Rabu, 28 November 2012

Segenggam Garam

Segelas Garam

Berbaik sangka adalah sebuah keniscayaan. Apalagi kepada Allah. Itulah sebabnya para ulama bersyair, Man ‘arafa-llah, azala-t-tuhmah. Wa qala kullu fi’lihi bil hikmah. Barang siapa mengenal Allah, ia akan menghilangkan prasangka kepadaNya, dan berkata setiap perbuatanNya pasti mengandung hikmah.


Ini juga yang dilakukan oleh para nabi dan orang-orang besar. Nabi Ibrahim dalam surat al-Syu’ara 78-82 menunjukkan adab kesopanan yang luar biasa, yang pasti berangkat dari baik sangka kepada tuhannya. Beliau mengakui Allah sebagai dzat yang memberi beliau petunjuk, memberi makanan dan minuman, dan menghidupkan dan mematikan. Tetapi ketika menyebutkan perkara sakit, beliau mengatakan, “dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku”. Nabi Ibrahim tentu bukannya tidak tahu bahwa sakit dan sembuh berasal dari Allah. Tapi beliau sedang berbaik sangka dengan berkata “apabila aku sakit” dan bukan “dan Dia yang membuatku sakit”.

Itu juga yang dilakukan rasulullah ketika beliau diusir dari Thaif dalam kondisi berdarah-darah. Beliau tidak mengutuk takdir. Bahkan beliau berdoa dengan doa yang menyentuh, in lam yakun bika ‘alayya ghadhab fa la ubali. Selama Engkau tidak murka kepadaku, aku tiada peduli .

Alkisah, ada seorang pemuda yang kehilangan seluruh keluarganya dalam sebuah kecelakaan. Kejadian itu begitu tragis. Ia kehilangan istri dan kedua anak balitanya. Jiwanya terpukul. Ia merasa berduka. Sangat berduka, sehingga ia merasa Allah mengutuknya. Ia adalah sosok yang di persona non gratakan di bumiNya. Dukanya berubah menjadi kemarahan. Menurutnya Allah tidak adil. Masih banyak orang jahat yang lebih layak mati. Untungnya kemarahannya belum menghilangkan kesadarannya untuk menyumpahi tuhannya. Setidaknya belum saat ini, sebelum ia menemui seorang gurunya dahulu.

Sang guru tinggal di tepi sebuah danau yang besar. Mengasingkan diri dengan mengajar mengaji anak-anak desa sekitar. Si pemuda mengadukan gundah dan dukanya. Menumpahkan segala amarah dan sumpah serapahnya. Mengutarakan niatnya untuk meninggalkan tuhannya, setelah Ia merasa ditinggalkanNya. Dengan tersenyum, sang guru meminta si pemuda mengambil segenggam garam dan menuangkannya kedalam gelas minum yang berisi air putih. Dengan bingung si pemuda menuruti permintaan sang guru. Hatinya ingin bertanya, tapi lisannya tidak terbuka. Setelah garam itu larut dalam air segelas, sang guru memintanya meminum air itu. Untuk obat sakit hatimu, kata sang guru. Si pemuda menurutinya. Rona kebingungan semakin tampak di wajahnya. Dan tentu saja ia segera menyemburkan air yang diteguknya. Asin air terasa sangat. Mulut dan perutnya menolak.

Dengan tersenyum lebih lanjut, sang guru mengajaknya ke tepi danau. Tidak lupa ia berpesan agar sang pemuda membekali dirinya dengan segenggam garam yang lain. Sesampai ditepi danau, sang guru memintanya menaburkan garam di genggaman ke danau. Segera air danau melarutkan. Sang guru kemudian meminta si pemuda menciduk air danau yang jernih dengan gelasnya. Setelah gelas terisi, dimintanya si pemuda untuk minum. Sang pemuda meminumnya hingga tandas tanpa kesulitan.

Sang guru berkata dengan bijak, “garam itu ibarat musibah yang kau alami. Jika hatimu hanya seluas gelas, maka air didalamnya akan terasa sangat asin. Tapi jika hatimu seluas danau ini, atau bahkan lebih luas lagi, maka segenggam garam itu tidak akan mampu mengasininya. Berbaik sangkalah kepada Allah. Seluas baik sangkamu kepadaNya, maka sebesar itulah kemampuanmu menanggung cobaanNya.” 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution