mereka.
Pengakuan islam terhadap dimensi kemanusian universal bukan hanya
dalam pergaulan sosial sehari-hari, melainkan islam juga mengakui semua
orang berhak menjadi pemimpin. Tidak peduli mereka itu berkulit hitam,
coklat, merah, hijau, dsb, asalkan bisa memimpin secara adil, maka dia
berhak untuk menjadi pemimpin. Dalam konteks ini, keadilan dan kejujuran
menjadi kriteria paling pokok dalam menentukan seorang pemimpin, bukan
warna kulit atau asal golongan. Dan apabila yang terpilih sebagai
pemimpin adalah dari kalangan kulit hitam, islam juga mewajibkan kita
agar tidak boleh meremehkan pemimpin itu. Akan tetapi kita juga harus
mematuhi semua perintahnya (selama tidak untuk ma’siyat) sebagaimana
kita mematuhi perintah pemimpin-pemimpin yang lain.
Hadis ke 12
Keseimbangan hak rakyat dan tanggung jawab pemimpin
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ
بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ
عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ الْحَضْرَمِيِّ
عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَأَلَ سَلَمَةُ بْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ
أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ
وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ
سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي
الثَّالِثَةِ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ وَقَالَ اسْمَعُوا
وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا
حُمِّلْتُمْ و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا
شَبَابَةُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سِمَاكٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ
وَقَالَ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا
عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
Abu hunaidah (wa’il) bin hadjur r.a. Berkata : salamah bin jazid
aldju’fy bertanya kepada rasulullah saw : ya rasulullah, bagaimana jika
terangkat diatas kami kepala-kepala yang hanya pandai menuntut haknya
dan menahan hak kami, maka bagaimanakah kau menyuruh kami berbuat? Pada
mulanya rasulullah mengabaikan pertanyaan itu, hingga ditanya kedua
kalinya, maka rasulullah saw bersabda : dengarlah dan ta’atlah maka
sungguh bagi masing-masing kewajiban sendiri-sendiri atas mereka ada
tanggung jawab dan atas kamu tanggung jawabmu. (muslim)
Penjelasan:
Rakyat memiliki hak dan pemimpin memiliki tanggung jaab. Begitu pula
sebaliknya, rakyat memiliki tanggung jawab dan pemimpin juga memiliki
hak. Antara keduanya harus ada keseimbangan dan kesetaraan. Yang satu
tidak boleh mendominasi yang lain. Akan tetapi kekuasaan sepenuhnya
adalah tetap berada di tangan rakyat. Karena hakekat kepemimpinan
hanyalah amanat yang harus diemban oleh seorang pemimpin. Bila sang
pemimpin tidak bisa menjaga amanat itu dengan baik, maka kekuasaan
kembali berada di tangan rakyat.
Oleh sebab itu, mengingat kesetaraan poisi rakyat dan pemimpin ini,
maka masing-masing memilki hak dan tanggung jawabnya. Hadis di atas
menjelaskan bahwa seorang pemimpin jangan hanya bisa memenuhi haknya,
dan mengebiri hak rakyatnya, akan tetapi seorang pemimpin harus mengakui
dan menjamin hak-hak rakyatnya secara bebas.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, mungkin kita sudah
mengenal konsep hak azazi manusia (ham). Oleh sebab itu, bila kita tarik
hadis di atas dalam kontek saat ini, maka sebanarnya nabi muhammad
s.a.w jauh sebelumnya sudah mengajarkan prinsip-prinsip ham dalam
kehidupan politik rakyatnya. Betapa tidak, dari hadis di atas dapat kita
gali sebuah pesan bahwa islam menjamin ham termasuk di dalamnya hak-hak
sipil dan politik (isipol) dan hak-hak ekonomi sosial dan budaya
(ekosob). Karena itu, bila seorang peimimpin tidak menjamin hak-hak
azasi manusia (ham) warganya, maka pemimpin itu telah keluar dari sunnah
rasul s.a.w.
Hadis ke 13
Allah membenci pemimpinYang mengejar jabatan
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ
حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ
فَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ
أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ
عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَأْتِ الَّذِي هُوَ
خَيْرٌ وَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ
Abu said (abdurrahman) bin samurah r.a. Berkata: rasulullah saw
telah bersabda kepada saya : ya abdurrahman bin samurah, jangan menuntut
kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan tanpa
minta, kau akan dibantu oleh allah untuk melaksanakannya, tetapi jika
dapat jabatan itu karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas
bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah bersumpah
untuk sesuatu kemudian ternyata jika kau lakukan lainnya akan lebih
baik, maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa yang lebih baik itu.
(buchary, muslim)
Penjelasan:
Dalam hadis lain rasul s.a.w juga pernah bersabda: “barang siapa
telah menyerahkan sebuah jabatan atau amanat kepada orang yang bukan
ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”. Kedua hadis di atas
sebenarnya mengajarkan kepada kita bahwa amanat itu tidak perlu dicari
dan jabatan itu tidak perlu dikejar. Karena bila kita mencari dan
mengejar amanat dan jabatan itu, maka niscaya allah tidak akan memabntu
kita. Akan tetapi bila kita tidak menuntut dan tidak mencari amanat itu,
maka justru allah akan membantu untuk meringankan beban amanat itu
sendiri.
Hadis di atas sebenarnya mengajarkan tentang etika politik. Seoarang
politisi tidak serta-merta bebas dari etika, sebagaimana ditunjukkan
oleh para politisi kita selama ini. Melainkan seorang politisi dan
kehidupan politik itu sendiri harus berdasarkan sebuah kode etik. Bila
kehidupan politik tidak berasarkan etika, maka kesan yang muncul
kemudian bahwa politik itu kotor. Padahal, tidak selamanya politik itu
kotor, nabi muhammad s.a.w sendiri pernah menjadi seorang politisi, tapi
tidak pernah bermain kotor.
Bila kita mencermati hadis di atas, maka akan kita temukan bahwa
citra “ke-kotoran” dari politik itu sebenarnya bersumber dari sikap
para pelakuknya yang ambisius. Dalam hal ini, ambisi menjadi salah satu
faktor uatama dalam membentuk sikap dan pandangan politik eseorang
sehingga menjadi kotor. Betapa tidak, dari ambisi itu, seseorang bisa
saja membunuh orang lain yang menjadi pesaing politiknya. Dan dari
ambisi itu pula seseorang bisa melakukan apa aja untuk meraih jabatan
politik yang diinginkannya, baik melalui korupsi, penipuan, pembunuhan,
ke dukun, dsb. Oleh sebab itu, “menjaga ambsi” adalah sebuah etika
politik yang diajarkan islam kepada umatnya, terutama bagi mereka yang
berkiprah di dunia politik.
Hadis ke 14
Amanat di balik jabatan
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ
حَدَّثَنِي أَبِي شُعَيْبُ بْنُ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ بْنُ
سَعْدٍ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَمْرٍو
عَنْ الْحَارِثِ بْنِ يَزِيدَ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ ابْنِ حُجَيْرَةَ
الْأَكْبَرِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا
تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا
أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا
وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Abu dzar berkata : ya rasulallah tidakkah kau memberi jabatan
apa-apa kepadaku? Maka rasulullah memukul bahuku sambil berkata : hai
abu dzar kau seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai amanat yang
pada hari qiyamat hanya akan menjadi kemenyesalan dan kehinaan. Kecuali
orang yang yang dapat menunaikan hak dan kewajibannya, dan memenuhi
tanggung jawabnya.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ
حَدَّثَنِي أَبِي شُعَيْبُ بْنُ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ بْنُ
سَعْدٍ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَمْرٍو
عَنْ الْحَارِثِ بْنِ يَزِيدَ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ ابْنِ حُجَيْرَةَ
الْأَكْبَرِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا
تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا
أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا
وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Abu hurairah r.a. Berkata : rasulullah saw bersabda : kamu akan
berebut pemerintahan, dan akan menjadi kemenyasalan pada hari qiyamat.
(buchary)
Penjelasan:
Hadis ini tidak jauh berbeda dengan hadis sebelumnya di atas. Bila
hadis sebelumnya melarang kita agar tidak berambisi untuk meraih
jabatan, maka hadis ini lebih menekankan betapa beratnya amanat dalam
sebuah jabatan. Dan saking beratnya hingga rasul s.a.w mengatakan bahwa
kelak di hari qiamat kita merasakan penyesalan yang begitu dahsyat
karena kita telah bersedia mengemban amanat itu. Janganlah kita mengira
bahwa menjadi seorang peimimpin dengan sendirinya akan bergelimang harta
dan kehormatan. Padahal, harta dan kehormatan itu justru menjadi batu
sandungan yang bisa mengakibatkan seseorang terjerumus ke dalam jurang
kenistaan.
Lihatlah misalnya, seorang presiden dengan tanggung jawab yang begitu
besar untuk mensejahterakan rakyatnya, atau seorang suami yang begitu
besar tanggung jawabnya untuk menafkahi istrinya, atau seorang bapak
yang memikul amanat untuk mebesarkan anak-anaknya. Semua itu merupakan
amanat yang harus dijaga dan dilaksanakan sebaik-baiknya. Apabila kita
tidak bisa berbuat adil dan tidak mampu mewujudkan kehidupan yang lebih
baik bagi pihak yang kita pimpin, maka janganlah sekali-kali kita
mencoba-coba untuk mengemban amanat tersebut. Apabila seorang presiden
tidak mampu mengemban amanat untuk membawa kehidupan bangsanya dari
keterpurukan menuju kesejahteraan dan keadilan, maka janganlah kita
kembali memilih presiden atau pemimpin itu untuk kedua kalinya. Karena
itu, amanat adalah ringan dikatakan namun berat untuk dilaksanakan.
Barang siapa hanya bisa mengatakan namun tidak bisa melaksanakan, maka
ia tidak layak untuk dijadikan pemimpin.
Hadis ke 15
Pemimpin dilarang mengeksploitasi rakyat kecil
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
كِلَاهُمَا عَنْ الْمُقْرِئِ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ عُبَيْدِ
اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ الْقُرَشِيِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي سَالِمٍ
الْجَيْشَانِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّي أَرَاكَ
ضَعِيفًا وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لَا تَأَمَّرَنَّ
عَلَى اثْنَيْنِ وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ
Abu dzar r.a. Berkata : rasulullah saw abersabda : ya abu dzar
saya melihat kau seorang yag lemah, dan saya suka bagi dirimu apa yang
saya suka bagi diriku sendiri, jangan menjadi pemimpin walau terhadap
dua orang, dan jangan menguasai harta anak yatim. (muslim)
Penjelasan:
Hadis ini menerangkan kepada kita bahwa jabatan sebagai pemimpin itu
sangat berat, hingga rasul.s.a.w menganjurkan salah seorang sahabat
untuk, kalau bisa, tidak menjadi pemimpin walau hanya terhadap dua
orang. Akan tetapi pesan yang paling menonjol dari hadis di atas adalah
bahwa godaan terberat bagi seorang peimimpin adalah menguasai harta anak
yatim. Tentunya, anak yatim di sini adalah salah satu contoh yang
merepresentaskan sebuah kelompok masyarakat yang paling lemah. Di luar
anak yatim, kita juga bisa menyaksikan orang-orang lemah yang lain,
seperti, janda tua, anak-anak terlantar, pengemis, buruh, petani gurem,
pengangguran, dsb, yang semua itu menjadi tanggung jawab pemimpin untuk
melindunginya, bukan untuk menguasainya. Lantas muncul pertanyaan,
bagaimana kita menguasai harta mereka, la wong mereka aja tidak punya
harta?
Yang dimaksud menguasai harta mereka ini bukan berarti kita mengambil
alih harta kekayaan mereka, melainkan tindakan mengeksploitasi
keberadaan mereka untuk kemudian dijual sehingga menghasilkan uang juga
termasuk menguasai harta mereka. Selain itu, kebijakan yang tidak
berpihak terhadap kaum miskin dan anak yatim ini juga termasuk dalam
menguasai harta mereka. Bukankah di dalam harta kita terdapat sebagian
harta mereka? Sehingga kita wajib menyisihkan sebagian harta kita untuk
kepentingan mereka. Oleh sebab itu, bila kita maknai hadis di atas
secara global, maka pesan pokok yang hendak disampaikan adalah, bahwa
islam sangat melarang seorang pemimpin mengeksploitasi rakyat kecil,
bahkan islam mendorong pemimpin untuk melindungi mereka, karena mereka
merupakan bagian dari tanggung jawab pemimpin.
Hadis ke 16
Mewaspadai para pembisik pemimpin
حَدَّثَنَا أَصْبَغُ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي
يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا
بَعَثَ اللَّهُ مِنْ نَبِيٍّ وَلَا اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيفَةٍ إِلَّا
كَانَتْ لَهُ بِطَانَتَانِ بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْمَعْرُوفِ
وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ
عَلَيْهِ فَالْمَعْصُومُ مَنْ عَصَمَ
Abu si’id dan abu hurairah r.a. Berkata : rasulullah saw bersabda
: allah tiada mengutus seorang nabi atau mengangkat seorang khalifah,
melainkan ada dua orang kepercayaan pribadi, seseorang yang menganjurkan
kebaikan, dan seorang yang menganjurkan kejahatan. Sedang orang yang
selamat ialah yang dipelihara oleh allah. (buchary)
Penjelasan:
Setiap pemimpin tentunya memilki asisten pribadi. Asisten ini
biasanya menjadi kepercayaan seorang pemimpin dalam melakukan banyak hal
yang berkaitan dengan kebutuhan pemimpin. Akan tetapi, seorang pemimpin
juga harus waspada terhadap orang-orang kepercayaannya. Karena rasul
s.a.w telah mengingatkan di antara orang-orang kepercayaan pemimpin
tersebut tentu ada yang jujur dan ada yang tidak jujur. Seorang
kepercayaan pemimpin yang jujur pasti akan memberikan informasi yang
benar terhadap pemimpinnya, tetapi seorang kepercayaan yang tidak jujur
tentu akan memberikan informasi yang tidak benar kepada pemimpinnya.
Orang yang terakhir ini lah biasanya yang selalu menghasut dan
membisikkan informasi-informasi yang justru bukan memperkuat
kepemimpinannya, melainkan akan menurunkan integritas kepemimpinannya.
Karena itu, islam sangat menganjurkan agar kita aspada terhadap
orang-orang yang pekerjaannya hanya membisikkan informasi-informasi
salah sehingga pemimpin terdorong untuk megeluarkan kebijakan yang
merugikan kepentingan rakyat banyak.
Hadis ke 17
Pemimpin perlu “pembantu” yang jujur
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَامِرٍ الْمُرِّيُّ حَدَّثَنَا
الْوَلِيدُ حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ اللَّهُ
بِالْأَمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ صِدْقٍ إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ
وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهِ غَيْرَ ذَلِكَ
جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ سُوءٍ إِنْ نَسِيَ لَمْ يُذَكِّرْهُ وَإِنْ ذَكَرَ
لَمْ يُعِنْهُ
‘Aisyah r.a. Berkata : rasulullah saw bersabda : jika allah
menghendaki kebaikan terhadap seorang raja, maka diberinya seorang
menteri yang jujur, jika lupa diingatkan, dan jika ingat dibantu. Dan
jika allah menghendaki sebaliknya dari itu, maka allah memberi padanya
,menteri yang tidak jujur, hingga jika lupa tidak diingatkan dan jika
ingat tidak dibantu. (abu dawud).
Penjelasan:
Seorang pemimpin pasti mengemban segudang tugas dan amanat yang
begitu berat yang harus dijalankan. Sementara untuk melaksanakan semua
tugas itu tidak mungkin dia sendiri melakukannya. Oleh sebab itu
dibutuhkan sejumlah pembantu untuk meringankan tugas sang pemimpin.
Dalam kehidupan politik modern, para pembantu presiden itu bisa disebut
sebagai menteri. Dan barangkali bukan hanya presiden, semua jabtan
publik di negeri ini, baik bupati, gubernur, wali kota, dpr, hingga
kepala sekolah pun, juga membutuhkan pembantu atau pendamping ahli yang
bisa meringankan tugas-tugasnya. Sehingga dalam konteks indoensia, kita
tidak hanya mengenal menteri sebagai pembantu presiden, melainkan juga
terdapat apa yang kita kenal sebagai juru bicara, asisten ahli, staf
ahli, penasehat ahli, dsb.
Keberadan “orang-orang pendamping” ini tentunya perlu kita apresiasi
dengan baik, karena mereka membantu tugas-tugas kepresidenan. Akan
tetapi, kita juga perlu mencermati bahkan jika diperlukan kita mesti
waspada karena tidak semua “orang-orang pendamping” itu berniat tulus
untuk membantu. Akan tetapi lebih dari itu ada juga yang menyimpan
kepentingan tertentu dan menjadi “pembisik” yang licik. Tentunya banyak
cara yang dilakukan para pembantu pemimpin yang licik ini. Salah satu
contoh yang sering kita lihat dalam kehidupan birokrasi kita adalah;
melaporkan situasi yang tidak sebenarnya kepada pemimpin yang
bersangkutan. Bila yang terjadi di lapangan adalah kelaparan, maka si
pembantu hanya melaporkan kekuranagn gizi. Selain itu tidak sedikit kita
jumpai “orang-orang” yang pekerjaanya hanya membisikkan
informasi-informasi bohong kepada pemimpinnya sehingga pemimpin tersebut
mengeluarkan kebijakan berdasarkan informasi bohong yang ia peroleh.
Akibatnay, selain kebijakan itu tidak tepat, sang pemimpin itu juga
jatuh kredibilitasnya. Oleh sebab itu, memilih pendamping itu harus
hati-hati dan waspada. Kedekatan seseorang dengan pemimpin tersebut dan
kepintaran seseorang tidak menjamin dia akan berbuat jujur terhadap
atasannya.
