Kisah: Malik, Putri Kecil dan Ular Besar
Aku adalah seorang petugas keamanan di masa mudaku dan suka dengan
khamr. Aku minum anggur siang dan malam dan hidup berfoya-foya. Aku
membeli seorang gadis sebagai budak yang sangat aku sayangi. Darinya aku
memperoleh seorang anak perempuan. Seorang anak yang manis. Aku sangat
menyayanginya dan ia pun sayang kepadaku. Ketika ia mulai bisa berjalan
dan berbicara, rasa sayangku semakin bertambah. Ia selalu berada di
sisiku setiap saat.
Gadis kecilku itu memiliki kebiasaan yang
aneh. Setiap ia melihat segelas khamr di tanganku, ia akan mengambilnya
dan menumpahkannya ke pakaiannku. Namun karena rasa sayangku kepadanya,
amarahku tak pernah meluap karenanya.
Pada umur dua tahun, takdir
Allah menetapkan bahwa ia harus meninggal dunia. Kematiannya demikian
memukulku dan kesedihan karenanya demikian menyesakkan dadaku.
Suatu
malam, aku sangat mabuk dan tertidur tanpa mengerjakan sholat Isya’.
Dalam tidur aku mengalami mimpi yang sangat seram dan menakutkan.
Aku
melihat bahwa hari itu adalah hari kebangkitan di mana manusia keluar
dari kuburnya dan aku termasuk dari mereka yang digiring ke Padang
Masyar. Aku mendengar ada suara yang mengikutiku dan ketika kutengok
kulihat ada ular yang sangat besar sedang mengejarku, sangat dekat. Oh,
sebuah pemandangan yang amat menyeramkan. Ular itu memiliki mata biru
berbentuk mata kucing. Mulutnya menganga lebar dan badannya
berkelak-kelok meluncur deras ke arahku, semakin dekat.
Aku
melihat seorang kakek tua, berbusana rapi dengan wangi parfum semerbak
di sekelilingnya. Aku menyapanya dengan “Assalamu’alaikum” dan iapun
menjawabnya. Aku berkata: “Demi Allah, tolonglah aku dalam kemalanganku
ini.” Ia menjawab, “Aku terlalu lemah untuk menolongmu melawan musuh
yang sedemikian besar. Itu sungguh di luar kemampuanku. Tetapi, tetaplah
berlari. Mungkin engkau akan menemukan bantuan yang bisa
menyelamatkanmu dari ular itu.”
Aku berlari sekuat daya. Kulihat
ada tebing di depanku dan memanjatnya. Namun ketika sampai di atas, aku
melihat kobaran api neraka Jahanam. Sebuah pemandangan yang lebih
menakutkan. Aku terus berlari karena takut akan ular itu hingga aku
hampir terjatuh ke dalam api Jahanam. Kemudian aku mendengar suara
keras: “Kembalilah, kamu bukan bagian dari mereka, penghuni Jahanam.”
Aku lari menjauh ke arah yang lain. Namun ular itu terus mengejarku. Aku
bertemu kembali dengan kakek tua berbaju putih bersih tadi dan memohon,
“Kakek tua, tidakkah engkau bisa menolongku dari ular ini? Aku sudah
meminta pertolonganmu tetapi engkau tidak menolong.” Kakek tua itu malah
menangis dan berkata, “Aku terlalu lemah untuk menolongmu melawan ular
yang perkasa. Namun aku hanya bisa memberitahumu bahwa ada sebuah bukit
di dekat sini di mana perbendaharaan suci kaum muslimin disimpan. Jika
engkau menaiki bukti itu, mungkin engkau akan menemukan perbendaharaanmu
yang tersimpan di sana dan mungkin bisa menyelamatkanmu dari ular itu.”
Aku
berlari ke arah bukit itu. Bentuknya seperti kubah dengan banyak pintu
gerbang bertirai. Di setiap gerbang terdapat pintu emas bertahtakan
mirah delima dan aneka permata. Di setiap daun pintunya ada tirai dari
kain sutera yang paling langka. Ketika aku mulai memanjat bukit itu,
sebuah suara terdengar, “Buka pintunya, naikkan tirainya dan keluarlah
dari kamar kalian! Di sini ada seorang yang malang, mungkin di antara
kalian ada yang memiliki kekayaan darinya yang bisa menyelamatkannya
dari bahaya.” Pintu-pintu itu terbuka dengan serentak, tirainya diangkat
dan dari dalamnya keluar anak-anak kecil tak berdosa yang wajahnya
bercahaya bagai bulan purnama.
Pada saat itu, aku sudah lemas tak
berdaya karena ular itu sudah sangat dekat. Anak-anak itu berseru kepada
teman-temannya, “Keluarlah semua, ular itu sudah hampir menerkamnya.”
Sekelompok anak-anak kembali keluar dan di antara mereka aku melihat
wajah yang amat kukenal. Aku melihat putriku yang telah meninggal
beberapa waktu lalu. Ia mulai menangis dan berteriak, “Demi Allah, itu
adalah ayahku tersayang!” Ia melompat ke dalam sebuah ayunan yang
seperti terbuat dari cahaya dan meluncur kencang ke arahku. Aku
meraihnya dan membawanya ke dalam pelukanku. Tangan kirinya meraihku
sementara tangan kanannya menghalau ular itu. Sang ular dengan tiba-tiba
menghilang. Kemudian ia membawakanku sebuah kursi dan duduk di
pangkuanku. Ia mulai bermain-main dengan jenggotku dan berkata, “Ayahku
sayang:
Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka),… [Al Hadiid: 16]
Aku
menangis mendengarnya dan bertanya kepadanya, “Anakku, apakah kalian
semua mengerti isi Al Qur’an?” Ia menjawab, “Kami paham dengan Al Qur’an
jauh lebih baik daripada engkau.” Aku bertanya, “Anakku, ular apakah
tadi?” Ia menjawab, “Itu adalah amal keburukanmu yang telah menjadi
sangat kuat dan hampir-hampir saja mendorongmu ke dalam neraka Jahanam.”
Aku bertanya kembali, “Lalu siapa kakek tua berbaju putih bersih tadi?”
Ia menjawab, “Ia adalah amal kebaikanmu dan engkau menjadikannya
sedemikian lemah dengan sedikitnya kebaikanmu sehingga ia tak mampu
menolongmu melawan ular itu.” Aku semakin penasaran, “Apa yang kalian
semua lakukan di bukit ini?” Ia menjawab, kami adalah anak-anak kaum
muslimin yang meninggal di waktu bayi. Kami hidup di sini hingga hari
kebangkitan, menunggu untuk dipersatukan kembali dengan keluarga kami
saat mereka pada akhirnya menjemput kami. Kami akan memohon syafaat
untukmu kepada Tuhanmu.”
Aku terbangun, menangis dan menyeru, “Ya
Rabbi, sekarang, sekarang, sekarang ya Allah aku bertaubat. Ya,
sekarang.” Maka, aku bangun dan berwudhu, bergegas menuju masjid untuk
sholat Shubuh, bersegera untuk bertaubat dan kembali kepada Allah.
Ketika sampai di masjid, ia menemukan imam sedang membaca surat yang
sama dengan yang dibacakan oleh putriku di dalam mimpi.
Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka),… [Al Hadiid: 16]
Sungguh, Allah
benar-benar awas terhadap mereka yang ingin kembali kepada-Nya. Dan
dengan kasih sayang-Nya yang tak terbatas, Ia selalu membuka kesempatan
kepada mereka yang ingin mencari ampunan-Nya dan mendekat kepada-Nya.
Kisah di atas dituturkan oleh Malik bin Dinar, seorang ulama yang ternama di masa Hasan al Basyri. Setelah taubatnya, Malik bin Dinar terlihat sering berdiri sholat, menangis di hadapan Allah di malam hari dan berdoa:
“Ya Allah, hanya Engkaulah yang mengetahui siapa saja penghuni Surga dan penghuni Neraka. Maka, termasuk yang mana aku yaa Allah, jadikanlah aku penghuni Surga dan jangan jadikan aku penghuni Neraka.”
Malik
bin Dinar berubah dari orang yang dikenal dengan sifat kasar dan
kejamnya, suka mabuk-mabukannya dan ketidakpeduliannya terhadap
hubungannya dengan Allah, menjadi orang yang sholih dan ulama penghulu
umat seperti ulama besar Hasan al Basyri. Ia berubah dari orang yang
dibenci masyarakat, menjadi orang yang dicintai oleh masyarakat, bahkan
hingga sekarang. Dari orang yang pantas masuk neraka, Malik bin Dinar berubah menjadi orang yang, insya allah, akan menghuni Surga selamanya.
Semoga Allah merahmatinya dan kita bisa mengambil ibrah, pelajaran dan hikmah dari kisahnya.
0 komentar:
Posting Komentar