Berlaku Zhalim Kepada Manusia Secara Etika, Seperti
Ghibah dan Mencerca
Tadi kita berbicara tentang taubat dari pelanggaran atas
hak-hak harta orang lain. Kemudian bagaimana kita bertaubat
dari hak-hak maknawi dan etis mereka. Seperti melakukan
penghinaan terhadapnya dengan ghibah, qadzaf (menuduh zina),
mengecam, mencela, menghinanya atau tindakan lainnya. Apakah
taubat dalam dosa seperti ini disyaratkan agar
memberitahukan orang yang ia zalimi itu, atau ia meminta
maaf dan ampunan darinya?. Ataukah juga ia memberitahukannya
bahwa ia telah berbuat zalim kepadanya, namun tidak
disyaratkan menyebutkan secara detail kezhalimannya itu?.
Ataukah kedua hal tadi tidak disyaratkan untuk mencapai
taubat dalam dosa seperti ini, namun cukup ia bertaubat
kepada Allah SWT tanpa memberitahukan dan tanpa meminta maaf
kepada orang yang ia tuduh dan ia kecam itu?
Dalam hal ini ada tiga pendapat:
Dari imam Ahmad ada dua riwayat pendapatnya dalam masalah
hukum qadzaf. Apakah orang yang menuduh zina (qadzif) itu
ketika bertaubat disyaratkan melakukan hal ini:
memberitahukan tindakannya kepada orang yang ia tuduhkan,
dan kemudian meminta maaf dari perbuatannya itu atau tidak?
Dan nantinya disimpulkan pula dari kedua hal itu tentang
cara taubat orang yang berghibah dan mencela
Dalam mazhab Syafi'i, Abi Hanifah dan Malik, disyaratkan
untuk memberitahukan detail kezhalimannya dan meminta maaf
atas perbuatannya itu. Seperti disebutkan oleh
sahabat-shahabat mereka dalam kitab-kitab mereka.
Orang yang mensyaratkan pemberitahuan dan meminta maaf
itu berdalil: karena dosa itu adalah hak manusia, maka hak
itu tidak hilang kecuali dengan meminta maaf dari dosa
tertentu itu dan meminta dibebaskan darinya.
Kemudian kelompok ulama yang tidak menganggap sah
pembersihan diri tanpa menjelaskan detail kesalahannya itu,
mensyaratkan agar ia memberitahukan masalahnya secara jelas.
Seperti ia berkata: aku telah mengecam dan mencela dirimu,
aku telah mengejekmu, atau juga aku telah berghibah dan
menyebut keburukanmu. Terutama jika orang yang melanggar hak
orang lain itu mengetahui kadar haknya, maka ia harus
memberitahukan orang yang ia zhalimi itu kadar haknya itu.
Karena orang itu mungkin tidak akan memaafkanya jika ia tahu
kadar kejahatan yang telah dilakukan orang itu terhadapnya.
Dan ia berkata kepadanya: aku telah berlaku zalim kepadamu
dan aku telah mengghibah dirimu selama sepuluh tahun. Ia
mungkin dapat memaafkannya atas ghibahnya sekali atau
beberapa kali, namun ia tidak dapat memaafkannya jika ia
mengghibahnya sampai bertahun-tahun.
Mereka berdalil atas pendapat itu dengan sabda Rasulullah
Saw : "Barangsiapa yang telah melakukan kezaliman kepada
suadaranya, baik harta maupun harga diri, maka pada hari ini
hendaklah ia meminta dibebaskan, sebelum datang hari tidak
berguna padanya dinar dan dirham, kecuali kebaikan dengan
keburukan".
Mereka berkata: karena dalam suatu dosa ada dua hak: hak
Allah SWT dan hak manusia. Maka taubat dari dosa itu adalah
dengan meminta maaf kepada manusia karena hak orang itu
atasnya; dan dengan menyesali perbuatan itu untuk menghapus
dosa di hadapan Allah SWT, karena hak Allah SWT atasnya.
Mereka berkata: oleh karena itu, dosa orang yang membunuh
tidak dapat sempurna kecuali dengan memberikan dirinya
kepada wali korbannya; jika mereka mau, mereka dapat
mengqishashnya; dan jika tidak, mereka dapat memaafkannya.
Demikian juga taubat perampok.
Pendapat yang lain mengatakan: tidak disyaratkan dalam
taubat itu memberitahukan kejahatan apa yang telah ia
lakukan kepadanya, apakah itu tentang kehormatan diri,
mengqazafnya atau mengghibahnya. Namun ia cukup bertaubat
kepada Allah SWT, kemudian menyebutkan orang yang pernah ia
ghibahkan atau ia qadzaf dengan kebalikan ghibah dan qadzaf
itu, sehingga ghibahnya berganti dengan pujian, dan
menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Dari qadzaf berganti
menjadi menyebut kebersihan dirinya, dan menjaga kehormatan
dirinya, serta ia memintakan istighfar baginya sesuai dengan
kadar ghibahnya atasnya.
Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiah.
Orang yang berpendapat dengan pendapat ini berdalil bahwa
dengan memberitahukannya hanya akan membawa kemafsadatan
yang lebih besar, dan tidak pula menjamin akan tercapai
kemaslahatan, karena hal itu hanya akan menambah kesal dan
sakit hati saja. Barangkali orang itu berada dalam
ketentraman sebelum mendengar itu, namun ketika ia
mendengarnya, justru ia menjadi gelisah dan marah hingga
tidak mampu menahannya, dan akhirnya membuat bahaya bagi
diri dan tubuhnya.
Jika demikian, maka syari'ah tidak membenarkannya,
apalagi sampai mewajibkan dan memerintahkannya.
Mereka berkata:
Dapat juga keterusterangannya itu akan menjadi pangkal
permusuhan antara dia dengan orang yang membeberkan
kesalahannya itu, dan ia tidak akan ridha terhadapnya
selama-lamanya. Dari tahunya itu akan melahirkan permusuhan
dan kemarahan yang mengakibatkana kejahatan yang lebih besar
dari kejahatan ghibah dan qadzaf. Ini tentu bertentangan
dengan tujuan syari'ah untuk menyatukan hati dan saling
kasih- sayang antara mereka.
Mereka berkata: perbedaan antara hak itu dengan hak-hak
harta dan hak atas tubuh ada dua segi:
Pertama: ia dapat mengambil manfaat darinya jika
dikembalikan kepadanya, oleh karena itu tidak boleh
disembunyikan darinya, karena itu adalah haknya, dan harus
diberikan kepdanya. Berbeda dengan ghibah dan qadzaf, dalam
hal ini tidak ada yang dapat memberikan manfaat baginya,
malah akan membuatnya sulit dan sakit hati saja. Dan jika di
antara keduanya dilakukan qiyas, itu adalah qiyas yang
paling buruk.
Kedua: karena tentang harta itu, jika ia
memberitahukan orang yang berhak itu, maka itu tidak
membuatnya teraniaya, serta tidak pula menimbulkan marah dan
sakit hati, malah itu dapat membuatnya gembira dan senang.
Berbeda halnya jika ia memberitahukannya apa yang merobek
harga dirinya sepanjang usinya, siang dan malam, seperti
qadzaf, ghibah dan celaan. Maka mengukur masalah terakhir
ini dengan yang pertama adalah tidak benar. Ini adalah
pendapat yang benar dari dua pendapat.
Wallahu a'lam.
(Madarij Salikin: 1/289, 291).
0 komentar:
Posting Komentar