Durhaka kepada Orang Tua karena Istri
Ayahku
meninggal ketika aku masih kecil. Tinggal ibuku yang selalu merawatku…
Beliau bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sehingga mampu membiayai
hidupku. Aku anak satu-satunya. Beliau memasukkanku ke lembaga
pendidikan, sampai aku menyelesaikan perguruan tinggi. Sampai titik ini,
aku masih menjadi anak yang berbakti kepadanya.
Tiba waktunya aku harus melanjutkan kuliah di luar negeri.
Keberangkatanku diiringi dengan pesan ibuku sambil menetaskan air
matanya,
“Catat baik-baik di lubuk hatimu wahai anakkku, jangan
sampai kamu tidak memberi kabar.. sering kirim surat, sehingga saya bisa
merasa tenang dengan keadaan baikmu.”
Usai sudah masa studiku setelah menempuh waktu yang sangat lama.
Namun aku kembali pulang dengan sosok yang berbeda. Aku banyak
terpengaruh dengan budaya barat. Saya mulai memandang miring aturan
agama…diliputi dengan semangat materialisme, yang hanya mendambakan
harta dan harta. Saya mendapat pekerjaan dengan salary tinggi. Mulailah
saya terarik untuk menikah.
Sebenarnya ibuku telah menawari aku untuk menikah dengan wanita yang
baik agamanya, sopan, dan menjaga kehormatan. Namun aku tolak, dan aku
hanya mau dengan wanita kenalanku, wanita kaya nan cantik jelita. Saya
punya mimpi untuk memiliki kehidupan model ‘Aristikrasi’ (menurut
istilah mereka).
Setelah menjalani hidup berkeluarga selama 6 bulan, mulailah istriku
membuat ulah, sampai membuat ibuku marah. Sampai suatu saat, ketika saya
masuk rumah, tiba-tiba saya mendengar tangisan istriku. Spontan aku
tanyakan tentang sebabnya, istriku malah mengancam,
“Pilih saya atau ibumu yang tinggal di rumah ini… saya sudah gak sanggup tinggal bersamanya..”
Spontan aku jadi seperti orang gila. Aku usir Ibuku dari rumah, di saat puncak kemarahanku. keluarlah beliau sambil menitikkan air mata. Ucapan indah yang aku dengar,
“Semoga Allah membahagiakanmu wahai anakku…”
Setelah agak mereda, akupun mengejar beliau. Aku mencarinya, tapi
terlambat sudah. Ibuku telah menghilang. Aku kembali pulang. Istriku
berusaha untuk menenangkan aku. Dia bujuk rayu aku agar mulai lupa
dengan ibuku, emas yang paling berharga bagiku..
Aku kehilangan berita tentang ibuku sampai kurun waktu yang lama.
Pada kesempatan yang sama, aku menderita sakit parah yang menyeretku ke
rumah sakit. Ternyata ibuku mendengar berita tentangku. Beliau datang ke
rumah sakit untuk menjengukku. Ketika itu, istriku yang menemaniku.
Melihat kehadiran ibuku, dia mengusirnya sebelum sempat menemui anaknya.
“Anakmu tidak ada di sini… Apa yang kamu inginkan dari kami… menjauhlah dari kami!!”
Ibuku tertatih kembali tanpa sempat menemuiku.
Keluarlah aku dari rumah sakit, setelah opname dalam waktu yang lama.
hanya saja, sekarang kondisiku berbalik. Aku kehilangan pekerjaan dan
rumah. utangpun mulai bertumpuk. Semua itu disebabkan istriku yang
selalu menuntut materi dan materi. Sampai di puncak kesusahan, si cantik
istriku mulai tidak betah.
“Karena kamu sudah kehilangan pekerjaan,
harta, dan posisimu di masyarakat, mulai saat ini aku tegaskan di
hadapanmu: ‘Ceraikan aku!”
Ibarat petir yang menyambar kepalaku… akupun mentalaknya. Namun, di
balik ini muncul hikmah yang besar. Aku mulai terbangun dari
keterlenaan.
Akupun pergi tak tentu arah. Tekadku hanya satu, bisa kembali ke
ibuku. Aku harus cari ibuku… sampai akhirnya, aku berhasil menemukan
beliau. Tahukah anda, di mana beliau? Di yayasan penampungan orang tidak
mampu. Beliau hidup dengan sedekah dari para aghniya (orang mampu).
Aku menemui beliau… ternyata beliau tak kuasa menahan tangisnya,
wajahnya mulai pucat. Tak kuasa ku menatap beliau, selain langsung aku
rebahkan diriku di pangkuan beliau. Sambil menangis terisak-isak… Kami
menangis hampir satu jam.
Aku menuntun beliau untuk pulang ke rumah ibuku. Aku bertekad untuk
selalu taat kepada beliau. Aku merasakan kehidupan yang sangat indah.
Bersama kekasih seumur hidupku: Ibuku (semoga Allah menjaganya).
Aku memohon kepada Allah agar selalu menutupi kesalahanku dan menjadikan aku bebas dari masalah.
Artikel www.KisahMuslim.com
Diterjemahkan secara bebas oleh Ustadz Ammi Nur Baits dari buku: Abnaaun yu’adzibuuna abaa-ahum, hlm. 26 – 28, karya syaikh Khalid Abu Shaleh. Terbitan Darul Wathan.
0 komentar:
Posting Komentar