Jumat, 23 November 2012

Seputar Riba

Permasalahan Seputar Riba

Sebagai kelanjutan rubrik ini memaparkan sejumlah permasalahan yang berkaitan dengan riba dalam bentuk tanya jawab dengan para ulama. Semoga bermanfaat!


Masalah 1: Hukum Menyimpan Uang di Bank
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (13/345):
“Menyimpan uang di bank dan semisalnya dengan permintaan atau tempo tertentu untuk mendapatkan bunga sebagai kompensasi dari uang yang dia tabung adalah haram.
(Demikian juga) menyimpan uang tanpa bunga di bank-bank yang bermuamalah dengan riba adalah haram, sebab ada unsur membantu bank tersebut bermuamalah dengan riba dan menguatkan mereka untuk memperluas jaringan riba. Kecuali bila sangat terpaksa karena khawatir hilang atau dicuri, sementara tidak ada cara lain kecuali disimpan di bank riba. Bisa jadi dia mendapatkan rukhshah (keringanan) dalam kondisi seperti ini karena darurat…”
Jawaban senada juga disampaikan secara khusus oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t. Lihat Fatawa Ibn Baz (2/194) dan Fatawa Buyu’ (hal. 127). Periksa pula Fatawa Al-Lajnah (13/346-347, dan 13/376-377).

Masalah 2: Apakah Bunga Bank termasuk Riba?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (13/396-397):
“Riba dengan kedua jenisnya: fadhl dan nasi`ah, adalah haram berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, dan ijma’. Allah l berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)
Allah l berfirman pula:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Allah l berfirman juga:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.” (Al-Baqarah: 278-279)
Disebutkan dalam hadits yang shahih bahwa Nabi n melaknat pemakan riba, yang memberi riba, penulis, dan kedua saksinya. Sabda beliau n:
هُمْ سَوَاءٌ
“Mereka semua sama.”
Dengan demikian diketahui bahwa bunga yang diberikan kepada nasabah berupa persentase dari uang pokoknya, baik itu per pekan, bulanan atau tahunan, semuanya termasuk riba haram yang terlarang secara syar’i, baik persentase ini berfluktuatif maupun tidak (suku bunga flat)….”
Al-Lajnah Ad-Da`imah juga pernah ditanya: “Apa hukum penambahan nominal yang diambil oleh bank?”
Mereka menjawab (13/349): “Faedah (bunga) yang diambil bank dari nasabah dan bunga yang diberikan bank kepada nasabah adalah riba yang telah tetap (pasti) keharamannya berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, dan ijma’.”

Masalah 3: Bolehkah Mengambil Bunga Bank?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (13/354-355):
“Bunga harta yang riba adalah haram. Allah l berfirman:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Wajib atas pihak yang di tangannya ada sesuatu dari bunga tersebut untuk berlepas diri darinya, dengan cara menginfakkannya untuk hal yang bermanfaat bagi kaum muslimin. Di antaranya adalah membangun jalan, membangun sekolah, dan memberikannya kepada faqir miskin. Adapun masjid, tidak boleh dibangun dari harta riba. Dan tidak diperbolehkan bagi seorangpun untuk mengambil bunga bank, tidak pula terus-menerus mengambilnya….”
Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t mempunyai fatwa yang panjang tentang masalah ini. Kita nukilkan di sini karena hal ini sangat penting.
Beliau ditanya: “Ada seorang pemuda yang tengah studi di Amerika. Dia terpaksa menyimpan uangnya di bank riba. Konsekuensinya, pihak bank memberinya bunga. Apakah boleh baginya mengambil dan memanfaatkannya untuk hal-hal yang baik? Sebab bila tidak diambil akan dimanfaatkan oleh pihak bank.”
Beliau menjawab:
“Pertama, tidak dibolehkan bagi seseorang untuk menyimpan uangnya di bank-bank tersebut, karena pihak bank otomatis akan mengambil dan memanfaatkan uang itu untuk usaha. Perkara yang telah dimaklumi, kita tidak diperkenankan memberi wewenang kepada pihak kafir atas harta kita, yang mana mereka akan menjadikannya sebagai (modal) usaha. Namun bila kondisinya darurat, khawatir hartanya dicuri atau dirampas, bahkan berisiko hilangnya nyawa demi mempertahankannya, maka tidak mengapa dia menyimpan uangnya di bank-bank tersebut karena darurat.
Namun, bila dia menyimpannya (di bank itu) karena darurat, tidak boleh mengambil apapun sebagai ganti. Haram atasnya untuk mengambil sesuatu (faedah). Bila dia mengambilnya maka itu adalah riba. Bila itu adalah riba, maka Allah l telah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
 
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok harta kalian; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279)

Ayat di atas secara tegas dan jelas menunjukkan bahwa kita tidak boleh mengambil sesuatupun darinya.
Pada hari Arafah, Nabi n berkhutbah di depan massa yang besar dari kalangan kaum muslimin. Beliau n bersabda:

أَلاَ إِنَّ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوْعٌ
 
“Ketahuilah, bahwa riba jahiliyyah disirnakan.”
Riba yang telah sempurna transaksinya sebelum Islam, telah disirnakan oleh Nabi n. (Beliau juga bersabda):

وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ مِنْ رِبَانَا رِبَا الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطلبِ فَإِنَّهُ مَوُضُوعٌ كُلُّهُ

 
“Dan riba yang pertama kali aku sirnakan dari riba-riba kita adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muthalib. Semuanya disirnakan.”
Bila anda mengatakan: “Bila uang (bunga) itu tidak diambil, mereka (orang kafir) akan mengambil dan menyalurkan nya ke gereja-gereja serta membiayai perang untuk memusnahkan kaum muslimin.”
Jawabannya: Sesungguhnya bila saya melaksanakan perintah Allah l dengan meninggalkan riba, maka apa pun yang terjadi dari situ tanpa sepengetahuan saya. Saya (hanya) dituntut dan diperintahkan untuk melaksanakan perintah Allah l. Bila menimbulkan beberapa mafsadah, maka itu di luar kuasa saya. Saya memiliki perkara yang telah ditentukan dari Allah, yaitu:

اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا

 
“Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut).” (Al-Baqarah: 278)
Kedua, kami katakan: Apakah bunga yang mereka berikan kepada saya termasuk uang saya?
Jawabannya: Itu bukan uang saya. Sebab boleh jadi mereka mengembangkan uang tersebut dalam sebuah usaha lalu merugi. Maka bisa dipastikan bahwa bunga yang mereka berikan kepada saya bukanlah pengembangan dari uang saya.
Bisa pula mereka meraup keuntungan yang berlipat, namun mungkin pula tidak meraup keuntungan apa pun dari uang saya. Sehingga tidak bisa dikatakan: “Bila saya kuasakan sebagian uang saya kepada mereka maka mereka akan menyalurkannya ke gereja-gereja atau membeli persenjataan untuk memerangi kaum muslimin.”
Ketiga, kita katakan: Mengambil bunga berarti terjatuh kepada apa yang diakui sebagai riba. Orang tersebut akan mengaku di hadapan Allah l nanti pada hari kiamat bahwa itu adalah riba. Jika (sudah jelas) riba, maka mungkinkah seseorang beralasan bahwa itu untuk kemaslahatan, padahal dia meyakini bahwa itu adalah riba? Jawabnya: Tidak mungkin, sebab tidak ada qiyas bila dihadapkan kepada nash (dalil).
Keempat, apakah dapat dipastikan mereka menyalurkan uang tersebut kepada apa yang anda sebutkan, yaitu untuk kemaslahatan gereja atau untuk perlengkapan perang melawan kaum muslimin? Jawabnya: Tidak dapat dipastikan.
Bila demikian, kalau kita mengambil bunga tersebut, maka kita telah terjatuh pada larangan yang pasti untuk menghindar dari mafsadah yang belum pasti. Akalpun  akan menolak hal ini, yakni seseorang melakukan mafsadah yang sudah pasti untuk menyingkirkan mafsadah yang belum pasti, yang mungkin terjadi dan mungkin pula tidak.
Sebab, boleh jadi pihak bank mengambilnya untuk kemaslahatan pribadi. Mungkin pula pihak karyawan bank yang mengambilnya untuk kemaslahatan mereka pribadi. Dan tidak dapat dipastikan bahwa uang tersebut disalurkan ke gereja-gereja atau untuk membiayai perang melawan kaum muslimin.
Kelima, sesungguhnya bila anda mengambil apa yang disebut sebagai ‘bunga’ dengan niat menginfakkan dan mengeluarkannya dari hak milik anda, sebagai upaya untuk lepas darinya, maka sama saja anda melumuri diri anda dengan kotoran untuk diupayakan cara menyucikannya. Ini tidaklah masuk akal.
Justru kita katakan: Jauhilah kotoran tersebut terlebih dahulu sebelum anda terlumuri dengannya. Kemudian setelah itu upayakan cara menyucikannya.
Apakah masuk akal, seseorang berupaya agar pakaiannya terkena kencing dengan maksud membersihkannya bila telah terkena? Ini tidak masuk akal, selamanya, sepanjang anda meyakini bahwa bunga itu adalah riba, kemudian anda berupaya mengambil, mensedekahkan, dan berupaya melepaskan diri darinya.
Justru kita katakan: Jangan anda ambil bunga tersebut sama sekali dan bersihkan diri anda darinya!
Keenam, kita katakan: Jika seseorang mengambilnya dengan niat tersebut, apakah dia merasa yakin dapat mengalahkan hasrat jiwanya, berlepas diri darinya dengan menyalurkannya untuk sedekah dan kemaslahatan umum?
Sekali-kali tidak. Boleh jadi pada awalnya dia mengambil dengan niat tersebut, namun hatinya mengingatkan dan membisiki agar pikir-pikir dulu. Apalagi bila dia mendapati nominalnya ternyata sangat besar, 1 juta atau 100 ribu real, misalnya.
Maka awalnya dia punya azam (keinginan kuat), lalu menjadi berpikir-pikir,  setelah itu pindahlah ke kantong pribadi.
Seseorang tidak boleh merasa aman dari bisikan dirinya. Terkadang dia ambil dengan niat tersebut, namun azam-nya luntur tatkala melihat nominal uang yang sangat banyak. Dia pun berubah menjadi kikir dan akhirnya tidak mampu mengeluarkannya (sebagai sedekah).
Pernah diceritakan kepada saya, ada seseorang yang terkenal bakhil. Suatu hari dia naik ke loteng rumahnya dan meletakkan jarinya di telinganya seraya berteriak memanggil para tetangganya: “Selamatkan saya! Selamatkan saya!” Tetangganya pun tersentak kaget. Mereka berdatangan dan bertanya: “Ada apa denganmu, wahai Abu Fulan?” Diapun berkata: “Saya tadi telah memisahkan harta saya untuk saya keluarkan zakatnya. Namun saya dapati uang zakat tersebut sangat banyak. Hati kecil saya berkata: ‘Bila orang lain yang mengambilnya, maka hartamu akan berkurang.’ Maka tolonglah saya darinya.”
Ketujuh, sesungguhnya mengambil riba adalah tindakan tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang dicela Allah l dalam firman-Nya:

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللهِ كَثِيرًا. وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
 
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (An-Nisa`: 160-161)
Kedelapan, mengambil riba tersebut mengandung kemudaratan dan celaan terhadap kaum muslimin. Sebab ulama Yahudi dan Nasrani tahu bahwa Islam mengharamkan riba. Bila seorang muslim mengambilnya, mereka akan berkata: “Lihatlah kaum muslimin! Kitab suci mereka mengharamkan riba, namun mereka tetap mengambilnya dari kita.”
Tidak syak lagi, ini adalah titik lemah kaum muslimin. Bila musuh-musuh mengetahui bahwa kaum muslimin menyelisihi agamanya, maka mereka mengetahui dengan yakin bahwa ini adalah titik kelemahan. Karena kemaksiatan tidak hanya berdampak kepada pelakunya, tetapi juga kepada Islam secara keseluruhan.

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً
 
“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksa-Nya.” (Al-Anfal: 25)
Perhatikanlah! Para shahabat g adalah hizbullah dan pasukan-Nya, dan mereka bersama dengan sebaik-baik manusia, Nabi n, pada perang Uhud. Ada satu kemaksiatan yang terjadi pada mereka, lalu apa yang terjadi? Kekalahan setelah kemenangan. Allah l berfirman:

حَتَّى إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الْأَمْرِ وَعَصَيْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا أَرَاكُمْ مَا تُحِبُّونَ
 
“Sampai pada saat kalian lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepada kalian apa yang kalian sukai.” (Ali ‘Imran: 152)
Kemaksiatan memiliki pengaruh besar terhadap keterbelakangan kaum muslimin, penguasaan musuh terhadap mereka, dan kekalahan di hadapan musuh-musuh mereka. Bila sebuah kemenangan yang ada di depan mata dapat hilang karena sebuah kemaksiatan, bagaimana kiranya dengan sebuah kemenangan yang belum terwujud?
Musuh-musuh Islam sangat bergembira bila kaum muslimin mengambil riba, walaupun di sisi lain mereka tidak menyukainya. Namun mereka bergembira, sebab kaum muslimin terjatuh dalam kemaksiatan, sehingga akan terkalahkan.
Maka, satu dari delapan mafsadah yang dapat saya singgung di sini sudah cukup untuk melarang mengambil bunga bank. Dan saya kira, bila seseorang mencermati dan mengamati masalah ini dengan seksama, dia akan mendapati bahwa pendapat yang benar adalah tidak boleh mengambilnya.
Inilah pendapat dan fatwa saya. Bila benar maka datangnya dari Allah l yang telah menganugerahkannya dan segala puji untuk-Nya. Namun bila salah maka itu dari pribadi saya. Tetapi saya mengharap bahwa pendapat tersebut benar, berdasarkan dalil-dalil sam’i (Al-Kitab dan As-Sunnah) dan hikmah-hikmah yang telah saya uraikan.” (Fatawa Asy-Syaikh Ibn ‘Utsaimin, 2/709-713, dinukil dari Fatawa Buyu’ hal. 120-124)
Beliau juga mempunyai fatwa senada dalam Liqa`at Babil Maftuh (2/138-141) pada liqa` yang ke-27. Wallahul muwaffiq.

Masalah 4: Bolehkah membayar bunga yang diminta pihak bank dengan bunga yang diberikan pihak bank kepada kita? Misalnya, meminjam uang di bank dengan bunga 5% per bulan, lalu dibayar dengan bunga dari uang yang disimpan di bank.
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab kasus di atas (13/360-361):
“Engkau menyimpan uang di bank dengan mengambil bunganya adalah haram. Dan engkau meminjam uang di bank dengan bunga juga haram. Maka tidak diperbolehkan bagimu untuk membayar bunga pinjaman yang diminta pihak bank dengan bunga yang diberikan pihak bank kepadamu karena tabunganmu.
Tetapi, yang wajib bagimu adalah berlepas diri dari bunga yang telah engkau terima dengan menginfakkannya dalam perkara-perkara kebaikan, untuk fakir miskin, memperbaiki fasilitas umum dan semisalnya. Dan engkau wajib bertaubat dan beristighfar serta menjauhi muamalah riba, karena hal itu termasuk dosa besar.”

Masalah 5: Bolehkah mengambil bunga bank untuk membayar pajak?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (13/367):
“Tidak diperbolehkan bagimu menyimpan uang di bank dengan faedah (bunga), untuk membayar pajak yang dibebankan kepadamu dari bunga tersebut, berdasarkan keumuman dalil tentang haramnya riba.”

Masalah 6: Hukum transfer uang via bank.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t menjawab:
“Bila sangat diperlukan transfer via bank-bank riba, maka tidak mengapa insya Allah, dengan dasar firman Allah l:

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
 
“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang diharamkan-Nya atas kalian, kecuali apa yang terpaksa kalian memakannya.” (Al-An’am: 119)
Tidak syak lagi bahwa transfer via bank termasuk kebutuhan primer masa kini secara umum….” (Fatawa Ibn Baz, 1/148-150, lihat Fatawa Buyu’ hal. 138-139)

Masalah 7: Hukum muamalah dengan cabang-cabang bank yang tidak mengandung riba, sementara kantor pusatnya adalah bank riba.
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (13/374-375)
“Tidak mengapa bila bermuamalah dengan bank atau cabangnya, bila muamalahnya tidak ada unsur riba. Sebab Allah l menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Juga karena hukum asal muamalah adalah halal, dengan bank ataupun yang lainnya, selama tidak mengandung perkara yang haram….”

Masalah 8: Hukum bekerja di bank.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t menjawab:
“…Tidak diperbolehkan bekerja di bank seperti ini (bank riba), sebab termasuk ta’awun di atas dosa dan permusuhan. Allah l berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
 
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Ma`idah: 2)
Disebutkan dalam Ash-Shahih dari Jabir bin Abdillah z, dari Nabi n, bahwa beliau:

لَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكاَتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
 
“Melaknat pelaku riba, yang memberi riba, penulis dan kedua saksinya. Beliau berkata: ‘Mereka semua sama’.”
Adapun gaji yang telah anda terima, maka itu halal bagimu bila anda tidak tahu hukumnya secara syar’i, dengan dasar firman Allah l:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ. يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
 
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 275-276)
Adapun bila engkau tahu bahwa pekerjaan tersebut tidak diperbolehkan, maka wajib bagimu untuk menyalurkan gaji yang telah engkau terima untuk kepentingan-kepentingan kebaikan dan menyantuni fakir miskin, disertai dengan taubat kepada Allah l.
Barangsiapa bertaubat kepada Allah l dengan taubat nasuha niscaya Allah l menerima taubatnya dan mengampuni kesalahannya. Allah l berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
 
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (At-Tahrim: 8)
Allah l berfirman pula:

وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
 
“Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.” (An-Nur: 31) [Fatawa Ibn Baz, 2/195-196]
Fatwa senada juga disampaikan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t, sebagaimana dalam Fatawa Buyu’ (hal 128-132), juga Fatawa Al-Lajnah (13/344-345).
 
Masalah 9: Berbisnis dengan modal uang haram.
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (13/41-42):

“Yang pertama: Allah l mensyariatkan muamalah di kalangan kaum muslimin dengan akad-akad yang mubah, seperti akad jual-beli, sewa-menyewa, salam, syarikah, dan semisalnya, yang mengandung kemaslahatan hamba.

Kedua: Allah l mengharamkan sebagian akad karena mengandung unsur kemudaratan, seperti akad riba, asuransi bisnis, dan sebagian jual-beli barang haram seperti jual beli alat musik, menjual khamr, ganja dan rokok, karena mengandung beraneka macam kemudaratan.
Sehingga, setiap muslim wajib menempuh cara-cara mubah dalam mencari ma’isyah (penghidupan) dan usaha. Dan hendaklah dia menjauhi harta-harta yang haram dan cara-cara yang terlarang.
Bila Allah l tahu kejujuran niat seorang hamba dan tekadnya mengikuti syariat-Nya, upaya terbimbing dengan Sunnah Nabi-Nya Muhammad n, niscaya Allah l akan memberi kemudahan atas segala urusannya dan akan melimpahkan rizki kepadanya dari arah yang tidak dia sangka. Allah l berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
 
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
Dalam sebuah hadits, Nabi n bersabda:

مَنْ تَرَكَ شَيْئًا لِلَّهِ عَوَّضَهُ اللهُ خَيْرًا مِنْهُ
 
“Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan memberinya ganti yang lebih baik.” (HR. Ahmad, 5/28)
Dengan demikian dapat diketahui bahwa tidak diperbolehkan bagi anda untuk berbisnis dengan modal uang haram, baik itu pemberian ayahmu ataupun dari yang lainnya.”

