Kenapa Harus Bercerai?
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan
untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, Litaskunu Illaiha
(agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya), dan dijadikan-Nya
di antaramu mawaddah (kasih) dan rahmah (sayang). Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir.” (QS Ar Rum [30]:21)
Seorang teman menghubungi beberapa hari yang lalu. Setelah 14 tahun
usia perkawinan mereka dan telah dikarunia dua orang buah hati yang
menjadi tumpuan kasih sayang mereka selama ini, mereka memutuskan untuk
berpisah. Untuk mempermudah proses perceraian mereka, sang suami
mengabulkan apapun yang mantan istri nya itu inginkan. “Aku sudah
ikhlas”, Begitu katanya.
Kepada hamba itu ia menjelaskan, “Siapa sih di dunia ini yang ingin
bercerai? Hanya orang yang tidak waras yang menginginkannya. Tapi setiap
kali aku berusaha mempertahankan rumah tanggaku, semakin runyam semua
terlihat. Aku terus mencoba untuk membangun sebuah rumah tangga yang
sakinah mawaddah wa rahmah, tapi nyatanya jargon ini hanya bagai sesuatu
yang teramat muluk untuk dicapai. Sesuatu yang abstrak. Empat belas
tahun waktu yang cukup untuk bersabar dan kesabaran itu selalu ada
batasnya!”
Hamba itu tersenyum kepadanya. Setelah teman itu puas bercerita
panjang dan lebar, hamba itu berusaha menjelaskan kepadanya dengan
perlahan. “Bisa jadi ada sesuatu yang salah dengan pemahaman kita
tentang keluarga ‘Sakinah Mawaddah Warahmah’ selama ini. Kita sering
kali memandangnya dari sudut pandang bagai melihat sebuah pulau yang
terlihat indah dari kejauhan. Pulau itu terlihat hijau dengan pepohonan.
Dicelah-celah bukitnya terpancar air terjun nan deras yang terselubungi
pelangi. Demikian pula pasirnya nan putih yang memikat setiap orang
ingin menjejakkan kakinya disana. Begitulah kita memandang rumah tangga
‘Sakinah, Mawaddah Warahmah’ ini. Sesuatu yang muluk nan indah yang
setiap pasangan rumah tangga muslim ingin meraihnya.
Kita kembali ke arti sebenarnya dari kata “Sakinah” yang berarti
ketenangan atau kedamaian setelah sebelumnya dalam keguncangan. Hal ini
mengisyaratkan bahwa kata ini tidaklah berarti tenang/damai saja tapi
harus dipahami sebagai satu kesatuan kalimat yaitu “Ketenangan setelah
keguncangan”. Bukankah dalam membina rumah tangga,
keguncangan-keguncangan itu akan selalu ada dari yang skala nya kecil
hingga yang besar sekalipun? Hamba itu berkata kepada temannya tersebut,
“Tidak mungkin sebuah rumah tangga tanpa konflik. Hanya saja bagaimana
kita menjadikannya sesuatu yang “hanya riak-riak kecil dalam kehidupan
rumah tangga kita, tidak menjadikannya besar bagaikan ombak yang akan
menggulung apapun yang ia lewati dan menghempaskannya dalam kehancuran.”
Seorang ulama besar, Syeik Sayyid Qutb dalam mahakarya tafsirnya yang
berjudul “Fi Zilal al-Quran” menjelaskan bahwa sakinah dapat diartikan
bagai seorang yang menepuk air dalam benjana, airnya akan beriak untuk
sementara waktu, untuk kemudian tenang kembali. Sayyid Qutb benar, yang
selalu menjadi permasalahan dalam rumah tangga adalah kita sebagai suami
istri selalu membiarkan riak-riak kecil ini menjadi semakin besar
hingga menumpahkan air yang ada dalam benjana tersebut. Hal ini akan
menyebabkan hilangnya “Litaskunu Illaiha” (baca: agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya) yang merupakan tafsir dari ayat 21 Surah Ar Rum diatas.
Satu hal lagi yang luput dari pemahaman kita adalah arti dari kata
“Mawaddah” dan “Rahmah” yang selalu disandingkan dengan kata “Sakinah”.
Dalam pengertian yang sebenarnya “Mawaddah” dan “Rahmah” ini mempunyai
arti kata yang hampir sama yaitu rasa kasih atau sayang. Perbedaannya
adalah “Mawaddah” lebih dihinggapi oleh sifat “sesuatu yang
menggebu-gebu” sedang “Rahmah” lebih dihinggapi sifat “ketulusan”.
Mawaddah lebih sering hadir diawal masa-masa pernikahan yaitu
kasih/sayang yang menggebu-gebu dan kesediaan untuk berkorban apa saja
demi untuk menyenangkan pasangannya. Bukankah bagi seorang pria,
kesediaannya untuk menikah yang berarti berbagi dalam hal penghasilan
(rezeki) adalah suatu pengorbanan? Demikian juga bagi seorang wanita,
kesediannya untuk hidup bersama seorang pria dengan meninggalkan orang
tua nya yang telah mencukupinya selama ini adalah juga suatu
pengorbanan?
Dalam perjalanan usia pernikahan yang semakin matang, sifat “Rahmah”
lah yang akan mendominasi. Sifat ini mengandalkan ketulusan dalam
rentang waktu yang dijalani. Semua akan terlihat lebih mudah dan tanpa
pamrih lagi. Pengorbanan akan surut dan digantikan dengan kebiasaan.
Yang harus diingat adalah “Rahmah” adalah berakar pada sifat Allah Azza
wa Jalla yaitu Ar Rahim yang berarti Yang Maha Penyayang. Hal ini juga
dapat dimengerti kenapa tempat seorang wanita mengandung janinnya
disebut dengan ‘rahim’ karena jelas sekali bahwa hubungan antara seorang
ibu dengan anak yang dikandungnya sangatlah dekat. Sang Ibu dengan
ketulusan yang luar biasa akan selalu menjaga janin yang dikandungnya,
tanpa pamrih.
Sang teman bertanya kepada hamba itu, “Kalau begitu, apa yang salah
dengan saya dan istri? Kenapa kami tidak dapat mempertahankan kehidupan
rumah tangga kami?”
Hamba itu menjawab, “Berapa banyak pasangan suami istri yang hanya
sampai pada tatanan “Mawaddah” tapi tidak pernah sampai kepada tatanan
“Rahmah”. Waktu bukan penentu. Kita sering mendengar setelah puluhan
tahun berumah tangga suami istri bercerai. Terkadang ada yang sudah
mendapat cucu pun akhirnya bercerai. Hal ini hanya satu jawabannya:
“Rahmah” yang tidak pernah diperoleh karena rahmah adalah juga merupakan
sifat Allah Yang Maha Agung yang hanya Allah berikan kepada siapa yang
dekat kepada-Nya, yang patuh kepada-Nya dan mencintai-Nya. Allah Azza wa
Jalla tidak akan pernah memberikannya kepada pasangan suami istri yang
hidupnya penuh dengan kemaksiatan dan apa yang mereka dapatkan (baca:
makan) tidak jelas haram dan halal nya”
Sebuah doa terucap dari lisan yang amat sangat fakir ini: “Ya Rabb,
sesungguhnya aku mohon cinta-Mu, dan cinta hamba-hamba-Mu yang
mencintai-Mu. Dan ajari aku amal shaleh yang mengantarkan aku untuk
memperoleh cinta-Mu”
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu
amal-amalmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta’ati
Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan
yang besar.” (QS Al Ahzab [33]:70-71)
Yang fakir kepada ampunan Rabb-nya Yang Maha Berkuasa
0 komentar:
Posting Komentar