Jumat, 30 November 2012

Hargailah Guru, Tokoh Agama Dan Orang Shalih

Indahnya Hidup Jika Kita Saling Menghormati Dan Menghargai

Saudaraku…
Siapa di antara kita yang tidak mengenal dua sahabat Nabi saw terkemuka, kesohor dan populer; Zaid bin Tsabit ra dan Abdullah bin Abbas ra?. Ketika kita mendengar nama Zaid bin Tsabit disebut, maka yang terbayang di benak kita adalah:


Ia seorang pemuda Anshar yang sarat dengan semangat perjuangan menggebu, cendekia dan mempunyai keutamaan berlimpah ruah yang tercatat dalam sejarah emas umat ini.

Ia sekretaris dan penulis wahyu di zaman Nabi saw. Ia menguasai bahasa Ibrani. Pakar di bidang faraidh. Yang langsung mendengar al Qur’an dari lidah yang suci; Rasulullah saw.

Penulis wahyu dan pengumpul al Qur’an, ketika ia beri tugas menulis al Qur’an di zaman Abu Bakar dan Umar ia berkata, “Demi Allah, sekiranya keduanya memerintahkan aku untuk memindahkan gunung ini dari tempatnya, maka hal itu jauh lebih ringan bagiku daripada keduanya membebaniku untuk melakukan tugas berat ini.”

Ia sebagai pengawas penghimpunan al Qur’an di zaman Utsman.

Ia termasuk tokoh ulama di kalangan sahabat, faqih, rujukan fatwa dan seterusnya.

Saudaraku..
Dan jika disebut nama Abdullah bin Abbas, maka yang membasahi ingatan kita adalah:

Ia merupakan kemenakan Nabi saw.

Ia yang dido’akan Nabi saw, “Ya Allah, karuniakan ia kepahaman dalam agama dan ajarkan ia tafsir al Qur’an.”

Ia paling pakar di bidang tafsir dari kalangan sahabat.

Ia seorang pemuda yang masuk di majelis senior sahabat di masa Umar ra. Bergelar samudera ilmu dan tinta umat ini.

Saudaraku..
Dan jika kita menyebut nama keduanya, maka kita teringat ungkapan Abu Hurairah ra, saat Zaid bin Tsabit wafat, “Telah wafat samudera ilmu dari umat ini, mudah-mudahan Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai pengganti (penerus)-nya.”

Dan saat kita mengenang keduanya, maka kita dapat belajar bagaimana kita menghormati dan menghargai orang-orang yang memiliki kelebihan dan keutamaan dalam agama ini.

Amar bin Abu Amar menuturkan, bahwa suatu hari sang “samudera ilmu”, Abdullah bin Abbas menghampiri Zaid bin Tsabit kala hendak mengendarai untanya. Abdullah segera meraih kendalinya kemudian menuntun unta tersebut.

Zaid menahannya seraya berucap, “Lepaskanlah, wahai putera paman Rasulullah.”

Ibnu Abbas berkata, “Beginilah kami diajari (Nabi kami) untuk menghargai guru-guru dan ulama-ulama kami.”

Zaid lalu berkata, “Ulurkanlah tanganmu.”

Begitu Ibnu Abbas mengulurkan tangannya, Zaid memegang tangannya dan langsung menciumnya seraya berkata, “Beginilah kami diarahkan untuk memuliakan ahlul bait Rasul kami.”

Saudaraku…
Demikianlah semestinya kita hidup, saling menghargai, menghormati dan memuliakan satu sama lain. Karena hal itu merupakan tabiat alami yang terpendam dalam diri kita.

Namun hal tersebut sulit tercipta, jika di hati kita tiada perasaan cinta, terpendam rasa hasad, dendam, menggenang prasangka buruk dan yang senada dengan itu.

Menuntun kendali unta yang diperbuat oleh Ibnu Abbas dan cium tangan yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit hanya merupakan contoh dari sikap saling menghormati, menghargai dan memuliakan orang yang berilmu pengetahuan dan tokoh agama yang menjadi panutan masyarakat.

Cium tangan untuk menghormati, menghargai dan memuliakan ulama dan ahli ilmu, berdasarkan beberapa atsar telah dilakukan oleh sahabat dan tabi’in.

Abdurahman bin Razin rahimahullah pernah mencium tangan salah seorang sahabat; Salamah bin Akwa’ ra.
Tsabit Al Bunani juga pernah mencium tangan Anas bin Malik ra.

Sedangkan Abu Malik Al Asyja’i pernah mencium tangan Abdullah bin Abu Aufa ra.

Tapi para sahabat tidak pernah menyodorkan tangannya untuk dicium oleh sahabat lain atau generasi setelahnya yakni para tabi’in. Berbeda dengan zaman kita sekarang ini, tidak jarang seorang kyai atau ustadz atau tokoh agama terlihat merah wajahnya menahan marah, lantaran santrinya atau jama’ahnya tak cium tangan saat bersua.

Dan kisah di atas juga menjadi bahan renungan bagi kita yang barangkali berpandangan bahwa cium tangan kyai, tokoh agama panutan dan ahli ilmu termasuk bid’ah dalam agama kita. Padahal sebagian sahabat dan tabi’in pernah melakukannya.

Saudaraku..
Persoalannya adalah bolehkah kita mencium tangan tokoh masyarakat, pejabat, hartawan, atau yang seirama dengan itu?

Mari kita simak penjelasan dari Imam Nawawi rahimahullah:

Mencium tangan orang berdasarkan zuhudnya atau keshalihannya, atau karena ilmunya, atau kemuliaannya, atau kebaikannya, atau yang semisalnya dari kemuliaan agama bukanlah makruh hukumnya, tapi justru dianjurkan.

Sedangkan cium tangan orang lantaran kekayaannya atau kekuatannya (baca; kewibawaannya) atau karena kedudukannya (parameternya dunia), maka hal itu sangat dimakruhkan.

Saudaraku..
Dan yang terpenting dari sebuah penghormatan, pemuliaan dan penghargaan adalah bukan pada cium tangan dan yang semisalnya dari bentuk penghormatan lahir. Tapi sejatinya ada pada substansi dan isinya serta makna yang terkandung di dalamnya. Ketulusan dalam menghormati, kebeningan hati dalam menghargai ilmu dan melayani, serta kilauan cinta dalam memuliakan ahli agama.

Sudahkah kita menghormati, memuliakan dan menghargai guru-guru kita, tokoh agama dan orang-orang shalih di sekitar kita? 

Wallahu a’lam bishawab.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution