Membaca judul di atas, kemungkinan di antara pembaca menyangka
tulisan ini akan berbicara seputar bisnis yang akan dikaitkan dengan
shalat. Mungkin pula ada yang beranggapan, tulisan ini akan mengarah
kepada perilaku shalat yang dihubungkan dengan bisnis. Sebelum
menebak-nebak isi tulisan ini, Saya akan memberikan sebuah analogi atau
simulasi sederhana.
Seorang pedagang kelontong, misalnya, ketika ia berdagang tentunya ia
mengharapkan untung. Bila ia bermodalkan Rp10 juta untuk semua
usahanya, kemungkinan ia akan mengharapkan untungnya berkisar antara Rp1
juta s.d. Rp5 juta. Apabila uang yang kembali hanya Rp10 juta, berarti
hanya kembali modal saja. Tidak ada untungnya. Apakah akan memuaskan
pedagang tadi? Andaikata Anda berada di posisi pedagang, kemungkinan
Anda merugi. Tidak ada untung yang dicapai, bahkan yang ada hanya
‘capek’.
Analogi di atas akan Saya pakai dalam praktek shalat. Dalam beribadah
kita sering mengharap pahala. Itu pasti. Menjalankan perintah Allah,
itu sebuah kewajiban, dan berbuah pahala besar. Hanya pertanyaannya,
apakah cukup hanya dengan menjalankan kewajiban semata? Bahkan tidak
sedikit di antara umat Islam yang mendirikan shalat hanya sekedar
menggugurkan kewajiban? Inilah yang akan menjadi poin penting pembahasan
tulisan ini.
Shalat Fardlu seperti Shubuh, Zhuhur, ‘Ashar, Magrib, dan ‘Isya; itu
merupakan kewajiban. Dijalankan, ya memang wajib. Ditinggalkan, ya akan
berdosa. Intinya, bila dalam urusan bisnis, shalat fardlu merupakan
modal. Jadi, jika kita hanya mendirikan shalat fardlu semata, kita hanya
memperoleh pahala ‘modal’. Kenapa disebut modal, karena kita hanya
memperoleh pahala dari ibadah yang memang wajib. Ingat dengan urusan
bisnis, kapital (SDA, finansial, SDM) itu penting. Tanpa kapital, sebuah
usaha bisnis kemungkinan tidak akan berjalan. Bila dalam usaha bisnis
hanya kembali modal saja, berarti tidak ada untungnya.
“Lantas, apa di mana untungnya?”, Anda pasti bertanya demikian.
Shalat sunnat adalah untungnya. “Lha, kok bisa? Wajib kan lebih penting.
Sunnah kan hanya anjuran!” salah seorang di antara Anda mungkin ada
yang berkilah demikian.
Shalat wajib memang lebih utama, tapi itu memang kewajiban. Mau tidak
mau, ya harus dijalankan. Tidak boleh ditinggalkan. Namun, di saat
mendirikan ibadah wajib, Rasulullah Saw pun menganjurkan kita mengikuti
sunnahnya. Dan, sunnah itulah merupakan keuntungan atau nilai plus-nya.
Ibarat Anda berbisnis, Anda pun tidak hanya mendapatkan ‘balik modal’
dari ibadah wajib, tapi Anda akan mendapatkan untung, atau istilah
lainnya ialah nilai ‘plus’.
Tulisan ini memang tidak terlalu sarat dengan referensi jelas, namun
Saya berusaha merasionalisasikan perilaku shalat, agar setiap kita
merasa termotivasi dengan apa yang kita lakukan. Saya melihat sebagian
di antara kita masih ada yang ‘mendirikan’ shalat sekedar
‘melaksanakan’. Ingat, ‘melaksanakan’ dan ‘mendirikan’ itu berbeda.
Dalam Alquran, perintah shalat menggunakan kata ‘iqamah’ yang berarti
mendirikan, sedangkan perintah zakat Menggunakan kata ‘ataa-atuu-utia”
yang berarti menunaikan. Kenapa harus ada mendirikan dan menunaikan?
Nanti Saja kita bahas di forums selanjutnya.
Kembali ke poin tulisan ini. Mengakhiri tulisan ini, shalat memang
ritual spiritual belaka yang ditujukan kepada Allah Ta’ala. Tulisan ini
pada dasarnya ditujukan bagi masyarakat perkotaan yang haus dan skeptis
terhadap perilaku ritual, namun tidak menutup kemungkinan bila tulisan
ini bisa diterima halayak lainnya. Maka dari itu, Saya ingin memberikan
motivasi dan kesadaran betapa pentingnya ibadah sunnah, tanpa
mengenyampingkan ibadah wajib. Dengan menjalankan ibadah sunnah,
tentunya kita tidak akan menapikan ibadahn wajib. Ibadah wajib dan
sunnah ini tidak sebatas dalam shalat, namun bagi lingkup ibadah-ibadah
lainnya.
Semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah dan ‘inayah-Nya kepada kita untuk senantiasa menegakkan wajib dan menghidupkan sunnah. Mohon maaf bila ada yang tidak sepakat dengan tulisan ini.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
0 komentar:
Posting Komentar