Munafiqlah Kita!
Seberapa
lamakah kita munafik? Atau seberapa setianya kita? Pertanyaan itu bisa
dijawab dari tingkat kesetiaan kita dalam segala sisi hidup manusia.
Munafik itu bisa dikatakan selingkuh, atau biasa disebut sebagai
pertentangan antara hati dan perbuatan, ucapan dan kelakuan. Ucapannya “I Love You”“I Love me,” gitu. tapi ternyata ia marah-marah gara-gara cintanya bertepuk sebelah tangan. Seharusnya ucapkan saja Ucapannya “Allahu Akbar.”
Allah Maha Besar, tiap hari bisa puluhan bahkan ratusan kali diucapkan.
Tapi ingat Allah ketika hanya di masjid, dan ingat duit dimanapun,
apalagi di kantor, sampai kebawa shalat pula. Seharusnya kemaha besaran
Allah menutupi selain Allah yang kecil dan sepele itu. Itulah manusia
bahwa sisi hidupnya, deretan menit waktunya diliputi oleh
kemunafikan-kemunafikan.
Tanda bagi orang munafik pertama jika berbicara berbohong. Di tawari makan ketika bertamu, segera ia jawab, “kulo mpun maem, wau”
walaupun hanya sebatang pisang. Padahal lambungnya tak bisa dibohongi,
gemuruh suara kemrucuk tanda lapar mengaba-aba. Tak tahu lah apakah
semacam itu bohong atau sebuah kesantunan orang Jawa. Tapi yang jelas,
dalam hatinya menggerutu: “asem ah, tadi gak jadi mencicipi. Jadi
penasaran sama masakan ikan kakapnya.”
Kebohongan sebagai sandangan orang
munafik adalah kebohongan yang membohongi hati nuraninya. Kalau
kebohongan yang menuruti mata hatinya itu justru membuahkan maslahat.
Tak kan pernah tendanganmu bersarang di gawang lawan, kalau kau tak
pernah menipu kipper, dan pemain lawan-lawanmu. Kebohongan dianjurkan
kalau itu membela kepentingan kebenaran. Dalam kitab tarajumah dibenarkan berbohong untuk melindungi keselamatan jiwa raga seseorang.
Berbagai macam kebohongan, tapi dasarnya adalah egoisme.
Egois mempertahankan image jadi orang kaya. Buahnya mengaku-aku mobil
rental menjadi miliknya; pilih-pilih teman sepadan; rumah masih layak
harus di rombak biar kelihatan ikut trend jaman. Jaga image menjadi
penguasa, tingkahnya kemana-mana minta dikawal serombongan polisi
dengan mobil yang menyalak alarmnya. Cuih, tentu mengagetkan Sabda, anak
saya yang sedang pulas tidur. Hingga lalu lintas di terabas. Budaya
antri dipungkiri. Padahal kekuasaanmu seumur jagung, lan gak bakal
digowo mati, rek!
Lipatan-lipatan kebohongan sangat
banyak. Diantaranya kita berbohong pada ruang dan waktu. Jasad kita di
masjid tapi hati kita kadang di mal-mal, pasar, hotel, dll. lidah
selalu basah shalawat, tetapi wajahnya kalah berseri ketika
memperingati maulid nabi, dibandingkan menginjakkan kaki di Ancol.
Jasad kita disini, tapi angannya tak pernah menemani, selalu kluyuran
ke ‘seakan-akan masa depan.’ Dan ‘seakan-akan cerah’ padahal hanya
‘seakan-akan.’ Hingga mudah tertipu janji-janji perusahaan money game
yang menjanjikan ‘seakan-akan masa depan’.
Kita merancang-rancang usaha kita,
bahkan rancangan menikmati hasil kerja kita, berangan-angan akan beli
ini beli itu. Hingga kita tak menyadari sepenuhnya dimana kita berada
sekarang. Akhirnya tak pernah menyadari bahwa usia tua segera tiba,
penyakit menjemput, ajal tak disangka datangnya.
Kalau dikatakan manusia tempatnya lalai
dan lupa. Maka awal dari lupa adalah selingkuhnya manusia dari waktu ke
waktu. Kalau ia shalat, maka kelingannya dagangan di pasar, itu namanya
menyelingkuhi Allah. Maka kelupaan timbul “tadi sudah rokaat keberapa ya?”
Orang lupa di tengah shalat tentang
rakaatnya sudah berapa, karena dia tidak setia konsentrasi terhadap apa
yang sedang dikerjakannya. lamunannya tamasya ke pasar, dan wilayah
angan yang sesungguhnya tak riil.
Kalau sedang dagang teringatnya pacar.
Hingga pembeli datang dikasih harga super murah. Bayangannya orang di
depan sang pujaan. Akhirnya kelupaan ambil keuntungan. kita tak pernah berkonsentrasi waktu demi waktu. angan dan jiwanya selalu tak setia menemani ruang dan waktu.
Pemerintah adalah tauladan
kebohongan-kebohongan. Jelas-jelas ia digaji uang rakyat, tingkahnya
seperti juragannya rakyat. Setiap orang yang digaji adalah buruh,
karyawan, pekerja, kuli setiap yang menggaji adalah juragan, bos, tuan
takur. Jelas-jelas uangnya rakyat sendiri, enak saja dikasih stempel
bantuan langsung tunai (BLT). Kalau saya mengambil uang saya sendiri di
tabungan bank, itu namanya bukan bantuan, walau sudah melewati tangan
teller dan pegawai bank. Enak saja menyetempel rakyat sebagai pengemis
penerima bantuan. Semua itu kebohongan atau kebodohan? Yang jelas pintu gerbang kebohongan adalah kebodohan!
Kita diajari oleh system untuk selalu
berjiwa munafik. Kita kredit mobil, menunjukkan bahwa kita yakin akan
bernafas sampai tiga tahun mendatang. Tetapi, tiba-tiba kita
mengasuransikan jiwa kita, nyawa kita, diperusahaan asuransi, yang
mengindikasikan bahwa kita loyo keyakinan tak hidup sampai tahun
mendatang.
0 komentar:
Posting Komentar