Hadis ke 18
Shalat mendorong pemimpin berbuat adil
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ حَدَّثَنَا
هَمَّامُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ ضَبَّةَ
بْنِ مِحْصَنٍ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ
فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ
وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
Rasulullah saw bersabda: akan ada para pemimpin yang kalian kenal
dan kalian ingkari. Siapa yang tidak menyukainya maka dia bebas dan
barang siapa yang mengingkarinya maka dia selamat, akan tetapi (dosa dan
hukuman) diberlakukan kepada orang yang yang ridha dan mengikuti para
pemimpin itu. Para sahabat bertanya: apakah kami boleh memeranginya
wahai rasulullah saw. Beliau menjawab: tidak boleh selama para pemimpin
itu masih mengerjakan shalat. (hr.muslim)
Penjelasan:
Hadis ini tidak bisa kita fahami secara harfiyah,
Hadis ke 19
Hadis ke 20
Pemimpin yang bodoh
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنِ ابْنِ
خُثَيْمٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لِكَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ
قَالَ وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي
لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ
صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ
لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي وَمَنْ
لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ
فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي يَا
كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ الصَّوْمُ جُنَّةٌ وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ
الْخَطِيئَةَ وَالصَّلَاةُ قُرْبَانٌ أَوْ قَالَ بُرْهَانٌ يَا كَعْبُ بْنَ
عُجْرَةَ إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ
النَّارُ أَوْلَى بِهِ يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ النَّاسُ غَادِيَانِ
فَمُبْتَاعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا وَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُوبِقُهَا
Rasulullah saw bersabda kepada ka’ab bin ujrah: mudah-mudahan
allah melindungimu dari para pemimpin yang bodoh (dungu). Ka’ab bin
ujzah bertanya: apa yang dimaksud dengan pemimpin yang dungu wahai
rasulullah saw? Beliau menjawab: mereka adalah para pemimpin yang hidup
sepeninggalku. Mereka tidak pernah berpedoman pada petunjukku, mereka
tidak mengikuti sunnahku. Barang siapa yang membenarkan kedustaan mereka
ataupun mendukung atas kezaliman mereka, maka orang itu tidak termasuk
golonganku, karena aku bukanlah orang seperti itu. Mereka juga tidak
akan mendapatkan air minum dari telagaku. Wahai ka’ab, sesungguhnya
puasa adalah benteng, sedekah itu bisa menghapus kesalahan, sedangkan
shalat adalah upaya mendekatkan diri kepada allah (qurban) –dalam
riwayat lain burhan (dalil)- wahai ka’ab sesungguhnya tidak akan masuk
surga seonggok daging yang berasal dari barang haram. Dan api neraka
lebih berhak untuk melahapnya. Wahai ka’ab bin ujrah, manusia terpecah
menjadi dua golongan: pertama, orang yang membeli dirinya (menguasai
dirinya), maka dia itulah yang memerdekakan dirinya. Golongan yang
menjual dirinya, maka dia itulah yang membinasakan dirinya sendiri. (hr.
Ahmad bin hambal)
Penjelasan:
Hadis ini berbicara tentang “nasib” kepemimpinan sepeninggal rasul
s.a.w. Bahwa pasca meninggalnya rasul, kepemimpinan umat islam akan
diwarnai tindakan-tindakan yang oleh rasul disebut “bodoh”. Karena itu,
rasul kemudian senantiasa berdo’a semoga umatnya terlindungi dari
“bahaya-bahaya” akibat pemimpin yang bodoh ini. Akan tetapi, kita di
sini tentunya tidak akan memaknai kata bodoh secara harfiyah. Karena
bisa jadi kita memiliki pemimpin yang pintar, cerdas, bergelar profesor
atau bahkan sekaligus ulama, namun jika pemimpin itu tidak berpegang
teguh pada sunnah rasul maka dia layak disebut sebagai yang bodoh atau
dungu.
Lantas siapa yang dimaksud pemimpin yang mengikuti sunnah rasul itu?
Apakah pemimpin yang puasa sunnah senin kamis ? Tentunya yang dimaksud
pemimpin yang mengikuti sunnah rasul di sini adalah pemimpin yang
mengikuti jejak rasul dalam menjalankan kepemimpinannya. Kita tahu,
bahwa kepemimpinan rasul adalah kepemimpinan yang menjunjung tinggi
keadilan, toleransi, dan dekat dengan rakyat. Apa yang kini kita kenal
sebagai “piagam madinah” adalah sebagai pedoman rasul dalam menjalankan
kepemimpinannya terhadap semua rakayat saat itu tanpa memandang latar
belakang agama, etnis, warna kulit dan jenis kelamin. Semua rakyat
madinah yang plural itu dilindungi dan dijamin haknya oleh rasul. Oleh
sebab itu, bagi pemimpin pasca rasul yang tidak mampu mengikuti jejak
rasul seperti di atas maka dia disebut bodoh oleh rasul.
21
Pemimpin dzalim dibenci allah
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ فُضَيْلِ بْنِ مَرْزُوقٍ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى
اللَّهِ وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ قَالَ وَفِي
الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ أَبُو عِيسَى
حَدِيثُ أَبِي سَعِيدٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ
هَذَا الْوَجْهِ
Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya manusia yang paling
dicintai allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di
sisi allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang
paling dibenci allah dan sangat jauh dari allah adalah seorang pemimpin
yang zalim. (hr. Turmudzi)
Penjelasan:
Hadis ini sekali lagi menekankan bahwa kriteria adil sangat penting
bagi seorang pemimpin. Tanpa nilai-nilai keadilan yang dijunjung tinggi
oleh seorang pemimpin, maka sebuah kepemimpinan tidak akan berhasil
mengangkat kesejahteraan umatnya. Karena itu, bisa kita fahami mengapa
rasul berkali-kali menekankan akan pentingnya seorang pemimpin yang
adil. Dalam hadis ini, seorang pemimpin yang adil akan ditempatkan
sangat dekat sekali kedudukannya dengan allah, sedangkan pemimpin yang
dzalim adalah sangat dibenci sekali oleh allah. Kedua balasan (imbalan
dan ancaman) ini tentunya mencerminkan sebuah penghargaan allah yang
begitu besar kepada pemimpin yang mampu berbuat adil kepada rakyatnya.
22
Kedzaliman pemimpin mempercepat datangnya kiamat
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي
عَمْرٌو عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْأَشْهَلِ عَنْ
حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتُلُوا إِمَامَكُمْ
وَتَجْتَلِدُوا بِأَسْيَافِكُمْ وَيَرِثُ دِيَارَكُمْ شِرَارُكُمْ
Rasulullah saw bersabda: kiamat tidak akan terjadi sampai kalian
membunuh para pemimpin kalian, pedang-pedang kalian banyak sekali
meminum darah, dan agama kalian diwarisi (dikuasai) oleh orang-orang
yang paling buruk di antara kalian. (hr. Ahmad bin hambal)
Penjelasan:
Hadis ini mengilustarikan sebuah zaman dimana bila seorang pemimpin
bertindak sangat lalim dan rakyat melawannya hingga membunuh pemimpin
lalim itu, maka itu pertanda kiamat sudah dekat. Logikanya, bila dalam
sebuah zaman muncul perlawanan rakyat terhadap pemimpin, maka di zaman
itu berarti terdapat pemimpin yang dzalim nan lalim. Karena bila sebuah
kepemimpinan itu baik dan tidak ada kedzaliman, maka niscaya tidak
mungkin akan muncul perlawanan rakyat. Oleh sebab itu, pesan pokok yang
hendak disampaikan oleh hadis ini adalah bahwa bila terjadi kedzaliman
pemimpin di mana-mana, maka itu berarti pertanda kiamat sudah dekat.
Lalu bagaiman dengan zaman kita saat ini, dimana sebagian besar
pemimpin sedikit sekali yang berbuat adil dan banyak sekali yang berbuat
dzalim, serta perlawanan rakayat begitu dahsyata hingga ada pemimpin
yang dibunuh oleh rakyatnya, apakah zaman kita sudah termasuk
tanda-tanda kiamat ? Pertanyaan ini memang tidak bisa kita jawab “ya”
atau “tidak”. Karena yang maha mengetahui kapan kiamat itu terjadi
adalah allah. Akan tetapi, bila kita melihat kondisi kepemimpinan kita
di zaman ini akan nampak sekali tanda-tanda kiamat sebagaiman telah
diseritakan rasul dalam hadis di atas.
23
Menjaga amanat adalah bagian dari iman
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ حَدَّثَنَا
الْمُغِيرَةُ بْنُ زِيَادٍ الثَّقَفِيُّ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ
يَقُولُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ
لَهُ
Rasulullah saw bersabda: tidak beriman orang yang tidak bisa
menjaga amanah yang dibebankan padanya. Dan tidak beragama orang yang
tidak bisa menepati janjinya. (hr. Ahmad bin hambal)
Penjelasan:
Mungkin kita hanya mengenal slogan-slgan keagamaan semisal:
kebersihan adalah bagian dari iman, malu adalah bagian dari iman, dsb.
Tapi kita jarang –atau mungkin tidak pernah- mengatakan bahwa menjaga
amanat adalah bagian dari iman. Padahal, rasul juga pernah bersabda
bahwa menjaga amanat adalah bagian dari dasar-dasar keimanan dan
keagamaan. Dan barang siapa yang tidak menjaga amanat maka rasul
menyebut dia tidak sempurna iman dan agamanya.
Andai kita mengkampanyekan hadis ini ke masyarakat luas, apalagi di
saat-saat kampanye presiden, bupati, gubernur, dsb, maka kita setidaknya
telah menekan munculnya “potensi” penyelewengan amanat oleh pemimpin
kita, meskipun itu sekecil semut. Hal itu karena dalam tradisi
kepemimpinan kita, upaya menjaga amanat itu sangat kecil. Sumpah jabatan
sebagai mekanisme penyerahan amanat ternyata tidak disertai sebuah
mekanisme kontrol yang ketat terhadap amanat itu. Oleh sebab itu,
kampanye keagamaan untuk mendorong seseorang (pemimpin) agar senantiasa
menjaga amanat (kepemimpinanya) adalah penting segera kita galakkan.
24
Pemimpin dianjurkan memberi suri tauladan yang baik (nasehat)
kepada rakyatnya
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُسْهِرٍ
حَدَّثَنِي عَبَّادُ بْنُ عَبَّادٍ الْخَوَّاصُ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي
عَمْرٍو السَّيْبَانِيِّ عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبْدِ اللَّهِ السَّيْبَانِيِّ
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَقُصُّ إِلَّا أَمِيرٌ
أَوْ مَأْمُورٌ أَوْ مُخْتَالٌ
Rasulullah saw bersabda: tidak ada yang berhak untuk memberikan
ceramah (nasehat/cerita hikmah) kecuali seorang pemimpin, atau orang
yang mendapatkan izin untuk itu (ma’mur), atau memang orang yang
sombong dan haus kedudukan. (hr. Muslim)
Penjelasan:
Hadis ini bukan berarti hanya pemimpin yang berhak memberi nasehat
kepada umat, melainkan hadis ini mengandung pesan bahwa seorang pemimpin
seharusnya bisa memberikan suri tauladan yang baik kepada umatnya.
Karena yang dimaksud ceramah disini bukan dalam arti ceramah lantas
memberi wejangan kepada umat, akan tetapi yang dimaksud ceramah itu
adalah sebuah sikap yang perlu dicontohkan kepada umatnya. Seorang
penceramah yang baik dan betul-betul penceramah tentunya bukan dari
orang sembarangan, melainkan dari orang-orang terpilih yang baik
akhlaqnya. Begitu pula dalam hadis ini, pemimpin yang berhak memberikan
ceramah itu pemimpin yang memiliki akhlaq terpuji sehingga akhlaqnya
bisa menjadi tauladan bagi rakyatnya.
Jadi kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang penceramah,
maka itu juga harus dipenuhi oleh seorang pemimpin. Karena pada zaman
rasul dulu, seorang penceramah atau yang memberikan hikmah kepada umat
adalah para penceramah ini, sehingga rasul mengharuskan seorang pemimpin
harus memiliki akhlaq yang sama dengan penceramah ini.
25
Jabtan Pemimpin itu dekat dengan neraka
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ خَلَّادٍ الْبَاهِلِيُّ
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ حَدَّثَنَا مُجَالِدٌ عَنْ
عَامِرٍ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ حَاكِمٍ يَحْكُمُ بَيْنَ
النَّاسِ إِلَّا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَلَكٌ آخِذٌ بِقَفَاهُ ثُمَّ
يَرْفَعُ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَإِنْ قَالَ أَلْقِهِ أَلْقَاهُ فِي
مَهْوَاةٍ أَرْبَعِينَ خَرِيفًا
Rasulullah saw bersabda: setiap pemimpin yang memimpin
rakyatnya, pada hari kiamat pasti akan didatangkan. Kemudian malaikat
mencengkeram tengkuknya dan mengangkatnya sampai ke langit. Kalau ada
perintah dari allah: lemparkanlah, maka malaikat akan melemparkannya ke
bawah yang jauhnya adalah empat puluh tahun perjalanan. (hr. Ibnu majah)
Penjelasan:
Hadis ini menggambarkan betapa jabatan sebagai pemimpin itu berat dan
seolah bediri diantara ranjau-ranjau neraka yang sewaktu-waktu bila
orang itu salah menginjaknya maka ranjau itu akan akan meledak dan
membunuh sang pemimpin itu. Mungkin kita memandang bahwa menjadi
pemimpin (presiden) itu serba enak; fasilitas dijamin, harta melimpah
dan kehormatan terpandang, sehingga semua orang bercita-cita ingin
menjadi presiden, padahal bila semua orang tahu bahwa pemimpin
(presiden) itu berjalan di atas jembatan yang dibawahnya berkobar api
neraka, maka niscaya semua orang mungkin tidak akan berharap akan
menjadi presiden (pemimpin). Posisi pemimpin yang cukup rentan ini
dikarenakan beratnya tanggung jawab yang harus dipikul seorang pemimpin.
Sekali ia lengah dan mengabaikan tanggung jawabnya, maka ia bisa
tergelincir dan jatuh ke jurang neraka selama-lamanya. Oleh sebab itu,
tak heran bila rasul mengambarkan poisi pemimpin itu sebagaimana
digambarkan oleh hadis di atas.
26
Pemimpin harus membimbing rakyatnya
و حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ وَإِسْحَقُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا و
قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ
قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ زِيَادٍ
دَخَلَ عَلَى مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ
إِنِّي مُحَدِّثُكَ بِحَدِيثٍ لَوْلَا أَنِّي فِي الْمَوْتِ لَمْ
أُحَدِّثْكَ بِهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ أَمِيرٍ يَلِي أَمْرَ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ لَا
يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ إِلَّا لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمْ الْجَنَّةَ و
حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ الْعَمِّيُّ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ
إِسْحَقَ أَخْبَرَنِي سَوَادَةُ بْنُ أَبِي الْأَسْوَدِ حَدَّثَنِي أَبِي
أَنَّ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ مَرِضَ فَأَتَاهُ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ
زِيَادٍ يَعُودُهُ نَحْوَ حَدِيثِ الْحَسَنِ عَنْ مَعْقِلٍ
Rasulullah saw bersabda: setiap pemimpin yang menangani urusan
kaum muslimin, tetapi tidak berusaha semaksimal mungkin untuk mengurusi
mereka dan memberikan arahan kepada mereka, maka dia tidak akan bisa
masuk surga bersama kaum muslimin itu. (hr. Muslim)
Penjelasan:
Seorang pemimpin tidak bisa sekedar berpikir dan bergulat dengan
wacana sembari memerintah bawahannya untuk mengerjakan perintahnya,
melainkan pemimpin juga dituntut untuk bekerja keras mengurus sendiri
persoalan-persoalan rakyatnya. Salah seorang khulafau rasyidin yaitu
umar bin utsman pernah berkeliling keseluruh negeri untuk mencari tahu
adakah di antara rakyatnya masih kekurangan pangan. Jika ada, maka
khalifah umar tidak segan-segan untuk memberinya uang (bekal) untuk
menunjang kehidupan rakyatnya tadi. Bahkan khalifah abu bakar harus
turun tangan sendiri untuk memerangi orang-orang yang tidak mau membayar
zakat.
Semua peristiwa yang dilakukan oleh dua sahabat nabi di atas adalah
contoh betapa islam sangat menekankan kepada pemimpin untuk selalu
bekerja keras agar rakyatnya benar-benar terjamin kesejahteraannya.
Tidak bisa seorang pemimpin hanya duduk dan berceramah memberi sambutan
di mana-mana, tetapi semua tugas-tugas kepemimpinannnya yang lebih
kongkrit malah diserahkan kepada bawahan-baahannya. Memang betul bahwa
bawahan bertugas untuk membantu meringankan beban atasannya, akan tetapi
tidak serta-merta semua tugas harus diserahkan kepada bawahan. Suatu
pekerjaan yang memang menjadi tugas seseorang dan dia mampu
melakukannya, maka janganlah pekerjaan itu diserahkan kepada orang
lain.
