Mencermati Kondisi Batin: Ketika Kita Sedang dalam Kondisi Normal
*) Orang yang serba berkecukupan
seringkali sulit beribadah secara khusyuk dan merasa tidak akrab dengan
Tuhannya, meskipun melakukan berbagai ketaatan dan ibadah, kenapa?
*) Bagaimana dan apa kiatnya untuk memperoleh kedekatan diri dengan Tuhan dalam keadaan seperti ini?
Kondisi batin yang paling perlu diwaspadai ialah ketika kita sedang dalam keadaan normal. Ketika semua kebutuhan tercukupi apalagi berlebihan. Musibah, hajat, dosa besar, dan berbagai kesulitan dan kekecewaan hidup lainnya lebih sering mendorong seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT ketimbang kondisi batin yang sedang berkecukupan, baik dari segi kuantitatif maupun segi kualitatif. Tingkat kebutuhan hidup setiap orang berbeda-beda satau sama lain.
Namun wacana di dalam Islam dibedakan atas
beberapa tingkatan kebutuhan, yaitu:
1) Kebutuhan dharury, yakni kebutuhan pokok atau basic needs seperti kebutuhan akan makan, minum, dan berhubungan suami-isteri.
2) Kebutuhan hajjiyat, yakni kebutuhan
yang penting tetapi belum menjadi kebutuhan pokok, seperti kebutuhan
akan sebuah tempat tinggal, kedaraan, dan alat komunikasi.
3) Kebutuhan tahsiniyyat, yakni kebutuhan
yang bersifat pelengkap (luxury), seperti perabotan yang bermerek,
aksessoris kendaraan, dan handphone yang lebih canggih. Seseorang yang berada dalam tingkat kedua
dan ketiga perlu berhati-hati karena perjalanan spiritual dalam kondisi
seperti ini seringkali jalan di tempat. Bahkan berpeluang untuk diajak
turun oleh berbagai daya tarik dan godaan dunia. Berbeda jika seseorang sedang dirundung
duka, sedang diuji dengan kebutuhan mendesak, atau sedang dilanda
penyesalan dosa yang mungkin agak resisten terhadap godaan-godaan yang
bersifat materi. Kesenangan hidup, apalagi kalau sampai
berlebihan, bawaannya sulit mendaki (taraqqi) ke langit. Sebagai contoh,
orang yang berkecukupan sulit sekali berlama-lama khusyuk dalam
shalatnya, bukan hanya karena banyaknya godaan dunia yang ada dalam
pikirannya, tetapi juga tidak punya tekanan batin atau trigger, semacam
roket pendorong yang akan mengangkatnya ke langit. Trigger itu biasanya suasana batin yang
betul-betul merasa sangat butuh pertolongan Tuhan. Seperti orang yang
merasakan kesulitan yang sesegera mungkin harus mengeluarkan diri dari
kesulitan itu. Itulah sebabnya Rasulullah pernah
mengingatkan untuk waspada terhadap doa orang yang teraniaya (madhlum)
karena doanya lebih cepat sampai kepada Tuhan. Memang dalam Islam
dikenal ada dua sayap efektif yang bisa menerbangkan seseorang menuju
Tuhan, yaitu sayap sabar dan sayap syukur.
Sayap sabar terbentuk dari ketabahan
seseorang menerima cobaan berat dari Tuhan seperti musibah, penyakit
kronis, penderitaan panjang, dan kekecewaan hidup. Jika sabar menjalani
cobaan itu, maka dengan sendirinya terbentuk sayap-sayap yang akan
mengangkat martabat dirinya di mata Tuhan.
Sayap kedua ialah syukur. Sayap syukur
terbentuk dari kemampuan seseorang untuk secara telaten mensyukuri
berbagai karunia dan nikmat Tuhan, seperti seseorang mendapatkan rezki
melimpah, jabatan penting, dan kesehatan prima.
Sayap sabar dan sayap syukur sama-sama
bisa mengorbitkan seseorang mendekati Tuhan tetapi pada umumnya hentakan
sayap sabar lebih kencang ketimbang sayap syukur. Sayap sabar
seolah-olah memiliki energi ekstra yang bisa melejitkan seseorang.
Energi ekstra itu tidak lain adalah rasa butuh yang amat sangat terhadap
Tuhan (raja’), penyerahan diri secara total kepada Tuhan (tawakkal),
dan olah batin yang amat dalam (mujahadah).
Ketiga energi ekstra ini biasanya sulit
terwujud di dalam diri orang yang berkecukupan. Bagaimana mungkin
seseorang merasa butuh terhadap Tuhan sementara semua kebutuhan hidup
serba berkecukupan. Bagaimana mungkin seseorang menyerahkan
diri sepenuhnya kepada Tuhan sementara ia terperangkap di dalam dunia
popularitas. Bagaimana mungkin melakukan olah batin sementara nuraninya
diselimuti kilauan dunia. Bagaimana mungkin khusyuk beribadah sementara
perutnya kekenyangan.
Orang yang hidupnya selalu berkecukupan
dan enjoy dengan kehidupan seperti itu adalah sah-sah saja. Akan tetapi
jika ia lupa bahwa kehidupan ini adalah sementara lantas lalai
mempersiapkan bekal kehidupan akhirat maka pertanda hidup itu tidak
berkah baginya. Mungkin saja orang itu sesungguhnya hidup di dalam
kebahagiaan semu, selalu dibayangi oleh suasana batin yang hambar,
kering, dan membosankan. Di dalam Islam, kekayaan dan kebahagiaan
yang hakiki ialah kekayaan dan kebahagiaan jiwa (al-gina ginan nafs).
Tanpa kekayaan dan kebahagiaan jiwa maka sesungguhnya tidak ada kekayaan
dan kebahagiaan sejati. Islam tidak melarang orang untuk
mengumpulkan kekayaan materi, bahkan Islam mengharuskan orang untuk
bekerja produktif tetapi tetap efisien dan efektif.
“Dunia adalah cermin akhirat”, demikian
kata Hadis. Sulit membayangkan akhirat yang baik tanpa dunia yang
sukses. Ibadah mahdlah seperti shalat, zakat, haji, bahkan puasa, pun
membutuhkan cost. Semuanya perlu biaya dan biaya itu urusan dunia.
Kiat mengatasi suasana batin yang berada
dalam kondisi normal ialah memperkuat semangat raja’ dan mujahadah di
dalam diri. Seseorang perlu sesekali mengecoh kehidupan dunianya dengan
melakukan halwat atau takhannus seperti yang pernah dilakukan Rasulullah
di Goa Hira, ketika ia sedang hidup berkecukupan di samping isterinya
Khadijah yang kaya, bangsawan dan serba berkecukupan. Untuk kehidupan kita sekarang ini,
mungkin tidak perlu mencari goa yang terpencil atau jauh-jauh
meninggalkan kediaman dan keluarga. Yang paling penting ada suasana
’uzlah (pemisahan diri) sementara dari suasana hiruk pikuknya pikiran ke
sebuah tempat yang sejuk dan nyaman. Bisa saja dengan melakukan i’tikaf
di salah satu masjid, apalagi di dalam bulan suci Ramadlan. Di dalam masjid kita berniat untuk
beri’tikaf karena Allah. Di sanalah kita mengecoh pikiran dan tradisi
keseharian kita dengan membaca Al-Qur’an lebih banyak, shalat, tafakkur
dan berzikir. Niatkan bahwa masjid ini adalah goa Hira atau goa Kahfi,
yang pernah mengorbitkan kekasih-kekasih Tuhan, Nabi Muhammad dan Nabi
Khidhir, melejit ke atas dan mendapatkan pencerahan.
Jika suasana batin dibiarkan berlalu
menghabisi dan menyita sepanjang hidup kita, tanpa pernah diselingi
dengan rasa faqir (miskin di mata Tuhan), apa lagi karena deposito dan
kekayaan yang begitu melimpah sampai bisa diwarisi tujuh generasi,
dikhawatirkan yang bersangkutan akan melahirkan generasi lemah (dha’f)
di mata Allah. Bahkan tidak mustahil akan membebani kita di akhirat
kelak. Milik kita di akhirat hanya yang pernah
dibelanjakan di jalan Allah. Selebihnya berpotensi menyusahkan kehidupan
jangka panjang kita di alam barzah dan di alam baqa di akhirat. Bersihkanlah harta kita dengan zakat dan
shadaqah, luruskanlah pikiran kita dengan zikrullah, dan lembutkanlah
jiwa kita tafakkur dan tadzakkur, tangguhkanlah pendirian kita di atas
rel shirathal mustaqim. Dengan demikian, semoga kita mendapatkan seruan
Ilahi: La tahzan innallaha ma’ana (Jangan khawatir, Allah bersama
kita), Amin.
by
Sumber:Republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar