Segelas Garam
Berbaik sangka adalah sebuah
keniscayaan. Apalagi kepada Allah. Itulah sebabnya para ulama bersyair,
Man ‘arafa-llah, azala-t-tuhmah. Wa qala kullu fi’lihi bil hikmah.
Barang siapa mengenal Allah, ia akan menghilangkan prasangka kepadaNya,
dan berkata setiap perbuatanNya pasti mengandung hikmah.
Ini juga yang dilakukan oleh para nabi
dan orang-orang besar. Nabi Ibrahim dalam surat al-Syu’ara 78-82
menunjukkan adab kesopanan yang luar biasa, yang pasti berangkat dari
baik sangka kepada tuhannya. Beliau mengakui Allah sebagai dzat yang
memberi beliau petunjuk, memberi makanan dan minuman, dan menghidupkan
dan mematikan. Tetapi ketika menyebutkan perkara sakit, beliau
mengatakan, “dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku”. Nabi
Ibrahim tentu bukannya tidak tahu bahwa sakit dan sembuh berasal dari
Allah. Tapi beliau sedang berbaik sangka dengan berkata “apabila aku
sakit” dan bukan “dan Dia yang membuatku sakit”.
Itu juga yang dilakukan rasulullah
ketika beliau diusir dari Thaif dalam kondisi berdarah-darah. Beliau
tidak mengutuk takdir. Bahkan beliau berdoa dengan doa yang menyentuh,
in lam yakun bika ‘alayya ghadhab fa la ubali. Selama Engkau tidak murka
kepadaku, aku tiada peduli .
Alkisah, ada seorang pemuda yang
kehilangan seluruh keluarganya dalam sebuah kecelakaan. Kejadian itu
begitu tragis. Ia kehilangan istri dan kedua anak balitanya. Jiwanya
terpukul. Ia merasa berduka. Sangat berduka, sehingga ia merasa Allah
mengutuknya. Ia adalah sosok yang di persona non gratakan di bumiNya.
Dukanya berubah menjadi kemarahan. Menurutnya Allah tidak adil. Masih
banyak orang jahat yang lebih layak mati. Untungnya kemarahannya belum
menghilangkan kesadarannya untuk menyumpahi tuhannya. Setidaknya belum
saat ini, sebelum ia menemui seorang gurunya dahulu.
Sang guru tinggal di tepi sebuah danau
yang besar. Mengasingkan diri dengan mengajar mengaji anak-anak desa
sekitar. Si pemuda mengadukan gundah dan dukanya. Menumpahkan segala
amarah dan sumpah serapahnya. Mengutarakan niatnya untuk meninggalkan
tuhannya, setelah Ia merasa ditinggalkanNya. Dengan tersenyum, sang guru
meminta si pemuda mengambil segenggam garam dan menuangkannya kedalam
gelas minum yang berisi air putih. Dengan bingung si pemuda menuruti
permintaan sang guru. Hatinya ingin bertanya, tapi lisannya tidak
terbuka. Setelah garam itu larut dalam air segelas, sang guru memintanya
meminum air itu. Untuk obat sakit hatimu, kata sang guru. Si pemuda
menurutinya. Rona kebingungan semakin tampak di wajahnya. Dan tentu saja
ia segera menyemburkan air yang diteguknya. Asin air terasa sangat.
Mulut dan perutnya menolak.
Dengan tersenyum lebih lanjut, sang guru
mengajaknya ke tepi danau. Tidak lupa ia berpesan agar sang pemuda
membekali dirinya dengan segenggam garam yang lain. Sesampai ditepi
danau, sang guru memintanya menaburkan garam di genggaman ke danau.
Segera air danau melarutkan. Sang guru kemudian meminta si pemuda
menciduk air danau yang jernih dengan gelasnya. Setelah gelas terisi,
dimintanya si pemuda untuk minum. Sang pemuda meminumnya hingga tandas
tanpa kesulitan.
Sang guru berkata dengan bijak, “garam
itu ibarat musibah yang kau alami. Jika hatimu hanya seluas gelas, maka
air didalamnya akan terasa sangat asin. Tapi jika hatimu seluas danau
ini, atau bahkan lebih luas lagi, maka segenggam garam itu tidak akan
mampu mengasininya. Berbaik sangkalah kepada Allah. Seluas baik sangkamu
kepadaNya, maka sebesar itulah kemampuanmu menanggung cobaanNya.”
0 komentar:
Posting Komentar