Pengertian HARFIAH
SOMBONG
Sombong adalah membanggakan diri sendiri, mengganggap dirinya yang lebih dari yang lain. Membuat dirinya terasa lebih berharga dan bermartabat sehingga dabat menjelekkan orang lain. Padahal Allah telah melarang kita dalam QS. Al Luqman {31}:18
"Dan janganlah
kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri"
Sementara itu ada sebuah teladan yang di ambil
dari Adz Dzahabi
Adz Dzahabi
rahimahullah berkata, “Kesombongan yang paling buruk adalah orang yang
menyombongkan diri kepada manusia dengan ilmunya, dia merasa hebat dengan
kemuliaan yang dia miliki. Orang semacam ini tidaklah bermanfaat ilmunya untuk
dirinya. Karena barang siapa yang menuntut ilmu demi akhirat maka ilmunya itu
akan membuatnya rendah hati dan menumbuhkan kehusyu’an hati serta ketenangan
jiwa. Dia akan terus mengawasi dirinya dan tidak bosan untuk terus
memperhatikannya. Bahkan di setiap saat dia selalu berintrospeksi diri dan
meluruskannya. Apabila dia lalai dari hal itu, dia pasti akan terlempar keluar
dari jalan yang lurus dan binasa. Barang siapa yang menuntut ilmu untuk
berbangga-banggaan dan meraih kedudukan, memandang remeh kaum muslimin yang
lainnya serta membodoh-bodohi dan merendahkan mereka, sungguh ini tergolong
kesobongan yang paling besar. Tidak akan masuk surga orang yang di dalam
hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya sekecil dzarrah (anak semut), la
haula wa la quwwata illa billah.”
Jangan Sombong
Kita ingin selamat
dunia ataukah dunia-akhirat. Sebab, kita tentu masih punya kewibawaan meskipun
sikap kita tidak berbanggga-bangga diri. Bahkan orang lain akan lebih
menghargai dan menghormati kita karena kita menghargai orang lain. Bahkan Allah
menantang kita dalam QS. Al Isra’ {17}:37
"Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan
sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan
sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung."
Wah, tentu kita
keberatan bila kita disuruh menembus bumi dan tinggi badan kita tidak dapat
menyamai gunung-gunung yang ada di Bumi. Bagaimana caranya? Terkadang untuk
melakukan sesuatu kita juga butuh orang lain. Meskipun kita berkuasa, toh
ujungnya kita memerintahkan orang lain berbuat sesuati. Oleh karena itu.
seharusnya kita tidak boleh sombong. Hargai orang lain dan perdulikan nasib
orang lain. Sebenarnya ini merupakan pelajaran bagi kita khususnya
pemimpin-pemimpin negeri ini. Jangan sampai mengorbankan rakyat hanya untuk
keperluan pribadi.
Ingatlah, kelak
kita akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Tuhan semesta
alam.
Siapkah kita?
Sombong, Sifat
Penghuni Neraka
Allah Ta’ala berfirman:
قِيلَ
ادْخُلُوا أَبْوَابَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا فَبِئْسَ مَثْوَى
الْمُتَكَبِّرِينَ
“Dikatakan (kepada mereka), “Masukilah pintu-pintu neraka Jahannam itu, dalam keadaan kekal di dalamnya” Maka neraka Jahannam itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. Az-Zumar: 72)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
لَا
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي
قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ
يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ
حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ
جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ
بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi kesombongan.” Seorang laki-laki bertanya, “Sesungguhnya bagaimana jika seseorang menyukai apabila baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim no. 91)
Haritsah bin Wahab radhiallahu anhu berkata: Saya pernah
mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya:
أَلَا
أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ قَالُوا بَلَى قَالَ
كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ
“Maukah aku beritahukan kepada kalian siapa penghuni neraka?” Mereka menjawab, “Mau.” Beliau bersabda, “Setiap orang yang kasar, congkak dalam berjalan, dan sombong.” (HR. Al-Bukhari no. 9417 dan Muslim no. 2853)
Dari Abu Said Al-Khudri dan Abu Hurairah radhiallahu
anhuma keduanya berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْعِزُّ
إِزَارُهُ وَالْكِبْرِيَاءُ رِدَاؤُهُ فَمَنْ يُنَازِعُنِي عَذَّبْتُهُ
“Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. (Allah berfirman:) Barangsiapa yang menyaiki-Ku (pada kedua sifat ini) maka Aku akan mengazabnya.” (HR. Muslim no. 2620)
Sifat sombong dan takabbur merupakan salah satu di antara
sifat-sifat Allah yang hanya boleh dimiliki oleh Allah. Karenanya tidak ada
seorang makhlukpun yang boleh bersifat dengannya. Karena siapa saja yang
mencoba untuk bersifat dengannya maka Allah Ta’ala akan menyiksanya karena
telah menyaingi-Nya dalam sifat yang khusus miliknya, sebagaimana Allah akan
menyiksa orang yang menyaingi-Nya dalam ibadah yang merupakan hak khusus milik
Allah. Dan sungguh Allah telah menjatuhkan ancamannya ini kepada makhluk
pertama yang mencontohkan kesombongan yaitu Iblis.
Hal itu terjadi tatkala dia enggan untuk melaksanakan perintah Allah berupa sujud kepada Adam alaihissalam. Semua itu karena sifat sombong dan congkak yang dia miliki dengan merasa lebih baik daripada Nabi Adam alaihissalam. Karenanya wajar jika Ibnu Al-Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa sifat sombong merupakan salah satu dari rukun-rukun kekafiran.
Hal itu karena kesombongan mengantarkan seseorang untuk menolak kebenaran dan memandang rendah orang lain, sebagaimana Iblis menolak perintah Allah yang merupakan kebenaran dan memandang rendah Nabi Adam alaihissalam yang sebenarnya lebih utama daripada dirinya. Dan sungguh karena sifat sombong inilah Iblis menjadi kafir dan diusir dari langit.
Hal itu terjadi tatkala dia enggan untuk melaksanakan perintah Allah berupa sujud kepada Adam alaihissalam. Semua itu karena sifat sombong dan congkak yang dia miliki dengan merasa lebih baik daripada Nabi Adam alaihissalam. Karenanya wajar jika Ibnu Al-Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa sifat sombong merupakan salah satu dari rukun-rukun kekafiran.
Hal itu karena kesombongan mengantarkan seseorang untuk menolak kebenaran dan memandang rendah orang lain, sebagaimana Iblis menolak perintah Allah yang merupakan kebenaran dan memandang rendah Nabi Adam alaihissalam yang sebenarnya lebih utama daripada dirinya. Dan sungguh karena sifat sombong inilah Iblis menjadi kafir dan diusir dari langit.
Maka siapa saja yang mempunyai sifat sombong di dalam
hatinya walaupun sekecil biji sawi maka dia telah menyamai Iblis dalam hal ini.
Dan tatkala Iblis diusir dari surga akibat kesombongannya, maka Allah juga
mengharamkan surga dari manusia yang masih mempunyai sifat sombong di dalam
hatinya walaupun sekecil biji sawi. Dan itu berarti tempat kembalinya di
akhirat adalah neraka Jahannam yang penuh dengan siksaan dari Allah Ta’ala, wal
‘iyadzu billah.
Faidah tambahan yang bisa dipetik dari hadits Ibnu Mas’ud
di atas adalah bahwa berhias dan menjaga kebersihan diri bukanlah bentuk
kesombongan, karena hal itu dianjurkan oleh Allah Ta’ala.
Suatu hari mungkin kita menemui suatu kemudahan dalam
urusan kita. Orang lain bertanya kepada kita bagaimana cara anda menyelesaikan
persoalan tersebut. Dengan lantang dan bangganya anda menjawab "Siapa
dulu. Ini semua berkat usaha keras saya."
Nah, dari contoh
di atas kita sering membanggakan diri kita, dan merendahkan orang lain yang
kita anggap di bawah kita kedudukannya. Atau mungkin merasa memiliki sesuatu
yang lebih dari orang lain. Sehingga mengejek atau bahkan merendahkan martabat
orang lain. Na'udzubillah
Kita tidak
mengetahui siapa zat yang memudahkan urusan kita hingga berhasil seperti itu.
Kita tidak menyadari, bagaimana seandainya kemudahan itu tiba-tiba hilang saat
kita sedang membanggakannya. Atau mungkin saat itu nyawa kita dicabut sehingga
kita menjadi orang yang merugi karena mati dalam keadaan su'ul khatimah (mati
dalam keburukan)? Disinilah, saya
berusaha membahas mengenai larangan sombong dalam Islam. Sampai-sampai
Rosulullah saw sendiri sangat membenci orang-orang yang sombong. Mari kita
simak ulasan berikut.
Jauhilah Sikap
Sombong
Salah satu tujuan diutusnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِنَّمَا
بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang baik.” (HR. Ahmad 2/381. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan bahwa hadits ini shahih)
Islam adalah agama yang mengajarkan akhlak yang luhur dan
mulia. Oleh karena itu, banyak dalil al Quran dan as Sunnah yang memerintahkan
kita untuk memiliki akhlak yang mulia dan menjauhi akhlak yang tercela. Demikian
pula banyak dalil yang menunjukkan pujian bagi pemilik akhlak baik dan celaan
bagi pemilik akhlak yang buruk. Salah satu akhlak buruk yang harus dihindari
oleh setiap muslim adalah sikap sombong.
Sikap sombong adalah memandang dirinya berada di atas kebenaran
dan merasa lebih di atas orang lain. Orang yang sombong merasa dirinya sempurna
dan memandang dirinya berada di atas orang lain. (Bahjatun Nadzirin, I/664,
Syaikh Salim al Hilali, cet. Daar Ibnu Jauzi)
Islam Melarang dan Mencela Sikap Sombong
Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ
تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ
تَمْشِ فِي اللأَرْضِ مَرَحاً
إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ
كُلَّ مُخْتَالٍ فَجُوْرٍ {18}
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّهُ
لَا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ
“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 23)
Haritsah bin Wahb Al Khuzai’i berkata bahwa ia mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا
أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ قَالُوا بَلَى قَالَ
كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ
“Maukah kamu aku beritahu tentang penduduk neraka? Mereka semua adalah orang-orang keras lagi kasar, tamak lagi rakus, dan takabbur(sombong).“ (HR. Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853).
Dosa Pertama Iblis
Sebagian salaf menjelaskan bahwa dosa pertama kali yang muncul kepada
Allah adalah kesombongan. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذْ
قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لأَدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ
إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ
مِنَ الكَافِرِينَ {34}
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur (sombong) dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir“ (QS. Al Baqarah:34)
Qotadah berkata tentang ayat ini, “Iblis hasad kepada
Adam ‘alaihis salaam dengan kemuliaan yang Allah berikan kepada Adam. Iblis
mengatakan, “Saya diciptakan dari api sementara Adam diciptakan dari tanah”.
Kesombongan inilah dosa yang pertama kali terjadi . Iblis sombong dengan tidak
mau sujud kepada Adam” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/114, cet al Maktabah at
Tauqifiyah)
Hakekat
Kesombongan
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لَا
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي
قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ
يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ
حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ
جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ
بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim no. 91)
An Nawawi rahimahullah berkata, “Hadist ini berisi
larangan dari sifat sombong yaitu menyombongkan diri kepada manusia,
merendahkan mereka, serta menolak kebenaran” (Syarah Shahih Muslim Imam Nawawi,
II/163, cet. Daar Ibnu Haitsam)
Kesombongan ada dua macam, yaitu sombong terhadap al haq
dan sombong terhadap makhluk. Hal ini diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pada hadist di atas dalam sabda beliau, “sombong adalah menolak
kebenaran dan suka meremehkan orang lain”. Menolak kebenaran adalah dengan
menolak dan berpaling darinya serta tidak mau menerimanya. Sedangkan meremehkan
manusia yakni merendahkan dan meremehkan orang lain, memandang orang lain tidak
ada apa-apanya dan melihat dirinya lebih dibandingkan orang lain. (Syarh
Riyadus Shaalihin, II/301, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, cet Daar
Ibnu Haitsam)
Sombong Terhadap
al Haq (Kebenaran)
Sombong terhadap al haq adalah sombong terhadap kebenaran,
yakni dengan tidak menerimanya. Setiap orang yang menolak kebenaran maka dia
telah sombong disebabkan penolakannya tersebut.
Oleh karena itu wajib bagi setiap hamba untuk menerima kebenaran yang
ada dalam Kitabullah dan ajaran para rasul ‘alaihimus salaam.
Orang yang sombong terhadap ajaran rasul secara
keseluruhan maka dia telah kafir dan akan kekal di neraka. Ketika datang
kebenaran yang dibawa oleh rasul dan dikuatkan
dengan ayat dan burhan, dia bersikap sombong dan hatinya menentang
sehingga dia menolak kebenaran tersebut. Hal ini seperti yang Allah terangkan
dalam firman-Nya,
إِنَّ
الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي ءَايَاتِ اللهِ
بِغَيْرِ سًلْطَانٍ أَتَاهُمْ إِن فِي صُدُورِهِمْ
إِلاَّ كِبْرٌ مَّاهُم بِبَالِغِيهِ
فَاسْتَعِذْ بِاللهِ إِنَّهُ هُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ {56}
“Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa lasan yang sampai pada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kesombongan yang mereka sekali-klai tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mnedengar lagi Maha Melihat” (QS. Ghafir:56)
Adapun orang yang sombong dengan menolak sebagian al haq
yang tidak sesuai dengan hawa nafsu dan akalnya –tidak termasuk kekafiran- maka
dia berhak mendapat hukuman (adzab) karena sifat sombongnya tersebut.
Maka wajib bagi para penuntut ilmu untuk memiliki tekad
yang kuat mendahulukan perkataan Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam di atas
perkataan siapa pun. Karena pokok kebenaran adalah kembali kepadanya dan
pondasi kebenaran dibangun di atasnya, yakni dengan petunjuk Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam. Kita berusaha untuk mengetahui maksudnya, dan mengikutinya
secara lahir dan batin. (Lihat Bahjatu Qulubil Abrar, hal 194-195, Syaikh
Nashir as Sa’di, cet Daarul Kutub ‘Ilmiyah)
Sikap seorang muslim terhadap setiap kebenaran adalah
menerimanya secara penuh sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَمَاكَانَ
لِمُؤْمِنٍ وَلاَمُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ
وَرَسُولَهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ
لَهُمُ الْخِيَرَةَ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن
يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ
ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِينًا {36}
“Dan tidaklah patut bagi mukmin laki-laki dan mukmin perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzab: 36)
فَلاَ
وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا
شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ
فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا {65}
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An Nisaa’: 65)
Sombong Terhadap
Makhluk
Bentuk kesombongan yang kedua adalah sombong terhadap
makhluk, yakni dengan meremehkan dan merendahkannya. Hal ini muncul karena
seseorang bangga dengan dirinya sendiri dan menganggap dirinya lebih mulia dari
orang lain. Kebanggaaan terhadap diri sendiri membawanya sombong terhadap orang
lain, meremehkan dan menghina mereka, serta merendahkan mereka baik dengan
perbuatan maupun perkataan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بِحَسْبِ
امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ
يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ
“Cukuplah seseorang dikatakan berbuat jahat jika ia menghina saudaranya sesama muslim” (H.R. Muslim 2564). (Bahjatu Qulubill Abrar, hal 195)
Di antara bentuk kesombongan terhadap manusia di
antaranya adalah sombong dengan pangkat dan kedudukannya, sombong dengan harta,
sombong dengan kekuatan dan kesehatan, sombong dengan ilmu dan kecerdasan,
sombong dengan bentuk tubuh, dan kelebihan-kelebihan lainnya. Dia merasa lebih
dibandingkan orang lain dengan kelebihan-kelebihan tersebut. Padahal kalau kita
renungkan, siapa yang memberikan harta, kecerdasan, pangkat, kesehatan, bentuk tubuh
yang indah? Semua murni hanyalah nikmat dari Allah Ta’ala. Jika Allah
berkehendak, sangat mudah bagi Allah untuk mencabut kelebihan-kelebihan
tersebut. Pada hakekatnya manusia tidak memiliki apa-apa, lantas mengapa dia
harus sombong terhadap orang lain? Wallahul musta’an.
Hukuman Pelaku
Sombong di Dunia
Dalam sebuah hadist yang shahih dikisahkan sebagai
berikut ,
أَنَّ
رَجُلاً أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ
اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- بِشِمَالِهِ فَقَالَ « كُلْ بِيَمِينِكَ ». قَالَ
لاَ أَسْتَطِيعُ قَالَ « لاَ اسْتَطَعْتَ
». مَا مَنَعَهُ إِلاَّ الْكِبْرُ. قَالَ
فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ.
“Ada seorang laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu!” Orang tersebut malah menjawab, “Aku tidak bisa.” Beliau bersabda, “Apakah kamu tidak bisa?” -dia menolaknya karena sombong-. Setelah itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya” (H.R. Muslim no. 3766).
Orang tersebut mendapat hukum di dunia disebabkan
perbuatannya menolak perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia dihukum karena kesombongannya. Akhirnya
dia tidak bisa mengangkat tangan kanannya disebabkan sikap sombongnya terhadap
perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah di antara bentuk
hukuman di dunia bagi orang yang sombong.
