Rabu, 28 November 2012

Keadaan Hidup Sesudah Kita Mati

Hidup Sesudah Mati

“Dan tiap-tiap perbuatan manusia Kami lekatkan pada lehernya.
Dan Kami keluarkan kepadanya pada Hari Kiamat berupa
buku yang akan ia jumpai terbuka lebar” (17:13).

Keadaan sesudah mati bukanlah keadaan baru, kenyataannya ini merupakan perwujudan, gambaran penuh keadaan rohani kita di dalam kehidupan sekarang ini. Perbuatan baik atau buruk yang dilakukan di sini atau keimanan seseorang akan abadi di dalam dirinya dan racun maupun obat penangkal segala penyakit memasukkan pengaruhnya terhadap dirinya secara rahasia, tetapi di dalam kehidupan yang akan datang semua itu akan terwujud dan jelas bagaikan di siang hari bolong. Gambaran terhadap itu, sekalipun sangat kurang sempurna, bisa digambarkan seperti perwujudan seseorang yang sedang bermimpi betapapun lebih kuat dari temperamennya. Tatkala ia terkena serangan demam panas, di dalam mimpinya ia bisa melihat seakan dirinya berada di dalam gumpalan api, atau dirinya seakan terbawa arus banjir selagi dia menggigil kedinginan.

Ketika badan rentan terhadap suatu penyakit, mimpi itu seringkali mendekatkan perwujudan keadaan itu. Dari perkara batiniah dihadirkan dalam bentuk lahiriah, yang di dalam mimpi itu kita bisa melihat perwujudan keadaan rohani kehidupan di dunia ini bagi kehidupan yang akan datang. Setelah perilaku kehidupan dunia ini berakhir, kita dialihkan ke suatu keadaan dimana perbuatan kita dan segala konsekwensinya terbentuk, dan apa yang selama di dunia ini tersembunyi bagi kita, di sana akan terbuka dan diperlihatkan kepada kita. Bukti perwujudan rohani tersebut hakikatnya nyata, sebagaimana tergambar dalam mimpi, sekalipun penglihatan itu akan segera lenyap, namun sepanjang itu ada di depan mata kita, maka akan menjadi kenyataan. Sebagaimana ini diwujudkan melalui gambaran sesuatu yang baru dan perwujudan yang sempurna dari kekuasaan Ilahi, kita bisa menyebutnya itu bukan perwujudan yang sesungguhnya, tetapi suatu ciptaan baru disampaikan oleh tangan Pencipta yang Maha-kuat. Petunjuk terhadap ini, Qur’an mengatakan:

Tiada jiwa yang tahu apa yang tersembunyi bagi mereka tentang sesuatu yang menyegarkan mata …” (32:17).

Jadi Tuhan menjelaskan karunia sorgawi dimana orang tulus akan menikmatinya di kehidupan yang akan datang, ini masih tetap rahasia, sebab, tidak seperti benda isi dunia ini, tidak ada seorang pun yang tahu tentang itu. Ini membuktikan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini bukan rahasia bagi kita; kita tidak hanya tahu buah delima, anggur, susu dan lain sebagainya, tapi seringkali pula mencicipinya. Konsekwensinya, segala sesuatu itu tidak bisa dikatakan rahasia. Buah-buahan di sorga, karenanya, tidak seperti buah-buahan di dunia ini kecuali namanya saja. Dia sebenarnya tidak mengerti Qur’an Suci dan menggambarkan sorga itu tempat segala sesuatu yang ada di dunia ini disediakan di sana dengan melimpah ruah.

Bisa ditambahkan di sini, dalam menjelaskan ayat yang dikutip di atas, Nabi Muhammad bersabda bahwa sorga dan segala karunianya adalah segala sesuatu “yang mata belum pernah melihatnya, kuping belum pernah mendengarnya dan belum terlintas di dalam hati manusia untuk membayangkannya”. Tetapi segala sesuatu yang ada di dunia ini, kita tidak bisa mengatakan bahwa mata kita belum pernah melihatnya, kuping kita belum pernah mendengarnya dan pikiran kita belum pernah membayangkannya. Ketika Tuhan dan Nabi-Nya memberitahukan segala sesuatu yang ada di sorga yang pikiran kita tidak mengenalnya di dunia ini, kita pasti akan mengingkari ajaran Qur’an yang memberi harapan jika kita mengira bahwa sungai-sungai yang mengalirkan susu itu biasa kita minum di sini. Lagi pula, bisakah kita konsisten dengan pikiran mengenai sorga, dengan mengira bahwa para pengembala sapi dan kerbau menternakannya di sorga dan sejumlah sarang madu bergantungan di pohon-pohon dengan lebah-lebah yang tak terhitung jumlahnya sibuk mengumpulkan madu dan para malaikat pelayan sibuk siang dan malam memeras susu sapi dan mengambil madu dan menumpahkannya ke sungai agar tetap mengalir? Apakah pikiran ini sesuai dengan ajaran ayat-ayat yang memberi tahukan kepada kita bahwa dunia ini asing terhadap karunia di akhirat kelak? Akankah segala sesuatu ini menerangi jiwa atau mengembangkan ilmu Ketuhanan atau menghasilkan makanan rohani sebagaimana karunia samawi memang ditentukan untuk itu? Tak ragu lagi memang benar bahwa semua karunia itu digambarkan seperti benda, tapi kita pun diberi tahu bahwa semua sumber itu berbentuk rohani dan ketulusan.