Masalah 10: Jual Beli Sistem Lelang
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang masalah ini. Yang rajih adalah pendapat jumhur bahwa jual-beli sistem lelang pada dasarnya dibolehkan dan halal. Bahkan sebagian ulama menukilkan ijma’ dalam masalah ini, seperti Ibnu Qudamah dan Ibnu Abdil Barr.
Ini adalah pendapat Al-Lajnah Ad-Da`imah (13/126), dan Syaikhuna Abdurrahman Al-’Adni hafizhahullah dalam Syarhul Buyu’ (hal. 53).
Dalam sistem lelang, penjual tidak diperkenankan menyebutkan terlebih dahulu harga barang yang dilelang, karena dikhawatirkan ada orang yang mendengar dari jauh dan mengira barang itu dihargai dengan nominal tersebut. Namun para pembeli dikumpulkan, lalu salah satu dari mereka menyebutkan harga nominal harga. Kemudian sang penjual mengatakan: “Siapa yang mau menambah harga?” Demikianlah hingga harga barang tersebut berhenti pada orang terakhir yang menyebutkannya. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 13/120-121, dan Syarhul Buyu’ hal. 53)
Dalam lelang tidak boleh ada unsur najsy, yaitu adanya pihak yang menaikkan harga barang padahal dia bukan pembeli (tidak bermaksud membelinya). Al-Lajnah Ad-Da`imah menjelaskan: “Seseorang yang menambahi harga barang yang dilelang padahal dia tidak bermaksud membelinya, tindakan tersebut adalah haram karena mengandung penipuan terhadap para pembeli. Sebab pembeli akan mengira/meyakini bahwa orang tersebut tidak akan berani menambah harga melainkan karena memang barang itu seharga tersebut, padahal tidak demikian. Inilah yang dinamakan najsy yang dilarang Rasulullah n dengan larangan haram. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar c:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ النَّجْشِ

 
“Bahwasanya Rasulullah n melarang najsy.” (Muttafaqun ‘alaih)
Juga dalam hadits Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:

لاَ تَلَقُّوْا الرُّكْبَانَ وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلىَ بَيْعِ بَعْضٍ وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ
 
“Janganlah kalian mencegah kafilah dagang (sebelum masuk pasar). Jangan pula sebagian kalian membeli apa yang sedang dibeli orang lain. Jangan pula kalian saling najsy. Dan orang kota tidak boleh menjualkan barang orang dusun.” (Muttafaqun ‘alaih)
Bila terjadi najsy dan ada unsur penipuan dalam akad yang tidak seperti biasanya, maka sang pembeli diberi pilihan: membatalkan akad atau meneruskannya, sebab kasus di atas masuk dalam khiyar ghubn.”
Dalam lelang, tidak diperbolehkan bagi pembeli untuk bersepakat tidak menambah harga dan menghentikannnya pada nominal tertentu padahal mereka membutuhkannya, dengan tujuan agar penjual melepas barangnya dengan harga di bawah standar. Demikian uraian Syaikhul Islam dalam Al-Ikhtiyarat, lihat Majmu’ Fatawa (29/304).
Al-Lajnah Ad-Da`imah (13/114) juga melarang tindakan di atas dan menggolongkannya ke dalam akhlak yang tercela. Bagi pembeli yang merasa ditipu, dia boleh memilih antara membatalkan akad atau meneruskannya.
Dalam lelang, biasanya para pembeli melakukan sistem muqana’ah, yaitu bersepakat menjadi kongsi dalam lelang. Setelah lelang selesai, mereka melakukan transaksi lagi di antara mereka sendiri. Sistem ini juga tidak diperbolehkan. Demikian fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah (13/115), karena di dalamnya terkandung unsur kezaliman terhadap penjual untuk kemaslahatan mereka sendiri.

Wallau a’lam bish-shawab.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution