Perlindungan Dari Musuh Nyata
Pendahuluan
Surat An-Naas adalah surat terakhir sesuai urutan dalam Mushhaf Al Qur’an namun bukan terakhir menurut urutan turunnya wahyu karena surat ini termasuk kategori surat makkiyah, yakni yang turun pada periode Mekkah.
Surat An-Naas merupakan salah satu dari al-mu’awwidzaat (surat-surat perlindungan, yakni Al-Ikhlash, Al-Falaq dan An-Naas) dan juga al-mu’awwidzatain
(dua surat perlindungan, yakni Al-Falaq dan An-Naas) dimana Allah SWT
memberi arahan kepada orang-orang yang beriman agar senantiasa memohon
penjagaan dan perlindungan kepada-Nya dari segala kejahatan, baik yang
tampak ataupun yang tersembunyi, yang diketahui ataupun yang tidak
diketahui, secara umum dan global ataupun secara khusus.
(QS. An-Naas 1-6)
Katakanlah : Aku berlindung
kepada Rabb manusia (1). Raja manusia (2). Ilah manusia (3). Dari
kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi (4) Yang membisikkan
(kejahatan) ke dalam dada manusia (5). Dari (golongan) jin dan manusia
(6)”
Keutamaan Surat
Adalah suatu hal yang istimewa ketika
surat-surat tersebut secara khusus disebut sebagai surat-surat
perlindungan, padahal semua surat atau ayat dalam Al-Qur’an tidak lain
adalah perlindungan juga. Bahkan disebutkan dalam sebuah hadits bahwa
setelah turunnya Al-Falaq dan An-Naas, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam
mencukupkan diri dengan keduanya saja dalam permohonan perlindungan
dari keburukan dan kejahatan jin serta manusia (lihat hadits Abu Sa’id
Al-Khudriy riwayat At-Tirmidzi, An-Nasaa-i dan Ibnu Majah).
Banyak sekali riwayat yang menegaskan
tentang keutamaan surat-surat perlindungan ini. Diriwayatkan dari ‘Uqbah
bin Amir bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,”Tidakkah engkau tahu bahwa pada malam ini telah diturunkan
ayat-ayat yang tidak ada yang membandinginya (dalam keutamaannya), yakni
Qul a’udzu birabbil falaq (QS Al-Falaq) dan Qul a’udzu birabbin naas (QS An-Naas)?” (HR Muslim).
Kita juga dianjurkan untuk senantiasa
membaca surat-surat perlindungan ini setiap selesai shalat, ketika
hendak tidur, ketika bangun tidur, pada waktu petang dan pada waktu
pagi. Diriwayatkan dari ‘Uqbah bin Amir, beliau berkata,”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhku membaca surat-surat perlindungan (al-mu’awwidzaat :
QS Al-Ikhlas, QS Al-Falaq, QS An-Naas) setiap selesai shalat”. (HR
Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasai). Dalam riwayat yang lain,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh ‘Uqbah bin
Amir untuk membaca dua surat: QS Al-Falaq dan QS An-Naas setiap kali
tidur dan setiap kali bangun (HR Ahmad dan An-Nasaa-i).
Dalam hadits riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha , disebutkan bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersiap untuk tidur setiap malam, maka beliau mempertemukan kedua
telapak tangannya dan meniup pada keduanya seraya membaca QS-Ikhlash, QS
Al-Falaq, dan QS An-Naas lalu mengusapkannya ke seluruh bagian badannya
dimulai dari kepala, wajah, dan bagian depan badan beliau. Dan beliau
mengulang yang demikian itu tiga kali (HR Al-Bukhari dan Ashabus Sunan). Dan dalam sebuah hadits yang lain, Rasulullah bersabda (yang artinya) : “Bacalah Qul a’udzu birabbilfalaq (yakni QS Al-Falaq) dan Qul a’udzu birabbinnaas
(yakni QS An-Naas) pada waktu petang dan pagi sebanyak tiga kali, maka
itu cukup untuk menjaga dirimu dari segala bentuk gangguan“ (HR. Abu
Dawud. An Nasa’i dan At Tirmidzi).
Disamping itu, kita juga dianjurkan
untuk banyak-banyak membaca surat-surat perlindungan tersebut dalam
berbagai kesempatan secara umum, baik dalam shalat ataupun diluar
shalat.
Dalam riwayat Al-Baihaqi, diceritakan bahwa surat Al-Falaq dan An-Naas diturunkan sebagai ruqyah bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
saat disihir oleh seorang Yahudi yang bernama Labid bin al-A’sham
dengan sebelas buhul (simpul tali), dimana setiap kali dibacakan satu
demi satu ayat-ayat dari kedua surat tersebut maka terlepaslah
buhul-buhul itu satu persatu. Kisah tentang disihirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini sendiri terdapat dalam Shahih Al-Bukhari.