Ayat berikut ini, yang biasa disalah mengertikan, jauh dari keterangan karunia sorga yang sama seperti barang-barang duniawi:

“Dan berilah kabar baik kepada orang yang beriman dan berbuat baik, bahwa mereka akan memperoleh Taman yang di dalamnya mengalir sungai-sungai. Setiap kali mereka diberi sebagian buah-buahan dari (taman) itu, mereka berkata: Ini adalah yang diberikan kepada kami dahulu, dan mereka diberi yang serupa dengan itu” (2:25).

Nah, bunyi ayat itu jelas sekali menunjukkan bahwa buah-buahan yang dikatakan oleh orang-orang tulus itu pernah dinikmati di sini, bukan berarti, hakikat buah-buahan dari pohon atau segala sesuatu yang ada di dunia ini. Ayat itu terbukti memberitahukan kepada kita bahwa mereka yang beriman dan berbuat baik menyiapkan sorga dengan karya tangan mereka sendiri, dengan keimanan yang berpohon dan perbuatan baik yang berbuah. Dari buah-buahan yang ada di Taman ini mereka secara rohaniah dapat merasakannya di sini dan buah yang sama pun akan dinikmati di kehidupan yang akan datang. Hanya buah-buahan rohaniah sajalah yang bisa beralih dapat diraba dan buahnya lebih nikmat di kehidupan yang akan datang. Tetapi, sebagaimana mereka telah merasakannya secara rohaniah di kehidupan dunia ini, mereka akan mudah mengenalnya kembali buah-buahan itu kehidupan nanti seperti yang ada di sini, dan akan melihatnya lebih menyerupai di antara keduanya, dan mereka akan berteriak: “Inilah buah-buahan yang sungguh pernah diberikan kepada kami di kehidupan masa lalu”.

Sifat kehidupan yang akan datang
Ayat yang dikutip di atas memberitahukan kepada kita dengan kata-kata yang jelas sekali bahwa mereka yang secara rohaniah menikmati kecintaan Ilahi di dunia ini akan secara fisik akan dipelihara oleh makanan yang sama di akhirat nanti. Ganjaran di kehidupan akhirat nanti akan memanggil jiwa mereka kembali berupa ganjaran rohaniah kecintaan Ilahi yang pernah mereka nikmati di kehidupan dunia ini, dan mereka akan ingat dikala sendirian dan dikala senyapnya malam, sunyi dan tenang, mereka mendapatkan nikmat yang melezatkan dalam mengingat Allah.

Jika merasa keberatan bahwa kata-kata ayat tersebut bertentangan dengan sabda Nabi yang menjelaskan karunia kehidupan sorgawi itu tak kelihatan oleh mata duniawi, tidak terdengar oleh telinga manusia dan tak tergambarkan oleh pikiran orang, jawabannya adalah, kontradiksi yang ada itu hanyalah bila kita ambil kata-kata itu seperti ini: “itulah buah-buahan yang telah diberikan kepada kita di dalam kehidupan masa lalu” yang menunjukkan karunia duniawi, dinikmati di dalam kehidupan ini oleh semua orang, apakah itu baik ataupun buruk. Tapi jika “buah” itu dibicarakan di sini dimengerti dengan arti buah-buahan perbuatan baik, karunia rohani yang menikmati kebaikan di kehidupan sini, maka itu tak bertentangan. Apa pun yang dinikmati oleh orang-orang saleh berupa kerohanian di dalam kehidupan ini, itu juga karunia yang hakiki, bukan di dalam kehidupan ini saja tetapi nanti di kehidupan yang akan datang pun akan menikmatinya dan itu dijaminkan kepada mereka sebagai satu contoh kebahagiaan yang disimpan untuk mereka di kehidupan yang akan datang agar bisa meningkatkan harapannya.

Selanjutnya harus diingat bahwa orang-orang tulus bukanlah orang dunia ini dan sejak di sini dia tak suka turun di sini. Dia itu orang samawi dan dijamin karunia sorgawi sebagaimana orang di dunia diberi kenikmatan duniawi ini. Karunia yang diberikan kepadanya benar-benar tersembunyi dari mata, kuping dan hati manusia, dan ini benar-benar asing bagi mereka. Tetapi seseorang yang hidup di dunia ini telah beralih, barulah ia akan merasakan mangkuk kerohanian yang benar-benar akan diteguknya di akhirat kelak, firman itu akan benar-benar terbukti: “Inilah buah-buahan yang dahulu pernah diberikan kepada kami”. Karenanya, pada saat yang sama akan menyadari sepenuhnya bahwa karunia tersebut sungguh tak dikenal oleh dunia ini, sekalipun itu ada di dunia ini – walaupun bukan manusia dunia – maka dia akan menjadi saksi bahwa mata jasmaninya tak akan melihat karunia tersebut, tidak pula telinganya mendengar itu, dan begitu pula pikirannya tak akan bisa membayangkannya di dunia ini. Tapi di dalam kehidupannya yang kedua, setelah bergenerasi, dia akan melihat bentuk karunia itu, tetapi ini pun hanya bila segala perilaku hina telah dipotong tuntas, maka sesuatu yang lebih tinggi akan menjadi kenyataan di akhirat kelak.

Ayat-ayat berikut ini akan menunjukkan bagaimana Qur’an Suci berulang kali menyatakan bahwa kehidupan sesudah mati bukanlah kehidupan baru tetapi hanya suatu gambaran dan manifestasi dari kehidupan sekarang ini:

“Dan tiap-tiap perbuatan manusia Kami lekatkan pada lehernya, dan akan Kami keluarkan kepadanya pada hari Kiamat berupa buku yang akan ia jumpai terbuka lebar”. (17:13).

“Pada hari itu engkau akan melihat kaum mukmin laki-laki dan kaum mukmin perempuan cahayanya memancar di hadapan mereka dan di sebelah kanan mereka”. (57:12).

“Memeperbanyak harta menyelewengkan kamu. Sampai kamu mengunjugi kubur. Tidak, kamu segera akan mengetahui. Sekali lagi, kamu segera akan mengetahui. Tidak, sekiranya kamu mengetahui dengan keyakinan ilmu, niscaya kamu akan melihat neraka, lalu kamu akan melihat itu dengan keyakinan penglihatan, lalu pada hari itu kamu pasti akan ditanya tentang perkara nikmat” (102:1-8). 

Perlu diingatkan kembali di sini bahwa Qur’an Suci menjelaskan tiga dunia dari tiga keadaan yang berbeda tentang kehidupan manusia:

Dunia Pencarian
Yang pertama ada ialah yang disebut: “dunia pencarian dan ciptaan pertama”. Di sinilah manusia mencari imbalan untuk perbuatan baik maupun perbuatan buruknya. Walaupun ada tingkatan-tingkatan kemajuan kebaikan setelah Kebangkitan, namun masih ada lagi kemajuan yang diberikan secara sederhana oleh karunia Ilahi Yang Maha-pemurah dan tidak bergantung kepada usaha manusia.

Alam Barzakh
Yang kedua disebut barzakh. Kata ini aslinya bermakna “keadaan perantara”. Dikatakan demikian sebab alam ini terletak antara kehidupan sekarang ini dengan Kebangkitan. Tapi kata itu telah diterapkan sejak zaman yang tak diketahui sebagai keadaan perantara dan dunia itu sendiri menjadi saksi terhadap perantara antara mati dan hidup sesudah mati.

Keadaan alam Barzakh ialah keadaaan dimana ruh meninggalkan jasmani, dan yang dapat binasa ditinggalkan membusuk. Jasmani dimasukkan ke lobang, dan begitu pula ruh, diturunkan ke lobang sebagaimana ditunjukkan oleh kata tersebut, sebab ia kehilangan kekuatan untuk berbuat baik ataupun berbuat buruk sepanjang itu kehilangan kontrol jasmani. Ini membuktikan bahwa keadaan ruh yang baik tergantung kepada kesehatan jasmani. Suatu komunikasi yang mengejutkan terhadap bagian tertentu dari otak bisa menyebabkan kehilangan ingatan, sementara sesuatu yang bisa melukai bagian lain dapat pula melukai kemampuan dan bahkan bisa melenyapkan kesadaran. Begitu pula, pemaksaan terhadap saraf otak atau pendarahan otak atau gegar otak, dengan sebab kerusakan, bisa menyebabkan kehilangan kesadaran, pingsan, atau kelemahan otak.

Karenanya, pengalaman bisa menghilangkan semua keraguan bahwa jiwa yang terputus hubungannya dari jasmani, maka ia tak bisa berbuat apa-apa. Salah sekali untuk menganggap bahwa jiwa manusia dapat menikmati kebahagiaan tanpa berhubungan dengan jasmani setiap saat. Itu nampaknya menarik hati kita bagaikan dalam suatu cerita, tetapi nalar dan pengalaman tidak mendukungnya. Kita sukar sekali untuk dapat menggambarkan jiwa dalam keadaan sempurna bila semua hubungannya dengan jasmani terputus, dalam menghadapi pengalaman kita sehari-hari bahwa gangguan sedikit saja terhadap sistem jasmani akan mengganggu pula fungsi ruh. Tidakkah kita menyaksikan bahwa bila seseorang menjadi surut karena usia tua, jiwa atau ruh itu pun akan surut pula dan bukankah usia itu seringkali menghilangkan perbendaharaan ilmu? Menunjuk kepada masalah kesenjaan usia, Qur’an berfirman:

“Dan di antara kamu ada pula yang dikembalikan menjadi pikun, sehingga ia tak tahu apa-apa setelah ia tahu”. (22:5). 

Pengamatan ini cukuplah untuk membuktikan bahwa jiwa itu tak berarti apa-apa kecuali ada hubungannya dengan jasmani. Jika jiwa itu terpisah dari jasad, Perbuatan yang Maha-Bijaksana dalam menyatukan jiwa dengan kehidupan jasmani yang singkat tidak akan mempunyai arti apa-apa. Lagipula sebenarnya manusia itu hakikatnya adalah binatang yang lebih maju, dan kemajuan yang ia tuju tak terbatas. Sekarang, jika jiwa itu tidak bisa membuat suatu kemajuan dalam hidup yang singkat ini tanpa bantuan jasmani, bagaimana mungkin ia bisa mencapai tingkat kemajuan yang tinggi di dalam kehidupan yang akan datang?

Oleh karena itu, berbagai dalil membuktikan secara tuntas, bahwa menurut ajaran Islam, kesempurnaan jiwa itu bergantung kepada hubungannya yang erat dengan jasmani. Tak ragu lagi bahwa setelah mati, jasad yang berasal dari tanah ini akan terpisah dari jiwa, tetapi, di alam barzakh setiap jiwa akan menerima jasad baru untuk sementara agar ia dapat merasakan ganjaran atau siksaan dari perbuatan yang pernah ia lakukan. Tubuh itu bukanlah tubuh yang terbuat dari tanah, tapi tubuh terang atau gelap yang telah disiapkan dari hasil perbuatan di dunia ini. Hal ini bisa aneh bagi sebagian orang, tapi hal ini paling tidak diakui tidak mungkin mustahil. Bagi orang yang sempurna mengerti persiapan tubuh terang itu sudah dilakukan sejak dari kehidupan sekarang ini. Bagi orang biasa mungkin ini dianggap misteri yang ada di belakang pengertian ini, tapi bagi mereka yang tajam dan terang penglihatan rohaninya, tak ada kesulitan untuk memahami kebenaran tubuh terang dan gelap ini setelah mati yang sudah disiapkan sejak dari perilaku kehidupan sekarang ini. Dengan kata lain, jasad atau tubuh baru diberikan di alam barzakh yang berarti ganjaran perbuatan baik atau buruk.

Perlu diingat pula dalam kaitannya dengan ini bahwa Firman Ilahi telah menjelaskan, bahwa mereka yang berjalan di jalan yang salah dan buruk seperti mati dan tak hidup, sementara yang berbuat baik itu disebut hidup. Rahasianya adalah hidup mereka ingkar pada Tuhan, hidupnya cuma sekedar makan, minum, tidur atau hanya memuaskan nafsu daging belaka persis seperti binatang rendah, terpenggal bersama kematian mereka. Mereka tak tertarik kepada makanan rohani, oleh sebab itu, balasan mereka tiada lain kecuali siksaan. Kita diberitahu:

“Barangsiapa yang datang kepada Tuhannya sebagai orang berdosa, ia akan memperoleh Neraka, di sana mereka tak mati dan tak pula hidup” (20:74).

Perlu ditambahkan bahwa manusia pilihan Tuhan tidak mati bersama kematian jasmaninya, karena mereka memiliki persediaan makanan.

Hari Kebangkitan
Yang ketiga adalah alam Kebangkitan. Di dunia ini, setiap jiwa, baik ataupun buruk, berkebajikan ataupun jahat, diberikan tubuh wadag. Di hari Kebangkitan, yakni Hari perwujudan keagungan Tuhan, ketika setiap orang menjadi sadar sepenuhnya akan keberadaan Tuhan, pada hari itu, perbuatan setiap orang akan diganjar sepenuhnya. Bagaimana ini bisa terjadi, itu bukan perkara aneh, karena Sang Pencipta itu Maha-kuasa dan tak ada yang mustahil bagi-Nya. Dia berfirman:

“Apakah manusia tak tahu bahwa Kami menciptakannya dari benih yang kecil,Lalu tiba-tiba ia menjadi pembantah yang terang, dan ia membuat tandingan pada Kami dan lupa akan kejadian sendiri. Ia berkata: Siapakah yang menghidupkan tulang-tulang ketika itu busuk? Katakan: Yang menghidupkannya ialah Tuhan Yang mula-mula menciptakannya. Dan Dia Maha tahu akan segala ciptaan. Yang membuat api untuk kamu pari pohon yang hidjau, sehingga kamu dapat menyalakan dengan itu. Bukankah Tuhan Yang telah menciptakan langit dan bumi kuasa Menciptakan yang serupa dengan itu? Ya! Dialah Yang menciptakan segala sesuatu, Yang Maha-tahu. Perintah-Nya, jika Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berfirman kepadanya: Jadi!, maka jadilah itu. Maha Suci Tuhan yang kerajaan segala sesuatu ada di tangan-Nya, dan kepada-Nya kamu akan kembali” (36:77-83).

Perlu dicatat bahwa di dalam ayat-ayat tersebut Allah Ta’ala memberitahukan kepada kita bahwa tak ada yang mustahil bagi Dia, karena ketika Dia menciptakan manusia, pada awalnya tak berarti apa-apa. Jadi Dia tidak bisa dikatakan sebagai tak memiliki kekuasaan untuk menghidupkan yang kedua kali.

Ganjaran dan siksaan
Sebelum melanjutkan persoalan, kiranya perlu dikemukan di sini terhadap adanya keberatan. Perlu ditekankan bahwa periode waktu yang lama (alam barzakh) harus berlalu sebelum alam Kebangkitan datang menjelang, dimana jiwa atau roh manusia yang baik maupun yang buruk tinggal sementara, tidak lebih baik dari jiwa yang tertutup sia-sia. Keberatan itu dasarnya adalah dari kebodohan, sebab alam barzakh adalah tempatnya menerima ganjaran maupun siksaan sama seperi Kebangkitan itu sendiri. Qur’an menjelaskan hal itu sebagai tempat diberikannya siksaan maupun ganjaran meskipun tidak secara terbuka seperti setelah Kebangkitan. Banyak sekali ayat-ayat yang menyatakan bahwa manusia akan segera menjumpai apa yang ia perbuat setelah ia mati. Dalam membicarakan orang-orang tertentu, Qur’an menyatakan:

“Dikatakan (kepada orang yang mengimani Kebenaran): Masuklah ke Taman”(36:26).

Dengan menunjuk orang lain, Kitab Suci ini berfirman:

“Dan ia melihat ke bawah dan melihat (temannya) ada di tengah-tenga Neraka” (37:55).

Siksaan maupun ganjaran akan segera diberikan setelah mati, bagi mereka yang pantas untuk dijebloskan ke Neraka, ya Nerakalah tempatnya, dan bagi mereka yang pantas dimasukan ke dalam Sorga, ya Sorgalah tempatnya. Tetapi Hari Kebangkitan merupakan Hari perwujudan keagungan Ilahi dimana kebijaksanaan-Nya yang tinggi ditahbiskan terakhir kalinya. Tuhan menciptakan manusia agar Dia diakui sebagai Pencipta: Dia akan menghancurkan segalanya agar Dia diketahui sebagai Penakluk segala sesuatu, dan akhirnya Dia akan memberikan hidup yang sempurna kepada segala sesuatu lalu mengumpulkan mereka agar Dia diketahui bahwa Dia Berkuasa atas segala sesuatu.

Bukti nilai rohani
Masalah penting kedua yang diterangkan oleh Qur’an tentang kehidupan yang akan datang, ialah bukti rohani dalam kehidupan di dunia ini akan dihadirkan pada Hari Kebangkitan sebagai penjelmaan:

“Dan barang siapa di dalam kehidupan ini buta, maka di akhirat pun akan buta, dan jauh dari jalan yang benar” (17:72).

