Manajemen Mengeluh
Tidak bisa
dipungkiri, makhluk yang namanya manusia pasti pernah mengeluh. Disadari
atau tidak, mengeluh seperti sudah menjadi bagian dari hidup. Hanya
saja, frekuensi dan kualitas keluhannya yang membedakan antara satu
personal dengan personal lainnya.
Biasanya
perbedaan ini terkait dengan tingkat pemahaman dan cara pandang
seseorang tentang suatu masalah yang sedang ia hadapi. Sabar, ikhlas dan
seberapa besar keinginan untuk mengubah sebuah keadaan menjadi lebih
baik, biasanya akan meminimalisir keluhan.
Sebaliknya,
sikap apriori, pesimis dan berburuk sangka terhadap kejadian yang sedang
menimpa secara otomatis akan memunculkan keluhan-keluhan yang alih-alih
mendapatkan penyelesaian, malah akan menambah ruwet dan bisa jadi
menambah masalah baru.
Mengeluh
sejatinya perwujudan dari rasa tidak puas, tidak ikhlas menerima sebuah
ketentuan yang terjadi, baik dari segi materi dan non materi. Ketika
sakit berkeluh kesah, macet mengumpat, banjir atau kekeringan
mengkambing hitamkan orang lain. Atau ketika ditimpa musibah menghardik
Tuhan tidak adil, gaji kecil, belum punya rumah dan kendaraan pribadi
acap menyalahkan suami (bagi para istri) atau anak-anak nakal dan
bermasalah tidak jarang meyalahkan istri (bagi para suami).
Melihat fakta
yang mayoritas bahwa manusia tidak pernah lepas dari keluh kesah maka
sangat penting bagi setiap muslim/muslimah mempunyai manajemen yang
tepat agar tidak terpeleset dalam keluh kesah yang tidak diperbolehkan
dan pandai menyikapi setiap kejadian yang dihadapi dengan mengacu kepada
teladan kita Rasulullah Saw.
Mengeluh Indikasi Tidak Bersyukur
Allah Swt. berfirman dalam QS An-nahl : 18, artinya : “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya.”
Ketika seseorang hanyut dalam keluhan, panca inderanya pun tak mampu
lagi memainkan perannya untuk melihat, mendengar, mencium dan merasakan
nikmat yang bertebaran diberikan oleh Allah Swt. tak henti-hentinya.
Hatinya serta merta buta dari mengingat dan bersyukur atas nikmat Allah
yang tiada terbatas. Itulah sifat manusia yang selalu mempunyai
keinginan yang tidak terbatas dan tidak pernah puas atas pemberian Allah
kecuali hamba-hamba yang bersyukur dan itu hanya sedikit.
Dengan selalu menjaga ikhlas dan sabar terhadap segala kejadian atau
ketentuan yang diberikan oleh Allah. Dan berprasangka positif bahwa apa
yang telah terjadi adalah yang terbaik menurut Allah, sehingga hanya
rasa syukur saja yang terlintas di benak, terucap di bibir dan terlihat
dari tindakan karena sesungguhnya jika kita bersyukur maka Allah akan
menambah nikmat-Nya dan jika kita ingkar, sesunggunya azab Allah sangat
pedih (QS Ibrahim:7).
Mengeluh Hanya Kepada Allah swt
Rasulullah Saw. pernah mengalami sebuah kondisi yang jauh dari yang
beliau inginkan. Para kaum musyrikin mengabaikan seruannya dan juga
mencampakkan Al-Quran. Mereka telah mengacuhkan Al-Quran dalam beberapa
bentuk diantaranya: mereka tidak mau mengimani Al-Quran, mereka tidak
mau mendengarkan Al-Quran, bahkan mereka menolaknya dan mengatakan bahwa
Al-Quran adalah ucapan dan bualan Muhammad si tukang syair dan sihir .
Kaum musyrikin juga berusaha untuk mencegah orang-orang yang berusaha
mendengarkan Al-Quran dan dakwah Rasulullah Saw.
Dalam kondisi tertekan tersebut Rasulullah Saw. mengeluh dan mengaduh
hanya kepada Allah Swt. seperti yang terkandung dalam QS Al-Furqon :
30, yang artinya : “Dan berkatalah Rasul: Ya Tuhanku! Kaumku ini sesungguhnya telah meninggalkan jauh al-Quran”.
Begitu pula dengan Nabi Ya’qub dan Nabi ayub, sebagaimana firman Allah dimana Nabi Ya’qup berkata, yang artinya: “Sesungguhnya aku mengeluhkan keadaanku dan kesedihanku hanya kepada Allah,“ (QS. Yusuf : 86).
Dan Nabi Ayyub a.s. , yang disebutkan Allah dalam firman-Nya, bahwa Ayyub berkata, yang artinya : “Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau (Allah) adalah Yang Maha Penyayang diantara semua penyayang,”(QS Al-Anbiyaa’: 83).
Sebaiknya, mengeluhlah hanya kepada Allah Swt., karena sesungguhnya
semua kejadian sudah menjadi sebuah ketentuan-Nya dan hanya Dia-lah
sebaik-baik pemberi solusi. Tetapi dalam kondisi-kondisi dimana
seseorang mengeluh (sharing) tentang masalahnya kepada orang yang ia
yakini amanah dan dengan catatan untuk mendapatkan penyelesaian, maka
dalam hal ini sebagian ulama memperbolehkan.
Sebagaimana Ibnu Qayyim , dalam ‘Uddatu Ash Shabirin, menyatakan
bahwa adapun menceritakan kepada orang lain tentang perihal keadaan,
dengan maksud meminta bantuan petunjuknya atau pertolongan agar
kesulitannya hilang, maka itu tidak merusak sikap sabar ; seperti orang
sakit yang memberitahukannya kepada dokter tentang keluhannya, orang
teraniaya yang bercerita kepada orang yang diharapkannya dapat
membelanya, dan orang yang tertimpa musibah yang menceritakan musibahnya
kepada orang yang diharapkannya dapat membantunya.
Membiasakan Diri Mengeluh Positif
Mengeluh positif ? Spontan pasti muncul pertanyaan ketika membaca
subjudul tersebut. Iya, ternyata mengeluh tidak selalu berkonotasi
negatif. Tidak sabar menghadapi ujian, kurang ikhlas menerima ketentuan
dan hasad/iri pada orang lain acap kali membuat diri menjadi tidak
berdaya sehingga mengeluarkan kata-kata yang bermakna tidak puas yang
merupakan perwujudan dari mengeluh. Tetapi, jika seseorang hasad/iri
terhadap kebaikan dan amal saleh orang lain yang membuat dirinya
termotivasi untuk berbuat hal yang sama bahkan lebih tanpa
mengurangi/menghilangkan kebaikan orang lain tersebut maka hasad model
ini dikategorikan sebagian ulama sebagai hasad yang positif.
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Para ulama membagi hasad menjadi
dua macam, yaitu hasad hakiki dan hasad majazi. Hasad hakiki adalah
seseorang berharap nikmat orang lain hilang. Hasad seperti ini
diharamkan berdasarkan kata sepakat para ulama (baca: ijma’) dan adanya
dalil tegas yang menjelaskan hal ini. Adapun hasad majazi, yang
dimaksudkan adalah ghibthoh. Ghibthoh adalah berangan-angan agar
mendapatkan nikmat seperti yang ada pada orang lain tanpa mengharapkan
nikmat tersebut hilang. Jika ghibthoh ini dalam hal dunia, maka itu
dibolehkan. Jika ghibthoh ini dalam hal ketaatan, maka itu dianjurkan.
Jadi, marilah
kita sama-sama membekali diri dengan ketaatan hanya kepada Allah Swt.
dengan cara senantiasa mendekatkan diri pada-Nya. Tidak pernah puas
untuk mengkaji ilmu-ilmu-Nya agar dalam setiap desahan napas selalu
mengaitkan dengan hukum-hukum-Nya. Jika ada niat dan tekad dengan
sungguh-sungguh, insya Allah ikhlas dan sabar akan menjadi perhiasan
yang akan mewarnai akhlak kita sehari-hari dan kita dihindarkan dari
lisan dan sikap yang sering berkeluh kesah. Cukuplah mengeluh positif
dalam genggaman, yaitu mengeluh dalam rangka bermuhasabah dan
berlomba-lomba dalam kebaikan sehingga dapat meraih derajat taqwa yang
sesungguhnya.
Wallahu’alam
0 komentar:
Posting Komentar