Cerita Seorang Gadis Mu'alaf
Silvia Lenteri, demikian kedua
orang tuanya memberikan nama. Gadis keturunan Betawi-China ini terlahir
dalam keluarga penganut Budha. Saat Silvia masih kecil, ibunya telah
dipanggil Sang Pencipta. Sejak itu Silvia diasuh sementara oleh salah
satu tantenya yang sudah menikah dengan seorang Muslim. Si tante juga
memutuskan masuk islam.
Selama duduk di bangku sekolah dasar (SD) Silvia yang masih dalam
pengasuhan tantenya dimasukkan ke Sekolah Dasar Negeri Cipayung 03 Pagi.
Di sekolah umum itu hanya ada dua pilihan mata pelajaran agama, Islam
dan Kristen.
“Sewaktu SD tidak ada pelajaran agama Budha, katanya. "Karena tante
saya seorang Muslim, maka saya pun diminta untuk mengikuti mata
pelajaran Agama Islam," tutur Silvia
Selama enam tahun mau tak mau Silvia musti mengikuti pelajaran Agama
Islam. Namun saat itu Silvia menganggapnya sekedar mata pelajaran biasa.
Setelah lulus sekolah dasar dan melanjutkan ke bangku SMP, ia tetap
pengikut Budha.
Silvia masuk ke salah satu SMP unggulan di Jakarta Timur. Ternyata di
SMP, untuk mendapat nilai pelajaran agama ia harus mengikuti ujian
bersama di salah satu wihara. "Saya meminta nilai dari panitia
penyelenggara untuk diberikan kepada sekolah,” tutur remaja 20 tahun
ini.
Namun, tak setiap saat, kata Silvia, wihara membuka kelas untuk
ujian. Alhasil ia mengaku kerap memanipulasi nilainya. Caranya? "Orang
yang berada di Wihara meminta saya menyebutkan angka yang saya mau untuk
nilai Agama Budha, tanpa ujian," ungkap Silvia.
Situasi itu terus berlanjut, bahkan hinnga Silvia lulus dari bangku SMA.
Begitu masuk perguruan tinggi, segala sesuatunya berbeda.
Di kampus ia mulai sering berinteraksi dengan banyak teman Muslim sebab
mayoritas mahasiswa memang beragama Islam. Dari sanalah, hampir tiap
hari ia mendengar kisah-kisah nabi zaman dahulu, kisah yang menurut dia
menginspirasi dan luar biasa.
Saat berinteraksi, Silvia juga terkesan menyaksikan ketekunan
teman-teman Muslimnya "Sahabat- sahabat saya di kampus semua beragama
Islam dan sangat taat terhadap ajaran agama yang mereka anut. Itu yang
membuat saya kagum dengan ke-Islaman mereka," kata Silvia.
Silvia mulai berdiskusi dan berbagi cerita dengan teman-teman Muslimnya
dan timbulah rasa penasaran dalam benaknya terhadap Islam.
“Ayah saya jarang pergi beribadah ke wihara, hanya sesekali ia berdoa dengan membakar hio
(dupa) dirumah kami," tuturnya Silvia. "Berbeda dengan teman-teman
Muslim saya, ketika mendengar kumandang adhzan mereka bergegas untuk
beribadah” ujarnya.
Silvia banyak bertanya tentang ajaran-ajaran Islam kepada
teman-temannya. "Mereka sangat terbuka ketika menjawab," ujar sulung
dari tiga bersaudara ini.
Padahal sebelumnya, ia mengaku tak pernah terlintas sedikitpun keinginan
untuk mempelajari Islam lebih dalam. Hati Silvia terbuka. Ia menemukan
kebesaran Allah dan kebenaran ajaran agama Islam. Saat membandingkan
dengan ajaran keyakinan lain, Silvia menilai ajaran Islamlah yang paling
benar.
Pernyataan seorang teman bahwa dalam Agama Islam dilarang menyembah
patung, karena patung tak bisa berbuat apa-apa, menyentuh kesadarannya
bahwa Allah-lah yang Maha segalanya.
"Saya merasa pernyataan itu sangat benar. Tuhan itu tidak berwujud dan
tidak dapat dilihat. Bodoh sekali orang yang berhari-hari menyembah
patung yang jelas-jelas tidak dapat melakukan apa pun untuk mereka.”
ujar Silvia.
Akhirnya, pada penghujung 2010, ia memutuskan memeluk Islam. Bagi
Silvia itu adalah hidayah terbesar dalam hidupnya. Hanya disaksikan
kedua sahabatnya, ia mengikrarkan dua kalimat syahadat di salah satu
masjid kawasan Cijantung.
Beruntung sekali orang tua Silvia sangat demokratis. Ia diberi kebebasan
penuh untuk memilih jalan hidupnya dan dianggap sudah dewasa untuk
mempertanggungjawabkan semua perbuatanya.
Silvia lega tak menemui halangan berarti untuk terus mempelajari agama
barunya. “Alhamdulilah keluarga saya menghargai keputusan ini, jadi saya
tidak perlu sembunyi- sembunyi menjalankan shalat dan membaca Al Qur'an
di rumah," ungkapnya.
Namun sang adik menentang keinginan Silvia untuk mengenakan kerudung.
"Menurut dia itu akan sangat mempermalukan kedua orang tua kami jika
keluarga atau temannya melihat bahwa saya telah menjadi seorang muslim”
tutur mahasiswa semester 6 itu. Ia pun memilih menahan diri.
Setelah memutuskan memeluk Islam, Silvia mulai belajar bacaan shalat dan
menjalankan perintah Allah. Kini setiap hari ia membaca Al Qur'an
beserta artinya.
Usai memeluk Islam, dilema pun tak luput ia alami. Rupanya Silvia
sempat kesulitan menjauh dari keempat ekor anjir peliharanya. "Saya
sangat sayang dengan mereka, tapi dalam Islam dilarang jadi saya harus
membiasakan diri."
Ia berteguh hati karena termotivasi keinginannya yang besar untuk terus
memperdalam ilmu agamanya. "Ke depan, Insya Allah saya akan mengenakan
kerudung dan saya ingin sekali mendapat bimbingan dari seseorang yang
benar-benar paham tentang Islam," kata Silvia.
Hingga kini Silvia mengaku hanya mempelajari Islam dari teman-teman
kuliahnya. "Menurut saya itu masih kurang. Saya dan teman-teman saya
juga masih perlu orang yang benar-benar kompeten dalam hal keagamaan."
tegasnya.
0 komentar:
Posting Komentar