27
Situasi zaman pasca kepemimpinan rasul s.a.w
أَخْبَرَنَا صَالِحُ بْنُ سُهَيْلٍ مَوْلَى يَحْيَى بْنِ أَبِي
زَائِدَةَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ مُجَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ
مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ عَامٌ إِلَّا
وَهُوَ شَرٌّ مِنْ الَّذِي كَانَ قَبْلَهُ أَمَا إِنِّي لَسْتُ أَعْنِي
عَامًا أَخْصَبَ مِنْ عَامٍ وَلَا أَمِيرًا خَيْرًا مِنْ أَمِيرٍ وَلَكِنْ
عُلَمَاؤُكُمْ وَخِيَارُكُمْ وَفُقَهَاؤُكُمْ يَذْهَبُونَ ثُمَّ لَا
تَجِدُونَ مِنْهُمْ خَلَفًا وَيَجِيءُ قَوْمٌ يَقِيسُونَ الْأُمُورَ
بِرَأْيِهِمْ
Abdullah berkata: akan datang pada kalian satu tahun (masa) yang
lebih buruk daripada tahun (masa) sebelumnya. Akan tetapi yang aku
maksud bukanlah sebuah tahun yang lebih subur daripada tahun yang lain,
ataupun seorang pemimpin yang lebih baik daripada pemimpin lainnya. Akan
tetapi di masa itu, telah hilang (wafat) para ulama, orang-orang
terpilih dan para ahli fiqh kalian. Dan kalian tidak menemukan pengganti
mereka. Sehingga datanglah sebuah kaum yang berdalil hanya dengan
menggunakan rasio mereka. (hr. Ad darimi)
Penjelasan:
Membaca ramalan rasul di atas sungguh membuat kita cemas akan
datangnya suatu zaman yang oleh rasul dikatakan lebih buruk dari
zaman-zaman sebelumnya. Namun yang dimaksud lebih buruk di sini tentunya
bukan dalam pengertian kuantitas. Melainkan kualitas kehidupan yang
tengah berlangsung pada sebuah zaman. Kalau ukurannya adalah kuantitas,
mungkin zaman kita bisa dibilang lebih bagus karena, misalnya, kita saat
ini bisa memproduksi sebuah barang dengan hanya memakan waktu yang
singkat namun menghasilkan barang yang cukup banyak. Akan tetapi bila
ukurannya adalah kualitas, maka zaman kita saat ini lebih rendah dan
lebih buruk dari zaman-zaman sebelumnya (zaman rasul). Lihatlah misalnya
kualitas arsitektur dan bangunan yang berkembang saat ini, kemudian
bandingkan dengan arsitektur dan bangunan pada tempo dulu, seperti
tembok cina, borobudur, dsb, tentu kualitasnya jauh sekali berbeda.
Mungkin di zaman ini kita tidak bisa lagi menemukan orang yang mampu
membangun semacam borobudur dengan kualitas banunannya yang terjamin
sebagaimana candi borobudur. Begitu pula dengan kualitas kepemimpinan
pada saat ini jauh lebih baik dari kulaitas kepemimpinan pada masa-masa
rasul dan sahabat. Meskipun pada masa sahabat juga penuh diwarnai intrik
politik yang mengakibatkan pertumpahan darah, akan tetapi setidaknya
sejarah telah mencatat bahwa dua sahabat periode pertama (abu bakar dan
umar) adalah potret zaman dimana kepemimpinan benar-benar dijalankan
atas dasar prinsip-prinsip keadilan. Meski saat ini kita
mengembar-gemborkan sistem demokrasi yang dianggap paling baik, namun
ternyata negara tempat kelahiran demokrasi juga tidak menerapkan
nilai-nilai demokrasi yang sebenarnya. Dan banyak sekali pihak yang
mengatasnamakan demokrasi namun menginjak-injak nilai-nilai demokrasi.
Meskipun saat ini ada yang namanya pemilu, namun semua sistem dan
mekanisme demokrasi itu tidak menjamin terwujudnya kehidupan masyarakat
yang adil dan sejahtera. Kalau sudah demikian, bisakah zaman kita ini
disebut lebih baik dari zaman rasul.s.a.w ?
28
Kepemimpin yang buruk
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا صَدَقَةُ بْنُ
مُوسَى عَنْ فَرْقَدٍ السَّبَخِيِّ عَنْ مُرَّةَ الطَّيِّبِ عَنْ أَبِي
بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ خَبٌّ وَلَا بَخِيلٌ
وَلَا مَنَّانٌ وَلَا سَيِّئُ الْمَلَكَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ
الْجَنَّةَ الْمَمْلُوكُ إِذَا أَطَاعَ اللَّهَ وَأَطَاعَ سَيِّدَهُ
Rasulullah saw bersabda: tidak akan masuk surga orang yang suka
menipu, orang yang bakhil, orang yang suka mengungkit-ungkit
kebaikan/pemberian, dan pemimpin yang buruk. Orang yang pertama kali
masuk surga adalah budak yang taat kepada allah dan taat kepada
majikannya.
Penjelasan:
Hadis ini menjelaskan tentang sekelompok orang yang diharamkan oleh
allah untuk masuk sorga. Dan ternyata, di antara sekelompok orang
tersebut terdapat kriteria pemimpin yang buruk. Pada bagian awal buku
ini, kita mungkin sudah mendapati banyak hadis yang berbicara tentang
hukuman neraka bagi pemimpin yang dzalim. Namun kini kita kembali
menemukan satu hadis lagi yang kembali berbicara tentang ancaman bagi
pemimpin yang berlaku buruk. Dan pemimpin yang buruk ini disamakan
dengan mereka yang suka menipu, pelit, dan suka mengungkit
kebaikannya/pemberiannya sendiri.
akan tetapi apa sih bedanya pemimpin yang dzalim dan pemimpin yang
buruk ? Pada dasarnya tidak ada perbedaan subtansial antara keduanya,
namun karena rasul benar-benar menekankan sebuah kepemimpinan yang baik,
maka rasul juga mengancam kepemimpinan yang buruk. Yang jelas, sebuah
kepemimpinan bila tidak menjamin dan melindungi rakyatnya serta tidak
menjadikan rakyatnya sejahtera, maka kepemimpinan itu bisa dikatakan
buruk, dzalim, kejam, dsb. Sama seperti kita yang pada zaman ini
mengenal berbagai macam istilah yang terkait dengan perlakuan buruk
penguasa, seperti, otoriter, totaliter, represif, korup, tidak
demokratis, dsb yang kesemua itu mencerminkan sebuah kepemimpinan yang
berbahaya bagi rakyat. Jadi, kepemimpinan yang buruk menurut rasul dalam
hadis ini adalah sebuah kepemimpinan yang justru menjauhkan rakyat dari
kehidupan yang sejahtera.
29
Balasan bagi pemimpin yang otoriter
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ عَلِيِّ بْنِ مُبَارَكٍ عَنْ يَحْيَى
بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ عَامِرٍ الْعُقَيْلِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنِ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنِّي لَأَعْلَمُ أَوَّلَ ثَلَاثَةٍ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ الشَّهِيدُ
وَعَبْدٌ أَدَّى حَقَّ اللَّهِ وَحَقَّ مَوَالِيهِ وَفَقِيرٌ عَفِيفٌ
مُتَعَفِّفٌ وَإِنِّي لَأَعْلَمُ أَوَّلَ ثَلَاثَةٍ يَدْخُلُونَ النَّارَ
سُلْطَانٌ مُتَسَلِّطٌ وَذُو ثَرْوَةٍ مِنْ مَالٍ لَا يُؤَدِّي حَقَّهُ
وَفَقِيرٌ فَخُورٌ
Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya aku orang yang paling tahu
tentang tiga golongan yang pertama kali masuk surga: orang yang mati
syahid, seorang hamba yang menunaikan hak allah dan hak majikannya, dan
orang fakir yang menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik. Aku juga
orang yang paling tahu tentang tiga golongan yang pertama kali masuk
neraka: seorang pemimpin yang otoriter (sewenang-wenang), seorang kaya
yang tidak menunaikan kewajibannya, dan seorang fakir yang sombong. (hr.
Ahmad)
Penjelasan:
Bila hadis sebelumnya berbicara soal kepemimpinan yang buruk, dalam
hadis ini kita kembali menyoroti model kepemimpinan namun lebih
spesifik, yaitu kepemimpinan otoriter. Kepemimpinan otoriter adalah
sebuah kepemimpinan yang dijalankan atas dasar kesewenag-wenangan. Semua
keputusan dan kebijakan pemimpin harus ditaati oleh semua rakyat tanpa
memberi ruang terjadinya “negoisasi” dengan rakyat. Bila pemimpin
berkata merah, maka rakyat harus mengikuti merah. Demikianlah ciri-ciri
sederhana sebuah kepemimpinan otoriter.
Lalu bagaimana islam menyikapi (ke)pemimpin(an) yang otoriter ini?
Islam jelas tidak pernah memberikan tempat, walau sejengkal, kepada
pemimpin yang otoriter ini. Sebagaimana pemimpin yang dzalim, pemimpin
otoriter juga diancam dengan hukuman neraka. Dan sebaliknya, islam
justru sangat menekankan pentingnya demokrasi (syura) dan partisipasi
rakyat dalam sebuah sistem kepemimpinan. Rasul s.a.w telah memberikan
contoh bagaimana syura menjadi prinsip pokok dalam menjalankan roda
kepemimpinan. Dalam syura (demokrasi) semua rakyat, tanpa membedakan
latar agama, etnis, arna kulit, bahasa, jenis kelamin, berhak untuk
terlibat dalam merumuskan arah dan haluan sebuah kepemimpinan. Ketika
rasul menjadi pemimpin politik di madinah, rasul tidak segan-segan
memberikan hak yang setara anatara kaum muhajirin dan anshar. Bahkan
dalam medan peperangan, siti ‘aisyah juga diberi hak untuk mengukiti
bahkan memimpin sebuah peperangan dengan kaum kafir. Dengan demikian,
cukup jelas sekali bahwa islam adalah agama yang “mengharamkan”
otoritariansme dan “mewajibkan” demokrasi (syura).
30
Melawan pemimpin dzalim adalah jihad akbar
حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ دِينَارٍ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُصْعَبٍ أَبُو يَزِيدَ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُحَادَةَ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي أُمَامَةَ وَهَذَا حَدِيثٌ
حَسَنٌ
Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya jihad yang paling besar
adalah mengungkapkan kalimat kebenaran di hadapan sultan yang zalim.
(hr. Turmudzi)
Selama ini, banyak umat islam memahami konsep jihad hanya sebatas
turun ke medan perang. Pemaknaan semacam ini cukup berbahaya karena
hanya mengambil makna yang tekstual seraya menutupi makna lain yang
lebih substansial.
Bila ada dua orang khalifah dibaiat maka bunuhlah salah satunya
Hadis ke 31
Keputusan pemimpin harus aspiratif
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ الْجُعْفِيُّ عَنْ
زَائِدَةَ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ حَنَشٍ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ
لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَقَاضَى
إِلَيْكَ رَجُلَانِ فَلَا تَقْضِ لِلْأَوَّلِ حَتَّى تَسْمَعَ كَلَامَ
الْآخَرِ فَسَوْفَ تَدْرِي كَيْفَ تَقْضِي قَالَ عَلِيٌّ فَمَا زِلْتُ
قَاضِيًا بَعْدُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Apabila ada dua orang laki-laki yang meminta keputusan kepadamu
maka janganlah engkau memberikan keputusan kepada laki-laki yang pertama
sampai engkau mendengarkan pernyataan dari laki-laki yang kedua. Maka
engkau akan tahu bagaimana enkau memberikan keputusan (hr. Turmudzi)
Hadis ini mengajarkan kita sebuah kepemimpinan yang mau mendengar
semua suara rakyat. Tidak peduli rakyat itu pengemis, pemulung, orang
penyandang cacat, perempuan, atau anak kecil sekalipun, maka semua itu
harus didengar suaranya oleh pemimpin. Artinya, kepemimpinan itu, atau
lebih tepatnya seorang pemimpin itu harus benar-benar aspiratif. Karena
bila kita dalam mengambil keputusan atau kebijakan hanya berdasarkan
suara kelompok tertentu, lebih-lebih suara kelompok yang dekat dengan
lingkungan kekuasaan (pemimpin) maka keputusan itu pasti akan jauh dari
rasa keadilan. Alasannya adalah karena suara satu kelompok itu belum
tentu mewakili suara kelompok yang lain. Sehingga bila ingin mencapai
rasa keadilan bagi eluruh rakyat, maka harus mendengar suara semua
rakyat.
Hadis ini penting terutama dalam konteks sistem demokrasi yang
meniscayakan keterwakilan seperti di indoensia misalkan. Dimana dpr
(dewan perwakilan rakyat) memiliki wewenang untuk mewakili suara rakyat.
Bila dpr ini tidak menjaring aspirasi dari semua lapisan dan status
masyarakat, maka jangan harap kebijakan-kebijakan yang dihasilakannya
akan memenuhi rasa keadilan rakyat indonesia. Oleh sebab itu, agar rasa
keadilan dalam sebuah masyarakat itu benar-bnar terpenuhi, maka islam
mewajibkan seorang pemimpin untuk tidak mengambil keputusan hanya dari
satu orang (satu kelompok suara), tetapi lebih dari itu.
Hadis ke 32
Pemimpin dituntut berijtihad
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ
يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ
أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ
فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ قَالَ
وَفِي الْبَاب عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ وَعُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ
أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا
الْوَجْهِ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ
يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيِّ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ
الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ
Apabila seorang hakim melakukan ijtihad dan kemudian benar maka
dia mendapat dua pahala, dan apabila dia berijtihad ternyata salah maka
dia hanya mendapat satu pahala
Hadis ini memang bercerita tentang kewenagan hakim. Namun sejatinya,
hadis ini bukan saja ditujukan kepada seorang hakim, melainkan lebih
dari itu juga untuk seorang pemimpin. Pada masa rasul s.a.w. Jabatan
hakim dan pemimpin politik tidak dibedakan. Nabi muhammad sendiri adalah
seorang pemimpin politik tapi sekaligus juga seorang hakim. Demikian
juga dengan para khalifah pengganti beliau sesudahnya (khulafa urrasyidin)
yang menjabat pemimpin sekaligus hakim dan bahkan panglima perang. Oleh
sebab itu, bila merujuk pada konteks di atas, maka hadis ini tentunya
bukan hanya relevan untuk para hakim tetapi juga dianjurkan untuk para
pemimpin (politik).
Apabila dikaitkan dengan konteks pemimpin politik, maka yang dimaksud
ijtihad di sini adalah bisa berupa sebuah upaya politik seorang
pemimpin dalam mengeluarkan keputusan yang berdasarkan konstitusi dan
nilai-nilai kemanusiaan serta kesejahteraan rakyat. Artinya, seorang
pemimpin dituntut bekerja keras semaksimal mungkin, tentunya berdasarkan
ikhtiar politiknya, untuk berupaya menjadikan rakyatnya terangkat dari
garis kemiskinan serta memenuhi standar kesejahteraan. Bila ikhtiar
politik pemimpin ini benar dan berhasil mensejahteraakan rakyatnya, maka
dia akan mendapat dua pahala, akan tetapi bila ikhtiar dia salah dan
rakyat tetap berada di bawah garis kemiskinan, maka dia akan mendapat
satu pahala. Tentunya ikhtiar ini harus benar-benar dilandasi oleh
ketulusan dan niat baik untuk mengabdi kepada rakyat, bukan semata-mata
mencari keuntungan politik tertentu. Bila yang terakhir ini yang
dilakukan, maka bukan hanya satu pahala yang didapat, melainkan justru
akan mendapat celaka dan siksa dari allah swt.
Hadis ke 33
Pemimpin harus punya pedoman kepemimpinan
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ
أَبِي عَوْنٍ الثَّقَفِيِّ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ رِجَالٍ مِنْ
أَصْحَابِ مُعَاذٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ
أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ
اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
جَعْفَرٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ
عَنْ أَبِي عَوْنٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو ابْنِ أَخٍ لِلْمُغِيرَةِ
بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصٍ عَنْ مُعَاذٍ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ قَالَ أَبُو عِيسَى
هَذَا حَدِيثٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَلَيْسَ
إِسْنَادُهُ عِنْدِي بِمُتَّصِلٍ وَأَبُو عَوْنٍ الثَّقَفِيُّ اسْمُهُ
مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ
Ketika rasul mengutus mu’adz ke yaman, beliau bertanya: wahai
mu’adz, bagaimana caramu memberikan putusan/hukum? Dia menjawab; aku
memutuskan/menghukumi berdasarkan ketentuan dari al-qur’an. Lalu rasul
bertanya lagi: bagaimana kalau tidak ada dalam al-quran? Mu’adz
menjawab, maka aku memutuskan berdasarkan sunnah rasul s.a.w. Rasul
bertanya lagi: bagaimana bila tidak kau temukan dalam sunnah rasul ?
Mu’adz menjawab: maka aku berijtihad berdasarkan pendapatku sendiri.
Rasul bersabda: segala puji bagi allah yang telah memberikan
petunjuk/taufik kepada duta rasul saw
Hadis ini turun ketika salah seorang sahabat rasul s.a.w, mu’adz bin
jabal, hendak diutus rasul untuk menjadi gubernur di yaman. Namun
sebelum mu’adz berangkat ke yaman, rasul terlebih dahulu memanggilnya
untuk di uji (fit and propertest) sejauh mana dia bisa
diandalkan menjadi gebernur. Akan tetapi materi test yang disampaikan
rasul tidak muluk-muluk, beliau hanya menanyakan tentang pedoman dia
(mu’adz) dalam menjalankan roda kepemimpinannya. Dalam pengakuan mu’adz,
dia akan menjalankan roda kepemimpinanya sebagai gubernur yaman dengan
berlandaskan pada al-qur’an, sunnah, dan ijtihad (berpikir dan bekerja
keras). Untuk jawaban yang pertama dan kedua, rasul mungkin sudah bisa
menebak jawaban yang akan diberikan mu’adz, akan tetapi untuk pertanyaan
ketiga itulah rasul mencoba menggali sejauh mana upaya mu’adz bila
sebuah keputusan tidak ada dasarnya dalam al-qur’an dan sunnah. Dan
ternyata nabi cukup bangga kepada mu’adz karena dia bisa menjawab
pertanyaan ketiga itu dengan cukup memuaskan.
Ini artinya bahwa hadis di atas telah memberikan isyarat kepada kita
bahwa dalam menjalankan roda kepemimpinan kita tidak bisa hanya
mengandalkan pedoman al-qur’an dan sunnah, akan tetapi kita juga harus
pandai-pandai mencari alternatif pedoman yang lain yang bisa mengilhami
kita dalam mengeluarkan keputusan. Bukannya kita hendak mengatakan bahwa
al-qur’an dan sunnah tidak sempurna, akan tetapi untuk merespon semua
peristiwa yang terjadi di dunia ini kita dituntut untuk mencari dan
mencari segala macam alternatif solusinya. Apabila kita tidak menemukan
dasarnya di al-qur’an dan sunnah, mungkin kita bisa mencarinya di
nilai-nilai kearifan lokal yang telah tumbuh dan berkembang di dalam
sebuah masyarakat. Karena itulah kita juga mengenal apa yang oleh para
ahli ushul fiqh dikenal dengan ‘urf atau kaidah fiqh yang berbunyi al-‘adah muhakkamah. Bahkan rasul pun pernah bersabda: bila engkau menemukan kebijakan maka ambillah meski ia keluar dari mulut anjing.
Hadis ke 34
Good and clean governance dalam islam
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْقُدُّوسِ بْنُ مُحَمَّدٍ أَبُو بَكْرٍ
الْعَطَّارُ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ حَدَّثَنَا عِمْرَانُ
الْقَطَّانُ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ الشَّيْبَانِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
أَبِي أَوْفَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الْقَاضِي مَا لَمْ يَجُرْ فَإِذَا جَارَ
تَخَلَّى عَنْهُ وَلَزِمَهُ الشَّيْطَانُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ
حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ عِمْرَانَ الْقَطَّانِ
Rasul bersabda sesungguhnya allah senantiasa bersama dengan
hakim/qodi sepanjang dia tidak menyeleweng. Kalau dia sudah menyeleweng
maka allah akan menjauh darinya, dan syetan menjadi temannya.
Selain islam mengajarkan pentingnya prinsip keadilan dalam sebuah
kepemimpinan, islam juga menekankan pentingnya kepemimpinan yang
bersih. Secara substansial, keduanya memang tidak ada perbedaan yang
berarti, bahkan bila seorang pemimpin sudah berbuat adil, maka bisa
dikatakan kepemimpinannya sudah bersih. Karena keadilan merupakan
forndasi dan perilaku bersih adalah dindingnya. Jadi meski fondasinya
kuat namun bila tidak ditopang oleh dinding yang juga kuat, maka
bangunagan itu mudah roboh oleh “goyangan-goyangan” dari pihak luar.
Oleh sebab itu, yang satu tidak bisa mengabaikan yang lain, bahkan harus
saling menopang antara keduanya.
lantas bagaimana yang dimaksud dengan kepemimpinan yang bersih di
dalam hadis ini? Yang dimaksud kepemimpinan yang besih adalah sebuah
sistem kepemimpinan yang tidak “dinodai” oleh perilaku-perilaku
menyeleweng dari pemimpinanya. Wujud konkrit dari perilaku menyeleweng
ini adalah seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, pemimpin
juga dituntut harus menjaga “kebersihan” moralnya. Sehingga yang
dimaksud bersih kemudian bukan saja menyangkut perilaku sosial melainkan
juga perilaku individual.
sedangkan dalam konteks kepemimpinan politik kontemporer, kita mengenal istilah yang disebut “clean and good governance”. Istilah
ini sebenarnya mengandung konsep dasar bahwa sebuah kepemimpinan itu
harus baik dan bersih, terutama bersih dari korupsi dan modus-modus
penyelewengan yang lain. Sehingga untuk mencapai sebuah kepemimpinan
seperti itu diperlukan kesetaraan peran antara negara (pemerintah),
pasar dan rakyat yang salah satu di antara ketiganya tidak boleh ada
yang mendominasi. Karena bila peran negara terlalu kuat atau dominan
maka akan menimbulakn hegemoni dan cenderung totaliter, sedangkan bila
peran pasar (swasta) yang terlalu dominan, maka semua kehidupan rakyat
akan diatur dengan modal atau pemilki modal. Bila seseorang tidak punya
modal, maka dia tidak punya posisi tawar yang kuat. Sementara bila kedua
instutusi di atas terlalu lemah, dan rakyat begitu kuatnya, maka chaos
atau kekacauan yang akan menghantui sebuah negara. Oleh sebab itu,
kembali pada hadis di atas, bahwa tindakatan kotor seperti penyelewengan
kekuasaan adalah tindakan yang sangat dikutuk dalam islam. Dan
sebaliknya, pemerintahan yang baik dan bersih justru sangat ditekankan
dan dijamin pasti akan dilindungi oleh allah.swt.
Hadis ke 35
Pemimpin harus peka terhadap Kebutuhan rakyat
قَال عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ لِمُعَاوِيَةَ إِنِّي سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ
إِمَامٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ
وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ
خَلَّتِهِ وَحَاجَتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ
Setiap pemimpin yang menutup pintunya terhadap orang yang
memiliki hajat, pengaduan, dan kemiskinan maka allah akan menutup pintu
langit terhadap segala pengaduan, hajat dan kemiskinannya.
Kepemimpinan bukan saja menuntut kecerdasan otak dan kekuatan otot,
melainkan juga harus ditunjang oleh rasa sensifitas yang tinggi terhadap
persoalan-persoalan menyangkut rakyatnya. Sehingga apapun persoalan
yang menimpa rakyatnya, maka pemimpin harus peka dan segera mencarikan
solusinya. Di sinilah sebenarnya tugas pokok seorang pemimpin; yaitu
mendengar keluh kesah rakyat untuk kemudian mencarikan jalan keluarnya.
Karena itulah, islam (melalui hadis di atas) memerintahkan seorang
pemimpin untuk membuka pintu terhadap segala keluh kesah rakyatnya.
Tentunya, yang dimaksud pintu disini bukan semata-mata berarti pintu
rumah ataupun pintu istana, melainkan lebih dari itu yang sangat
ditekankan adalah pintu hati atau nurani seorang pemimpin. Karena meski
seorang pemimpin tinggal di istana megah dan berpagarkan besi dan baja,
bila pintu hatinya terbuka untuk kepentingan rakayat, maka allah juga
akan membukkaan “pintu hati-nya” untuk mendengar keluh kesah sang
pemimpin itu.
Hadis ke 36
Pemimpin dilarang mengambil keputusan dalam keadaan emosional
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ كَتَبَ أَبِي
إِلَى عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ وَهُوَ قَاضٍ أَنْ لَا
تَحْكُمْ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَأَنْتَ غَضْبَانُ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحْكُمْ
الْحَاكِمُ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا
حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَأَبُو بَكْرَةَ اسْمُهُ نُفَيْعٌ
Janganlah seorang pemimpin (hakim) itu menghukumi antara dua orang yang berseteru dalam keadaan marah (emosional)
Keputusan seorang presiden adalah dasar dari kebijakan sebuah negara.
Begitu juga keputusan seorang pimpinan dalam sebuah organisasi adalah
acuan dalam menjalankan roda organisasi. Oleh sebab itu, dalam mengambil
keputusan atau mengeluarkan kebijakan, seorang pemimpin sebaiknya tidak
sedang dalam keadaan “panas”, marah, atau emosional. Hal ini bukan saja
ditentang oleh hadis nabi s.a.w melainkan juga dikutuk oleh teori
manajemen organisasi. Dalam teori manajemen organisasi dijelaskan bahwa
seseorang tidak boleh mengeluarkan atau membuat keputusan dalam keadaan
marah atau emosi yang tidak stabil. Bila dipaksakan, maka keputusan itu
dihasilakan dari sebuah proses yang kurang matang dan terburu-buru
sehingga dampaknya akan sangat merugikan terhadap pelaksana keputusan
tersebut.
Meski di dalam hadis ini yang disebutkan adalah hakim, namun secara
substansial kita sepakat bahwa dalam keadaan emosi labil, siapapun
orangnya, baik hakim, pemimpin, maupun orang awam sekalipun, sebaiknya
tidak perlu mengambil keputusan. Banyangkan bila kita sedang bertengkar
dengan istri di rumah misalkan, tetapi setelah di tiba di kantor kita
disuguhi sebuah persoalan yang harus diputuskan, maka bisa jadi
sisa-sisa emosional kita di rumah, secara sadar atau tidak, akan ikut
terbawa hingga ke kantor dan mempengaruhi kita dalam memutuskan sebuah
perkara. Oleh sebab itu, bila kita hendak mengambil keputusan maka
terlebih dahulu kita harus mendinginkan suasana dan menengkan pikiran
sehingga semua pertimbangan bisa kita akomodir secara seimbang dan
matang.
Hadis ke 37
Hukuman bagi pemimpin yang suka money politic
Rasul s.a.w melaknat orang yang menyuap dan disuap
Hadis ini sungguh sangat relevan untuk konteks indoensia saat ini, di
mana dalam setiap unsur birokrasi kita hampir dipastikan tidak bisa
lepas dari yang namanya “suap”. Mulai dari ngurus ktp di tingkat rt,
hingga ngurus tender proyek infrastruktur di tingkat presiden, mulai
dari pemilihan ketua rt hinhha pemilihan presiden. Semuanya tidak steril
dari praktik suap-menyuap. Entah dari mana asal muasalnya, yang jelas
praktik suap ini sudah diperingatkan oleh rasul. Itu artinya, sejak
kepemimpinan rasul s.a.w, pratik suap ini sudah terjadi, dan rasul turun
untuk memerangi pratik kotor ini.
Bila kita memaknai ancaman “laknat” bagi penyuap dan yang disuap
sebagaiman hadis di atas, maka sebenarnya ancaman itu menunjukkan
sebuah ancaman yang cukup berat. Karena bahasa laknat biasanya bukan
hanya berarti hukuman tuhan di akhirat, melainkan juga terjadi di dunia.
Kita lihat misalkan dalam kasus kaum sodom yang dilaknat tuhan dengan
berbagai penyakit yang menyakitkan dan mematikan, demikian pula setelah
di akhirat nanti mereka juga akan kembali dilaknat dengan lebih kejam.
Oleh sebab itu, allah tidak akan bermain-main dengan praktik kotor yang
menjijikkan ini.
Namun anehnya, banyak di antara orang yang tidak sadar kalau dirinya
sudah disuap. Fenomena ini banyak kita temui ketika menjelang pemilu,
misalkan seorang kiai/ulama pemimpin pesantren yang diberi (biasanya
pakai bahasa disumbang) sejumlah dana oleh partai politik tertentu agar
pesantrennya mau mendukung parpol yang bersangkutan. Sang kia sering
tidak sadar (atau berpura-pura tidak sadar) bahwa dana sumbangan itu
bisa dikategorikan, yang dalam bahasa politiknya, sebagai money politic. Memang
praktik “sumbangan politik” ini tidak terlalu kentara sebagai suap,
namun bila sebuah sumbangan itu dilandasi oleh kepentingan tetentu dan
tuntutan tertentu, maka ia layak disebut suap. Lantas muncul pertanyaan,
bagaimana bila sumbangan dana itu tidak disertai tuntutan ? Memang
dalam setiap sumbangan, terutama menjelang pemilu, kepentingan dan
tuntutannya tidak mungkin dikatakan secara harfiyah atau gamblang.
Bahkan bisa jadi seorang politisi pemberi sumbangan itu tidak langsung
mneyebutkan kepentingannya dalam menyumbang. Akan tetapi, bila sumbangan
itu turun sementara situasi saat itu adalah pemilu, maka sudah bisa
dipastikan bahwa sumbangan itu adalah money politic. Oleh sebab itu, untuk menjaga kesyubhatan sebuah sumbangan, sebaiknya kita perlu melacak dulu asbabul wurudnya.
Hadis ke 38
Masa kepemimpinan maksimal dua periode
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْمُخَرَّمِيُّ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا عِمْرَانُ
الْقَطَّانُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَخْلَفَ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ عَلَى الْمَدِينَةِ
مَرَّتَيْنِ
Rasul s.a.w menunjuk ibnu maktum sebagai penggantinya di kota madinah sebanyak dua kali. (hr abu dawud)
Islam memang benar-benar telah menebarakan benih-benih demokrasi.
Betapa tidak, jauh sebelum istilah demokrasi itu sendiri muncul, yaitu
pada masa rasul s.a.w, islam sudah membatasi masa kepemimpinan
seseorang. Dan persis dalam konsep demokrasi modern, masa kepemimpinan
dalam islam juga dibatasi selama dua periode. Namun terlepasa konsep itu
bersumber dari islam atau demokrasi modern, namun yang perlu kita gali
adalah pesan moral dari hadis di atas. Pesan moral dari hadis ini
adalah bahwa bila kekuasaan itu terlalu lama dipegang oleh seseorang
maka akan berpotensi untuk menimbulkan penyalahgunaan. Sebagaimana
slogan dalam politik modern yang berbunyi; “power absoluty tends to corrup absoluty”,
kekuasaan mutlak berpotensi melahirkan penyalahgunaan mutlak. Karena
bila seorang pemimpin terlalu lama memimpin, seperti soeharto selama 32
tahun, maka akibatnya bisa kita lihat sendiri; kongkalikong, nepotisme,
semua kerabat dekatnya dijadikan menteri, korupsi, dan bahkan bisa
menjadi “tuhan” yang mampu memaksa rakyatnya untuk menuruti perintahnya.
Padahal tuhan sendiri tidak pernah memaksa. Oleh sebab itu, dalam
setiap jenjang kepemimpinan, sebaiknya, bahkan mungkin seharusnya, perlu
dibatasi masa kepemimpinannya. Tidak adanya batasan waktu dalam sebuah
sistem kepemimpinan hanya akan menimbulkan kekuasaan yang menyerupai
tuhan selaku maha tak terbatas.
Hadis ke 39
Wajib berkata benar kepada pemimpin
Meski terasa pahit
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ مُحَمَّدِ
بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أُنَاسٌ
لِابْنِ عُمَرَ إِنَّا نَدْخُلُ عَلَى سُلْطَانِنَا فَنَقُولُ لَهُمْ
خِلَافَ مَا نَتَكَلَّمُ إِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِهِمْ قَالَ كُنَّا
نَعُدُّهَا نِفَاقًا
Ada serombongan orang yang berkata kepada ibnu umar;
kalau kami bertemu dengan para pemimpin kami maka kami pasti mengatakan
sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang kami katakan bila tidak
bertemu dengan mereka (pemimpin). Ibnu umar berkata: hal itu kami
anggap sebagai sebuah sikap munafik. (hr. Bukhori)
Ada satu tradisi buruk yang sering kita lakukan ketika kita menghadap
pimpinan, yaitu, selalu mengatakan yang baik-baik, yang senang-senang,
dan yang sukses-sukses. Tradisi ini bukan saja dilakukan oleh para
menteri ketika menghadap presiden, melainkan tidak jarang juga dilakukan
oleh rakyat biasa. Jelas, kalu menteri melakukan tradisi buruk itu
dengan tujuan menjilat dan mengharap pujian dari sang pemimpin
(presiden). Tapi yang tidak bisa kita fahami ternyata tidak sedikit
rakyat biasa juga melakukan praktik buruk tersebut. Memang, bila rakyat
biasa tidak separah sebagaiman dilakukan menteri, akan tetapi sebuah
sikap berdiam diri ketika berhadapan dengan pemimpin adalah sebuah sikap
yang oleh hadis di atas bisa dikategorikan sebagai “munafik”. Padahal,
bila kita bertemu pemimpin kita, misalkan kita mendapat kesempatan
bertemu langsung dengan presiden kita, maka harus kita manfaatkan waktu
pertemuan itu untuk mnegatakan yang sebenarnya tentang situasi atau
kehidupan rakyat yang dipimpinnya. Di hadapan pemimpin itulah justru
sebuah kesempatan untuk mengatakan bahwa, misalnya, rakyat sedang
kekuranagn pangan, rakyat butuh pendidikan gratis, rakyat butuh harga
murah, dsb. Bila pemimpin yang bersangkutan marah dan mengancaman sikap
tegas kita, maka kita jangan sekali-kali mundur, karena itu adalah
kenyataan yang sebenarnya. Dan membohongi kenyataan adalah sama dosanya
dengan berbuat munafik. Oleh sebab itu, hadis ini sangat relevan dengan
situasi indoensia saat ini yang banyak diwarnai oleh sikap kepura-puraan
dalam berperilaku dan berkomunikasi dengan pimpinan.
.
Hadis ke 40
Sikap dengki pemimpin sangat membahayakan
Muadz berkata: rasul s.a.w mengutusku pergi ke yaman. Ketika aku
berangkat kemudian rasul menyuruh orang untuk memanggilku pulang
kembali. Kemudian beliau berkata: tahukah engkau kenapa aku memanggilmu
kembali ? Yaitu agar engkau tidak terjerumus pada sesuatu yang tidak aku
perbolehkan, yakni sifat dengki, karena siapa yang dengki, maka
kedengkiannya itu akan datang kepadanya hari kiamat. Dengan maksud
itulah aku memanggilmu, ingat itu…! Sekarang kembalilah kamu ke wilayah
kekuasaanmu.
Hadis ini turun ketika rasul s.a.w telah mengutus mu’adz bin jabal
untuk menjadi gubernur di negeri yaman. Sebagaimana diceritakan dalam
hadis di atas, bahwa kepentingan rasul untuk sejenak memanggil pulang
kembali mu’adz adalah untuk menasehati dia agar menghindari sikap
dengki, karena sikap itu akan menjerumuskan dia ke jurang kesesatan.
Mungkin kita tidak pernah berfikir bahwa sikap dengki itu cukup
berbahaya. Padahal dari sikap yang seolah remeh tersebut, bisa
melahirkan sebuah sikap yang dampaknya jauh lebih berbahaya dari sekedar
dengki, terutama bila dikaitkan dengan masalah kepemimpinan.
Bila seorang pemimpin selalu dihinggapi rasa dengki, maka jangan
harap kepemimpinannya akan sukses. Namun tentu yang dimaksud dengki di
sini bukan sekedar bermakna iri hati atau cemburu, akan tetapi sebuah
sikap ketidak puasan seotang pemimpin atas kekuasaan yang dipegangnya.
Padahal, seorang pemimpin sudah diberi “kekuasaan”, diberi fasilitas, di
beri kehormatan, namun tidak sedikit masih banyak pemimpin yang merasa
kurang dan kurang lagi atas jabatan, kehormatan, status, harta, dan
kakuasaan. Bila seorang pemimpin tidak mampu menahan nafsu
semacam ini, maka jangan harap kepemimpinanya serta rakyat yang
dipimpinnya akan hidup dengan sejahtera. Oleh sebab itu, meski rasa
dengki adalah masalah biasa , namun dampak negatifnya menjadi luar
biasa. (http://zunlynadia.wordpress.com)
0 komentar:
Posting Komentar