Mengapa Mesti Ber-isti’adzah
Sebagai seorang muslim, sudah semestinya kita senantiasa memohon perlindungan (isti’adzah)
kepada Allah, diantaranya dengan membaca surat-surat perlindungan
diatas. Adapun alasan mengapa kita mesti banyak-banyak memohon
perlindungan kepada Allah adalah sebagai berikut.
Pertama, karena Allah memang
memerintahkan kita untuk banyak-banyak memohon perlindungan kepada-Nya.
Bahkan, kalau kita perhatikan, betapa banyak Rasulullah telah
mengajarkan kepada kita doa-doa perlindungan, untuk diucapkan dalam
kesempatan-kesempatan khusus dan dalam berbagai kesempatan secara umum.
Demikian pula surat-surat perlindungan diatas dan ayat-ayat Al-Qur’an
pada umumnya juga merupakan perlindungan bagi kita.
Kedua, karena memohon
perlindungan kepada Allah merupakan bagian dari doa, sementara doa
adalah bentuk ibadah yang terbaik. Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa
enggan meminta kepada Allah maka Dia akan marah kepadanya” (HR.
At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abu Hurairah). Ini berarti
semakin banyak kita meminta kepada Allah, Dia akan semakin mencintai
kita. Tentu ini berbeda dengan manusia yang jika sering dimintai justeru
akan jengkel atau marah.
Ketiga, karena meneladani
Rasulullah saw yang sangat banyak memohon perlindungan kepada Allah
padahal beliau adalah ma’shum, dijamin terjaga dari segala bentuk
kejahatan. Lalu bagaimana dengan kita? Sudah tentu kita lebih pantas
untuk banyak-banyak memohon perlindungan kepada Allah.
Keempat, karena memohon perlindungan kepada Allah adalah suatu kebutuhan bagi kita. Hal ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, karena manusia adalah makhluq yang lemah. Dalam hal ini, Allah berfirman,”Manusia diciptakan dalam keadaan lemah” (QS.). Kedua,
karena kejahatan sangatlah banyak bentuk dan jumlahnya, dan setiap saat
bisa mengenai diri kita. Kejahatan bisa datang dari sesama manusia,
binatang buas, binatang berbisa, alam dengan berbagai fenomenanya,
Iblis, syetan, jin yang jahat dan sebagainya. Dan kepada Allah sajalah
kita layak memohon perlindungan karena Dia-lah Dzat Yang Maha Kuat dan
tidak memiliki kelemahan ataupun kekurangan sama sekali.
Kandungan Surat
Dalam surat ini, demikian pula surat sebelumnya yaitu Al-Falaq, Allah memerintahkan kepada kita untuk ber-isti’adzah dengan firman-Nya Qul,
yang bermakna : Katakanlah. Ini berarti bahwa pengucapan dengan lisan
merupakan bentuk terbaik dari permohonan perlindungan kepada Allah,
demikian pula doa pada umumnya.
Surat ini mengingatkan bahwa, manusia
adalah makhluq lemah yang senantiasa membutuhkan penjagaan dan
perlindungan. Dan mencari serta memohon perlindungan haruslah kepada
Dzat Maha Pelindung. Dia-lah Allah, Rabb semua manusia, Raja semua manusia dan Ilah semua manusia. Disamping itu, isti’adzah
(memohon perlindungan) adalah merupakan salah satu bentuk ibadah yang
tidak boleh ditujukan melainkan hanya kepada Allah Ta’ala semata.
Bahaya dan ancaman terbesar manusia
mukmin dalam kehidupannya adalah yang membahayakan dan mengancam
keselamatan hatinya, kesucian jiwanya dan kemurnian iman, tauhid dan
ibadahnya. Maka manusia mukmin diarahkan agar mencari dan memohon
perlindungan untuk semua itu.
Dan faktor pengancam paling vital bagi
manusia mukmin tersebut adalah syetan yang memang adalah musuh bebuyutan
terbesar dan paling nyata bagi orang-orang beriman (QS. Al Baqarah [2] :
168 & 208 ; Al An’am [6] : 142). Oleh karena itu kita harus
menjadikannya sebagai musuh utama kita dan senantiasa menyatakan perang
terhadapnya (lihat QS. Faathir [35] : 6). Barangkali karena inilah,
perlindungan dari syetan dinyatakan secara khusus dalam satu surat ini,
setelah kita memohon perlindungan dari berbagai bentuk kejahatan dalam
surat Al-Falaq. Dalam surat ini kita juga diingatkan bahwa syetan itu
tidak hanya dari keturunan Iblis dan golongan jin saja, namun juga dari
golongan manusia (lihat QS. Al An’am [6] : 112).
Namun perlu disadari bahwa, sebenarnya
tipu daya syetan itu lemah (QS. An Nisa’ [4] : 76). Oleh karena itu pada
hakekatnya ia tidak memiliki kekuasaan apa-apa atas orang-orang yang
benar-benar beriman dan bertawakal pada Allah (QS. An Nahl [16] : 99).
Dominasi kekuasaan dan pengaruhnya hanyalah terhadap orang-orang yang
memang telah memberikan wala’ (loyalitas dan keberpihakan) padanya dan menyambut serta mengikuti ajakannya (QS. An Nahl [16] : 100 ; Al A’raf [14] ; 22).
Dalam surat ini disebut tiga sifat Allah, yaitu Rabb, Malik dan Ilah. Allah sebagai Rabb mengandung beberapa makna sebagai berikut. Pertama, Allah adalah pencipta (al-khaaliq).
Lihat juga QS. Al An’am [6] : 102 ; Ar-Ra’ad [13] : 16 ; Az Zumar [39] :
62 ; Ghafir [40] : 62 ; Al-Hasyr [59] : 24. Kedua, Allah adalah pemilik
(al-maalik). Lihat juga QS. Ali Imron [3] : 26-27 ; An-Nisa’ [4] : 131 & 170. Ketiga, Allah adalah pemberi rizki (ar-raaziq).
Lihat juga QS. Fathir [35] : 3 ; Adz-Dzariyat [51] : 58 ; Ar-Rum [30] :
40 ; Ghafir [40] : 64. Dan keempat, Allah adalah pengatur segala urusan
alam semesta (al-mudabbir). Lihat juga QS. Yunus [10] : 3 & 31 ; Ar-Ra’ad [13] : 2.
Adapun Allah sebagai Raja (Al-Malik) mengandung beberapa arti berikut. Pertama, Allah adalah penguasa sekaligus pembuat hukum dan tatanan kehidupan (al-haakim)
: QS. At Tin [95] :8 ; Al Maidah [5] : 50 ; Yunus [ 12] : 40. Kedua,
Allah adalah Dzat satu-satunya yang berhak mendapat ketaatan mutlak (al-muthaa’)
: QS. Ali Imron [3] : 32 & 132 ; An Nisa’ [4] : 59 ; Al Maidah [5] :
92 ; Al An fal [8] : 46. Ketiga, Allah juga adalah Dzat satu-satu-Nya
yang berhak memperoleh loyalitas mutlak (al-waliy) : QS. Al Baqoroh [2] : 257 ; Al Maidah [5] : 55 ; Al Hajj [22] : 40-41.
Sementara Allah sebagai Ilah
memiliki beberapa makna berikut. Pertama, Allah adalah Dzat
satu-satu-Nya yang harus menjadi puncak pengharapan, tujuan dan
cita-cita manusia dalam segenap urusannya (al-ghayah) : QS. Al An’am [6] : 163. Kedua, Allah adalah Dzat satu-satu-Nya yang berhak atas segala bentuk penghambaan dan peribadatan (al-ma’bud)
: Qs. Al Fatihah [1] : 5 ; Al Baqoroh [2] : 21 ; Al An’am [6] : 102 ;
Adz Dzariyat [51] : 56 ; An Nahl [16] : 36 ; Al Anbiya’ [21] : 25.
Memahami ketiga sifat Allah tersebut
berikut rincian maknanya merupakan bagian dari ma’rifatullah (mengenal
Allah). Namun perlu diingat, ma’rifatullah tidaklah hanya mengetahui dan
mengakui wujud-Nya serta sekedar menghafal Asma dan Shifat-nya saja.
Tapi yang lebih penting lagi adalah: mengenal fungsi-fungsi Asma dan Shifat-Nya tersebut berikut ’sentuhan-sentuhannya’ dalam kehidupan serta mengetahui konsekuensi-konsekuensinya terkait dengan keimanan dan ibadah kita.
Oleh:Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, MA
Tapi yang lebih penting lagi adalah: mengenal fungsi-fungsi Asma dan Shifat-Nya tersebut berikut ’sentuhan-sentuhannya’ dalam kehidupan serta mengetahui konsekuensi-konsekuensinya terkait dengan keimanan dan ibadah kita.
Oleh:Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, MA
0 komentar:
Posting Komentar