“Tangkap dia, lalu belenggulah dia, lalu lemparkanlah di ke dalam Neraka yang menghanguskan, lalu masukkanlah mereka di sela-sela rantai yang panjangnya tujuhpuluh hasta” (69:30-32).

Di dalam ayat-ayat tersebut, siksaan rohani di dunia ini akan menjadi kenyataan seperti siksaan jasmani di akhirat. Rantai yang mengalungi leher, contohnya, menggambarkan keinginan rendah duniawi menyancang kepala manusia ke bumi, dan keinginan rendah ini akan diibaratkan rantai yang tajam. Begitu pula cinta pada duniawi ini akan terlihat sebagai rantai menyerupai berkobar-kobarnya api yang menyala. Seorang yang jahat di dunia ini sebenarnya menjadi nerakanya nafsu dan keingian duniawi yang tak dapat dipadamkan dan merasa terbakar oleh neraka keputus-asaan yang dia jumpai. Makanya, ketika dia ingin memadamkan dari segala keinginan duniawinya dan ia akan melihat keputus-asaan yang abadi di hadapannya, hatinya terbakar dan merasakan pahit keluh-kesah karena kecintaan duniawinya diibaratkan seperti api yang membakar. Kitab Suci berfirman:

“Dan suatu tabir dipasang di antara mereka dan apa yang mereka inginkan”(34:54).

Karenanya perlu diingat bahwa siksaan yang menimpa manusia itu adalah sesuatu yang telah disiapkan oleh tangannya sendiri, dan perbuatan jahatnya itu menjadi sumber petaka baginya. Hukum ini di tempat lain diungkapkan:

“Pergilah kepada bayang-bayang yang mempunyai tiga cabang. Tidak dingin dan tidak bisa memadamkan nyala” (77:30-31).

Untuk menjelaskan hukum yang sama, Allah Ta’ala berfirman kepada para penghuni Sorga:

“Pada hari itu engkau akan melihat kaum mukmin laki-laki dan kaum mukmin perempuan cahanya memancar di hadapan mereka dan di sebelah tangan kanan mereka” (57:12).

Pada hari tatkala wajah-wajah menjadi putih dan wajah-wajah menjadi hitam” (3:105).

“Perumpamaan Sorga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertqwa: Di sana ada sungai-sungai dari air yang tak berubah menjadi busuk, dan sungai dari susu yang tak berubah rasanya, dan sungai-sungai dari anggur yang lezat rasanya bagi orang-orang yang meminumnya dan sungai dari madu murni” (47:15).

Dari ayat-ayat tersebut jelas sekali bahwa Sorga yang dijanjikan hanyalah sebagai perwujudan dari lautan segala sesuatu yang tak terbatas. Air kehidupan yang diminum oleh orang-orang tulus secara rohani di dalam kehidupan ini kelak akan muncul bagaikan sungai. Air susu rohani yang dengan air susu itu dia tinggal di alam kebahagiaan di dunia ini akan digambarkan menjadi bentuk sungai yang mengalirkan anggur, madu, dan manisnya iman, yang secara rohani dinikmati di sini, akan mengalir di alam Sorga bagaikan sungai madu. Alam rohani setiap orang, pada hari itu menjadi bisa dilihat di taman dan sungainya, dan Tuhan sendiri akan datang kepada orang-orang tulus dalam keagungan-Nya. Singkatnya, alam rohani tidak lagi tersembunyi tapi akan terwujud menjelma.

Kemajuan tanpa batas
Masalah penting ketiga yang dijelaskan oleh Qur’an Suci dalam kaitannya dengan kehidupan setelah mati ialah kemajuan yang dapat dilakukan di kehidupan sana itu ialah tiada terbatas:

“… orang-orang yang beriman bersama dia, cahaya mereka akan memancar di depan mereka dan di tangan kanan, mereka berkata: Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami, dan berilah kami perlindungan. Sesungguhnya Engkau Kuasa atas segala sesuatu” (66:8).

Keinginan yang tak putus untuk menjadi sempurna ini menunjukkan dengan jelas bahwa kemajuan di alam Sorga akan kekal abadi. Karena, ketika mereka akan mencapai suatu kemuliaan sejati, mereka tak akan berhenti di sana, tapi akan melihat tingkat kemuliaan sejati yang lebih tinggi lagi, akan menganggap bahwa apa yang telah dilalui oleh mereka kurang sempurna, karenanya mereka tetap mendambakan pencapaian yang jauh lebih tinggi lagi. Ketika mereka akan mencapai derajat ini, mereka masih melihat ketinggian yang lain dan mereka akan tetap berdo’a untuk mencapai derajat yang lebih tinggi itu. Dambaan kesempurnaan yang tak henti-hentinya ini menunjukkan bahwa mereka tak akan berakhir untuk mencapai kebahagiaan sejati itu. Orang-orang tulus akan terus membuat kemajuan dan tak akan pernah berhenti sejenak pun dan mereka tak akan menghalangi karunia tersebut.

Singkatnya, Sorga dan Neraka, menurut Qur’an, adalah gambaran dan perwujudan rohani manusia itu sendiri di dunia ini. Itu bukan alam dunia baru yang datang dari luar. Benar bahwa itu akan terlihat dan berwujud, katakanlah itu bendawi, jika anda mau, tetapi semua itu hanya perwujudan hakikat rohani dari kehidupan ini. Kita sebut itu secara lahiriah bukan berarti bahwa di sana akan ada pohon-pohon yang ditanam di ladang Sorga seperti halnya yang ditanam di sini dan di Neraka sana akan ada batu cadas dan belerang, tapi dalam arti bahwa di sana kita akan menemui perwujudan rohani dari kehidupan ini. Sorga dan Neraka, menurut keimanan Islam, adalah gambaran perbuatan yang kita bentuk di sini.

Catatan Kaki:
[1] Kata thair dalam bahasa Arab, yang digunakan pada ayat ini,  makna harfiahnya ialah “seekor burung” dan di sini digunakan secara kalam ibarat untuk menunjukkan segala perbuatan manusia; karena setiap perbuatan manusia, apakah itu baik ataupun buruk, terbang bagaikan burung. Kebahagiaan ataupun beban yang dirasakan oleh seseorang dalam melakukan suatu perbuatan akan menghilang tetapi itu tertinggal berupa kesan di hati. Qur’an membuka prinsip utama  bahwa setiap perbuatan membuat kesan yang misterius di dalam hati. Setiap perbuatan manusia kenyataanya diikuti perbuatan atau hukum Ilahi yang merekam akibat perbuatan baik ataupun buruk yang tidak saja di dalam hati tetapi juga pada tangan, kaki, telinga, mata dan lain sebagainya dari si pelakku. Kitab yang tersembunyi dari mata manusia, telah disiapkan, merekam setiap perbuatan di dunia ini, akan nampak dengan sendirinya secara jelas di akhirat.

[2] Ayat ini menunjukkan pada kehidupan samawi, sementara ayat berikutnya (102:1-8) sehubungan dengan orang jahat.

[3] Di sini Tuhan menerangkan tiga tingkat keyakinan: ‘ilmu-l-yaqin (keyakinan hasil kesimpulan), aina-l-yaqin (keyakina hasil melihat) dan haqqu-l-yaqin (keyakinan yang hakiki). Penjelasan yang paling mudah diterima dan bisa lebih dipahami adalah contoh seperti ini: Jika seseorang melihat gumpalan asap dari suatu tempat yang jauh, ia bisa menyimpulkan bahwa di sana pasti ada api, jika tidak, tak mungkin ada asap. Dia memperoleh keyakinan dengan kesimpulan adanya asap, yang ini disebut “yakin dengan sebab ilmu”  pada ayat yang dikutip di atas. Tetapi, jika ia berjalan dari tempat itu dan mendekati di mana asap itu mengepul, maka ia akan melihat kobaran api, maka ia memperoleh keyakinan dengan perantara melihat, dengan “melihat yang sebenarnya”. Untuk menyatakan keyakinan yang hakiki, dia harus memasukkan tangannya ke dalam api, dengan demikian ia akan memperoleh “keyakinan yang hakiki”. Demikian pula halnya mengenai ilmu manusia tentang adanya neraka. Ilmu yakin dapat diperoleh di dunia ini oleh mereka yang akan merasakannya, tapi  dengan perantara antara mati dan kebangkitan orang akan melihat neraka dengan keyakinan melihat, sementara di hari kebangkitan dia akan melihat kenyataan neraka dengan keyakinan yang sebenarnya karena dia memasuki neraka itu sendiri.

[4] Barzakh aslinya dari kata bahasa Arab dan terdiri dari kata bar dan zakh, dan arti harfiahnya  ialah “periode usaha mencari nafkah dan setelah usai mencari nafkah”. Juga disini bisa ditambahkan bahwa sebagaimana telah saya kemukakan di dalam buku saya Minan al-Rahman, bahwa kata-kata bahasa Arab adalah kata-kata Tuhan, dan hanya bahasa inilah yang dapat diakui sebagai bahasa Ilahi, dari mana semua jenis ilmu mengalir, ibu segala bahasa dan sebagai bahasa wahyu Ilahi yang pertama dan terakhir. Dikatakan pertama karena bahasa Arab adalah Kalam Ilahi, yang akhirnya diturunkan ke dunia, yang dari sana manusia belajar untuk bahasa mereka sendiri, dan terakhir karena Kitab Suci Ilahi (Qur’an) juga dalam bahasa Arab.

[5] Boleh saya katakan di sini bahwa saya sendiri punya pengalaman dalam hal ini. Sering sekali,  dalam keadaan sadar, saya menerima kasyaf saya melihat orang yang sudah mati. Saya melihat orang yang berkelakuan  jahat dan buruk tubuhnya hitam gelam dan berasap. Secara pribadi saya kemukakan perkara ini dan saya nyatakan sungguh-sungguh bahwa, sebagaiamana Tuhan berfirman, bahwa setiap orang akan diberikan jasad yang terang maupun gelap. Ini tak perlu pertolongan nalar untuk dapat melihat misteri ini. Mata melihat segala sesuatu, tetapi akan sia-sia jika mata itu  untuk mencicipi sesuatu seperti organ perasa. Begitu pula, syaraf lidah bisa digunakan untuk mencicipi segala sesuatu, tapi untuk menjadi organ penglihatan, itu tak mungkin. Begitu pula  rahasia alam yang sangat dalam, ia hanya bisa dilihat oleh mata rohani dan tak bisa ditemukan dengan bantuan nalar. Allah Ta’ala telah menegakkan hukum itu di dunia ini dan khususnya dalam arti ilmu yang khsusus pula.

[6] Orang yang saleh  dan orang kafir mereka bisa berkawan di dunia ini, tapi bila keduanya mati, orang saleh iba melihat keadaan temannya, ia melihatnya berada di tengah-tengah Neraka.

[7] Dengan kata lain, buta rohani di dunia ini, akan menjadi buta beneran di akhirat.

[8] Dibelenggu rantai yang panjangnya tujuhpuluh hasta mengungkapkan rahasia. Batas usia pada umumnya rata-rata tujuhpuluh tahun. Orang yang jahat seringkali menikmati perilakunya sampai di usia itu termasuk usia masa kanak-kanaknya dan pada usia tua rentanya. Tujuhpuluh tahun sebenarnya bisa digunakan untuk perkara yang bermaslahat, kebijaksanaan dan pengabdian, tapi dia hanya menghabiskan waktunya hanya mengejar cinta duniawi dan memuaskan nafsu belaka. Dia tidak pernah mencoba untuk melepaskan dirinya dari belenggu rantai keinginan rendahnya. Oleh karenanya, di akhirat nanti, rantai itu, yang dia terikat selama tujuh puluh tahun, akan menjadi kenyataan yang panjangnya tujuhpuluh hasta, setiap hasta menggambarkan satu tahun dimana dia terbelenggu.

[9] Tiga cabang yang dibicarakan di sini menggambarkan kebuasan, kebiadaban dan birahi yang tetap tak berubah, yang menuntun ke arah perbuatan jahat dan hina. Yang tiga ini akan muncul di Hari Pengadilan sebagai tiga cabang tanpa kehidupan dan tak bisa mencegah teriknya panas.

[10] Pertanyaan akan muncul di sini seperti orang yang mencari magfirah setelah memasuki alam Sorga dan memperoleh pengampunan Tuhan. Pertanyaan ini, meskipun dasarnya tak mengerti arti sebenarnya kata maghfirah dan istighfar. Maghfirah arti sebenarnya ialah “mencegah rusak”. Orang yang tulus akan terus berdoa kepada Tuhan untuk mencapai kesempurnaan dan menyatu sepenuhnya ke dalam cahaya. Mereka akan terus naik dan akan melihat setiap keadaan tidak sempurna  jika dibangdingkan dengan yang lebih tinggi lagi yang mereka dambakan dan karenanya akan terus berdo’a kepada Tuhan untuk mencegah kerusakan agar mereka bisa meraih yang lebih tinggi lagi. Dambaan mereka akan maghfirah tak akan berakhir karena kemajuan yang mereka capai juga tak berakhir. Kita bisa melihat dari sini bahwa arti hakiki dari maghfirah ini dan juga dambaannya terhadap itu, benar-benar kebanggan manusia, sebab hanya itulah yang menuntunnya kepada kemuliaan sejati yang tinggi yang dapat dimiliki seseorang.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution