Harta Karun dalam Sumur Zam-zam dan Kisahnya
Seringkali
keberadaan materi menjadi sumber perpecahan di antara anak manusia. Tak
terhitung polemik yang berbuntut pada persengketaan dapat ditimbulkan
oleh benda yang dianggap berharga bernama harta.
Ternyata perselisihan
pun terjadi ketika Abdul Muthalib mendapatkan benda-benda berharga
dalam sumur Zam-zam yang baru saja ditemukannya. Benda berharga tak
lain adalah 2 buah patung rusa terbuat dari emas, sebuah pedang, dan baju terbuat dari besi peninggalan Madhadh al-Jurhumi, penguasa Mekah berabad-abad tahun yang lalu. Kisah sebelumnya yang bisa dibaca buku Sejarah Kabah karya Prof. Dr. Ali Husni Al-Kharbuthli tentang
ditemukannya kembali sumur Zam-zam di masa Abdul Muthalib telah coba
sarikan di sini : Sumur Zam-zam yang Hilang Ditemukan Kembali (http://media.kompasiana.com/buku/2013/09/10/sumur-zam-zam-yang-hilang-ditemukan-kembali-591233.html)
Patung Rusa Emas, Baju Besi dan Pedang untuk Ka’bah
Di sini mari sejenak kita simak betapa indah Allah SWT mengatur sebuah alur sejarah di muka bumi ini. Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad SAW adalah salah seorang manusia pilihan yang memiliki kebijaksaan tingkat tinggi, sehingga berhasil mengatasi perselisihan yang ada dengan amat menawan.
Ketika Abdul Muthalib menemukan benda-benda berharga dari sumur Zam-zam, kaum Quraisy menuntut sebagian atas hak benda-benda tersebut. Abdul Muthalib lalu mengajak mereka membuat keputusan dengan cara mengundi.
Kaum Quraisy bertanya “Bagaimana caranya?”
jawab Abdul Muthalib.
“Untuk Ka’bah dua bejana, untuk kalian dua bejana, dan untukku dua bejana. Bejana siapa yang mendapat barang yang diundi, maka barang itu menjadi miliknya. Adapun bejana yang kosong makan tidak mendapat apapun.”
Semua setuju dengan usulan tersebut. Abdul Muthalib kemudian menyediakan dua bejana kuning untuk Ka’bah, dua bejana hitam untuk dirinya, dan dua bejana putih untuk kaum Quraisy. Masing-masing bejana diserahkan pada pemiliknya ( pihak ketiga ) dan undian akan dilakukan di depan Hubal, patung terbesar di dalam Ka’bah.
Abdul Muthalib berdo’a dan menyerahkan seluruh keputusannya pada Tuhannya.
Dan hasilnya adalah, dua bejana kuning mendapat patung rusa dari emas, dua bejana hitam bagian Abdul Muthalib mendapat pedang dan baju besi, sedangkan bejana putih milik kaum Quraisy tak mendapat apa pun.
Subhanallah. Allah menentukan bahwa harta termahal ada dalam kepemilikan Ka’bah. Dan Abdul Muthalib tidak menguasai pedang dan baju besi yang secara perjanjian adalah haknya. Ia melebur pedang dan baju besi tersebut untuk dijadikan bahan pintu Ka’bah. Dua rusa dari emas itu disepakati kaum Quraisy sebagai hiasan pintu Ka’bah. Sehingga sempurnalah semua harta benda temuan itu diperuntukkan pembangunan Ka’bah. Semua pihak pun menerimanya sebagai keputusan yang adil.
Sumur Zam-zam ada di bawah tangan yang tepat karena kehendakNya Penyelesaian perselisihan pembagian harta temuan yang dianggap adil telah selesai, bukan berarti berakhir cerita sampai di sini. Sebagaimana diketahui, air adalah sumber penghidupan utama yang dicari manusia. Dan di kawasan Mekah yang gersang dan tandus, sumber mata air setara keberadaannya dengan emas permata barangkali. Maka, ketika sumur Zam-zam selesai digali dan mereka menyadari sumur itu bukan hanya bernilai kesejarahan tapi juga menyimpan banyak manfaat, kaum Quraisy kembali berujar :
“Wahai Abdul Muthalib, sesungguhnya sumur Zam-zam ini adalah sumur nenek moyang kita, Nabi Ismail. Maka kami pun sebagai keturunannya punya hak atas harta-harta itu. Jadi, berikanlah sebagian harta itu pada kami.”
“Aku tidak akan membaginya. Pekerjaan ini, aku yang mengerjakannya dan barang-barang ini aku yang mendapatkannya, bukan kalian,” jawab Abdul Muthalib.
“Berbuat adillah! Atau, kami tidak akan membiarkanmu dan akan menuntutmu,”sahut kaum Quraisy.
“Jika begitu, pilihlah seseorang di antara kalian untuk enjadi hakim bagi masalah ini,”
“Bagaimana jika seorang pendeta perempuan dari Bani Sa’d Hudzaim?”
“Baiklah,” Abdul Muthalib menyetujui. Pendeta perempuan yang terkenal arif bijaksana pilihan kaum Quraisy itu tinggal di pinggiran negeri Syam.
Maka, berangkatlah Abdul Muthalib bersama rombongan karib kerabatnya, Bani Abdi Manaf ke sana. Tokoh Quraisy pun membawa rombongan masing-masing menuju ke pendeta di Syam tersebut.
Ketika mereka tiba di tengah perjalanan antara Hijaz dan Syam, Abdul Muthalib dan rombongan kehabisan bekal air. Bahkan mereka hampir mati kehausan. Abdul Muthalib meminta bantuan pada para pemimpin suku Quraisy yang lain, dan tak satupun mereka yang berkenan mengulurkan bantuan.
“Sesungguhnya kita ada di gurun pasir dan kami khawatir akan kehausan seperti kalian juga.”
Abdul Muthalib bertanya kepada rombongannya yang telah teramat payah ketika itu.
“Bagaimana pendapat kalian?”
“Kami mengikuti pendapatmu, maka berilah perintah!” jawab mereka.
“Pendapatku, masing-masing dari kalian sebaiknya menggali kuburanya sendiri dengan sisa kekuatan yang ada. Jika salah satu dari kita ada yang mati maka temannya yang akan menguburkannya (menutup galian), sampai tinggal tersisa satu orang dari kalian. Dan, satu orang terlantar itu lebih baik daripada seluruh rombongan terlantar.”
Mereka pun melaksanakan perintah Abdul Muthalib dengan menggali kuburnya masing-masing.
Setelah itu mereka duduk di dalam kubur yang mereka gali sambil menunggu ajal menjemput. Tiba-tiba, Abdul Muthalib berkata :
“Alangkah lemahnya kita ini jika hanya berpangku tangan menunggu kematian. Mari kita bangkit, semoga Allah memberi kita air di tempat lain.”
Dengan sisa tenaga , mereka bangkit dan berdiri. Para pemimpin suku Quraisy menyaksikan apa yang mereka lakukan dari kejauhan. Abdul Muthalib pun bersiap menaiki untanya. Ketika untanya bangkit, tiba-tiba air tawar nan segar memancar deras dari bawah kaki untanya. Subhanallah, Allahu Akbar! Abdul Muthalib seketika bertakbir. Ia lalu turun dan minum. Begitu pula dengan rombongannya. Tak lupa mereka memenuhi wadah-wadah air yang mereka bawa.
Abdul Muthalib lalu memanggil para pemimpin Quraisy yang sebelumnya menolak memberi bantuan. Ia berseru
“Kemarilah! Sesungguhnya, Allah telah memberi kita minum.”
Mereka pun minum sepuasnya dan mengisi wadah-wadah air mereka. Mereka lalu berkata pada Abdul Muthalib, :
“Sesungguhnya, Allah telah memberikan kemenangan padamu atas Zam-zam untuk selamanya. Dia juga yang telah memberimu minum di gurun ini. Dia jugalah yang memberimu air Zam-zam. Maka, kembalilah ke sumurmu dengan damai.”
Abdul Muthalib dan rombongan kembali ke Mekah, dan tidak jadi melanjutkan perjalanan ke pendeta Bani Sa’d di Syam karena kaum Quraisy telah tersentuh oleh peristiwa yang baru saja terjadi. Bukan hanya karena keajaiban air yang keluar dari bawah unta Abdul Muthalib, namun terlebih karena luluh oleh sikap dermawan dan kebijaksanaannya.
Memancarnya kembali sumur Zam-zam menjadi anugerah bagi penduduk Mekah dan kaum Quraisy. Mereka kini dapat mengairi pertanian, menghijaukan tanah Mekah dengan berbagai tanaman. Abdul Muthalib kini mengemban tanggung jawab penyediaan air minum bagi jamaan dengan tenang tanpa harus kerepotan sebagaimana sebelumnya. Ia membagikan secara gratis air Zam-zam pada seluruh jamaah. Namanya semakin terkenal di kalangan bangsa Arab.
Dan sumur Zam-zam dipelihara oleh Sang Penciptanya hingga kini dan bahkan hingga akhir masa. Sumur yang meski hanya berdiameter 3meter mampu memberikan jamuan minum bagi jutaan tamu Allah sepanjang tahun. Sumur yang tak pernah meluap, dan tak pernah kering. Yang atas perkenanNya bermanfaat mengenyangkan dan menyehatkan tubuh manusia. Zam-zam adalah saksi bisu sejarah kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, sebagaimana Dia pun mengabadikan kisahnya di banyak firmanNya dalam Al-Quranul Karim. Sekaligus sebagai bukti tak terbantahkan kebenaran setiap petunjukNya bagi orang-orang yang berpikir.
0 komentar:
Posting Komentar