Mengganti Sikap
Sombong dengan Tawadhu’
Kebalikan dari sikap sombong adalah sikap tawadhu’
(rendah hati). Sikap inilah yang merupakan sikap terpuji, yang merupakan salah
satu sifat ‘ibaadur Rahman yang Allah terangkan dalam firman-Nya,
وَعِبَادُ
الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا
وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati (tawadhu’) dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al Furqaan: 63)
Diriwayatkan dari Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
وَإِنَّ
اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ
تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ
أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا
يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
‘Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap rendah hati hingga tidak seorang pun yang bangga atas yang lain dan tidak ada yang berbuat aniaya terhadap yang lain” (HR Muslim no. 2865).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا
نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا
زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ
إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ
أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ
اللَّهُ.
“Sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaan untuknya. Dan tidak ada orang yang tawadhu’ (merendahkan diri) karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim no. 2588)
Sikap tawadhu’ inilah yang akan mengangkat derajat
seorang hamba, sebagaimana Allah berfirman,
دَرَجَاتٍ
الْعِلْمَ أُوتُوا وَالَّذِينَ مِنكُمْ
آمَنُوا الَّذِينَ اللَّهُ يَرْفَعِ
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat “ (QS. Al Mujadilah: 11).
Termasuk buah dari lmu yang paling agung adalah sikap
tawadhu’. Tawadhu’ adalah ketundukan secara total terhadap kebenaran, dan
tunduk terhadap perintah Allah dan rasul-Nya dengan melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan disertai sikap tawdahu’ terhadap manusia dengan bersikap
merenadahkan hati, memperhatikan mereka baik yang tua maupun muda, dan
memuliakan mereka. Kebalikannya adalah sikap sombong yaitu menolak kebenaran
dan rendahkan manusia. (Bahjatu Qulubil
Abrar, hal 110)
Tidak Termasuk
Kesombongan
Tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
menceritakan bahwa orang yang memiliki sikap sombong tidak akan masuk surga,
ada sahabat yang bertanya tentang orang yang suka memakai pakaian dan sandal
yang bagus. Dia khawatir hal itu termasuk kesombongan yang diancam dalam
hadits. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwasanya hal
itu tidak termasuk kesombongan selama orang tersebut tunduk kepada kebenaran
dan bersikap tawadhu’ kepada manusia. Bahkan hal itu termasuk bentuk keindahan
yang dicintai oleh Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Indah dalam dzat-Nya,
nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta perbuatan-Nya. Allah mencintai keindahan
lahir dan batin.( Bahjatu Qulubil Abrar , hal 195)
Kesombongan yang
Paling Buruk
Al Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Kesombongan
yang paling buruk adalah orang yang menyombongkan diri di hadapan manusia
dengan ilmunya, merasa dirinya besar dengan kemuliaan yang dia miliki. Bagi
orang tersebut tidak bermanfaat ilmunya
untuk dirinya. Barangsiapa yang menuntut ilmu demi akhirat maka ilmunya itu
akan menimbulkan hati yang khusyuk serta jiwa yang tenang. Dia akan terus mengawasi
dirinya dan tidak bosan untuk terus memperhatikannya, bahkan setiap saat dia
selalu introspeksi dan meluruskannya.
Apabila dia lalai dari hal itu, dia akan menyimpang dari jalan yang lurus dan akan binasa. Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk membanggakan diri dan meraih kedudukan, memandang remeh kaum muslimin yang lainnya serta membodoh-bodohi dan merendahkan mereka, maka hal ini merupakan kesombongan yang paling besar.
By, Rahma K. Suci
Apabila dia lalai dari hal itu, dia akan menyimpang dari jalan yang lurus dan akan binasa. Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk membanggakan diri dan meraih kedudukan, memandang remeh kaum muslimin yang lainnya serta membodoh-bodohi dan merendahkan mereka, maka hal ini merupakan kesombongan yang paling besar.
Tidak akan masuk surga orang yang
di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya sebesar dzarrah (biji
sawi). Laa haula wa laa quwwata illaa
billah.” (Al Kabaa’ir ma’a Syarh li Ibni
al ‘Utsaimin hal. 75-76, cet. Daarul Kutub ‘Ilmiyah.)
By, Rahma K. Suci
0 komentar:
Posting Komentar