Cukupkah Kita Meraih Surga Terendah?
Apakah
Anda merasa cukup hanya dengan menjadi penghuni surga yang terendah? Kalau
Allah membuka kesempatan menghuni surga tertinggi, masihkah Anda merasa cukup
dengan surga terendah? Rasa-rasanya, 100 % tidak ada satupun orang yang
menginginkan kualitas terendah jika ada peluang meraih kualitas tertinggi,
begitu pula dengan surga. Mari kita raup hikmah dari hadits berikut.
حَدَّثَنَا
ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ مُطَرِّفِ بْنِ طَرِيفٍ وَعَبْدِ الْمَلِكِ
وَهُوَ ابْنُ أَبْجَرَ سَمِعَا الشَّعْبِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ
عَلَى الْمِنْبَرِ يَرْفَعُهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ إِنَّ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام سَأَلَ رَبَّهُ فَقَالَ أَيْ رَبِّ أَيُّ
أَهْلِ الْجَنَّةِ أَدْنَى مَنْزِلَةً قَالَ رَجُلٌ يَأْتِي بَعْدَمَا يَدْخُلُ أَهْلُ
الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ فَيُقَالُ لَهُ ادْخُلْ الْجَنَّةَ فَيَقُولُ كَيْفَ أَدْخُلُ
وَقَدْ نَزَلُوا مَنَازِلَهُمْ وَأَخَذُوا أَخَذَاتِهِمْ قَالَ فَيُقَالُ لَهُ أَتَرْضَى
أَنْ يَكُونَ لَكَ مَا كَانَ لِمَلِكٍ مِنْ مُلُوكِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ نَعَمْ أَيْ
رَبِّ قَدْ رَضِيتُ فَيُقَالُ لَهُ فَإِنَّ لَكَ هَذَا وَمِثْلَهُ وَمِثْلَهُ وَمِثْلَهُ
فَيَقُولُ رَضِيتُ أَيْ رَبِّ فَيُقَالُ لَهُ فَإِنَّ لَكَ هَذَا وَعَشْرَةَ أَمْثَالِهِ
فَيَقُولُ رَضِيتُ أَيْ رَبِّ فَيُقَالُ لَهُ فَإِنَّ لَكَ مَعَ هَذَا مَا اشْتَهَتْ
نَفْسُكَ وَلَذَّتْ عَيْنُكَ
Ibnu
Abu ‘Umar menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, Mutharrif
bin Tharif dan Abdul Malik putra Abjar mendengar dari Asy-Sya’bi, ia berkata,
Aku pernah mendengar Mughirah bin Syu’bah menyampaikan sebuah hadits dari Nabi
di atas mimbar. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Nabi Musa pernah bertanya kepada
Rabb, “Wahai Rabbku, siapakah penghuni surga yang paling rendah kedudukannya?”
Allah berfirman. “Seseorang yang datang
ke surga setelah semua ahli surga memasuki surga. Dikatakan kepadanya,
“Masuklah kamu ke dalam surga.” Orang itu berkata, “Bagaimana aku masuk surga,
sementara mereka (ahli surga) telah menempati tempat-tempat mereka dan
mengambil semua yang disiapkan untuk mereka?!” Dijawab, “Apakah kamu rela bila
mendapatkan seperti apa yang dimiliki oleh seorang raja dari raja-raja
dunia?” Orang itu menjawab, “Tentu, wahai Tuhanku. Aku rela.” Lalu dikatakan
kepadanya, “Kamu mendapatkan ini (seperti apa yang dimiliki oleh salah seorang
raja dunia -penj) dan sepertinya, sepertinya juga sepertinya.” (Tiga kali lipat -penj.) Orang itu berkata,
“Aku rela, wahai Tuhanku.” Dikatakan lagi kepadanya, “Kamu mendapatkan ini dan
sepuluh kali lipat sepertinya.” Orang itu berkata, “Aku rela, wahai Tuhanku.”
Kemudian dikatakan lagi kepadanya, “Di samping itu semua, kamu juga mendapatkan
apa yang diinginkan oleh dirimu dan yang membuat senang matamu.”.” [Shahih: Shahih
Muslim no. 189; Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 3198]
Orang
yang beriman kepada Allah dan kehidupan akhirat, yang yakin bahwa Allah adalah
Rabbnya, yang kokoh tauhidnya, yang suci qalbunya, yang bersih akalnya, yang
percaya kepada kerasulan dan kenabian Muhammad bin ‘Abdullah, niscaya akan
bahagia membaca hadits ini. Hadits yang murni, otentik, akurat dari Rasulullah
Muhammad. Ia akan girang mendengar hadits ini dibacakan. Hatinya akan berharap
penuh menjadi hamba Allah yang beruntung dengan kenikmatan surga, sekalipun
hanya mendapat kenikmatan seperti yang dirasakan penghuni surga yang paling
rendah derajatnya.
Kita,
sebagai hamba Allah yang beriman kepada-Nya, sangat berharap Allah berkenan
memasukkan kita ke dalam surga-Nya dan menjauhkan kita dari neraka-Nya. Sebagai
bukti kongkrit tulusnya pengharapan kita tersebut, kita beribadah kepada Allah
sesuai tuntunan-Nya dan sepenuh hati serta senantiasa berusaha mencapai nilai
optimal yang tertinggi.
Allah,
Yang Mahakaya lagi Mahapemurah, telah memberikan berbagai kenikmatan surga yang
dimaui sang hamba penghuni surga derajat terendah. Apatah lagi kepada
hamba-hamba-Nya yang rela mengabdikan dirinya untuk-Nya, senang menghinakan
dirinya di hadapan-Nya, ridha menyembah-Nya dengan penuh optimalisasi. Sudah
pasti Allah akan berikan kenikmatan yang lebih melimpah dan berlipat-lipat
lagi.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَعْدَدْتُ لِعِبَادِيَ الصَّالِحِينَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ
وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ ذُخْرًا بَلْهَ مَا أَطْلَعَكُمْ
اللَّهُ عَلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ
أَعْيُنٍ.
Dari
Abu Hurairah bahwasanya ia berkata, “Rasulullah telah bersabda, “Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, “Aku sediakan kenikmatan yang masih
tersimpan (belum ditemukan) untuk hamba-hamba-Ku yang shalih, yang tidak pernah
terlihat oleh mata dan tidak pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah
terlintas oleh hati manusia, yang tidak sama dengan apa yang telah ditempatkan
Allah di dunia.” Kemudian Rasulullah membacakan ayat Al-Qur`an. “Tidak
seorangpun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu bermacam-macam
nikmat surga yang amat menyenangkan.”[Al-Qur`an surah As-Sajdah (32) ayat no.
17].”.” [Shahih: Mukhtashar Shahih Muslim no. 2166; Shahih Sunan At-Tirmidzi
no. 3197]
Sahabat
yang berhati suci. Banyak dari kita yang keliru membaca hadits-hadits tentang
kenikmatan-kenikmatan surga yang sekilas begitu mudah untuk meraihnya. Hanya
dengan memenuhi amal-amal standar, kemudian kita bersantai tidak lagi peduli,
itu sudah mendapatkan berbagai nikmat surgawi seperti disebutkan Nabi dalam
hadits yang pertama.
Benar.
Itu benar. Pemahaman seperti itu tidak sepenuhnya salah. Sebelum mematri
pemahaman itu di dalam hati, patut kiranya kita merenung sejenak untuk lebih
meresapi sejati arti hidup ini. Sering kita berlomba-lomba untuk menggapai
prestasi tertinggi. Sering kita berpacu menjadi nomor satu. Sering kita beradu
untuk meraih posisi jabatan paling bergengsi. Sering kita bersaing untuk
mendapat predikat pekerja paling baik. Sering kita berkompetisi untuk menjadi
orang yang paling kaya bahkan kalau bisa menjadi konglomerat sedunia. Bukan
begitu? Kita juga menyaksikan itu semua di pentas dunia fana ini.
Kerap
kita iri menyaksikan saudara kita bertambah harta atau semakin tinggi pangkat
jabatannya. Kerap dada terasa sesak, tidur tidak nyenyak, telinga jadi pekak,
melihat teman kita lebih unggul strata sosialnya dibandingkan dengan kita.
Kerap kita memendam dengki kepada tetangga kita yang hidupnya lebih leluasa dan
bisa bertamasya hingga lintas negara. Atau lebih dihormati dan dihargai.
Uniknya,
kita kadang tidak mendapat perasaan ini tatkala menemui orang yang shalih yang
gemar bersedekah, yang tidak pernah telah shalat berjama’ah, yang tidak pernah
tertinggal dari ibadah yang paling utama. Kita lebih banyak bersikap biasa saja
dan dingin ketika mendapati orang-orang yang khusyu’ dan mengabdikan seluruh
hidupnya untuk Allah dan agama-Nya. Tidak kita lihat, diri ini ingin
menggungguli mereka. Akankah kita berlomba mencari keunggulan di dunia yang
akan segera sirna, dan rela tertinggal di derajat paling rendah di surga, serta
tidak gelisah merasa tersekat ketika tidak menjadi orang yang paling tinggi
derajatnya di akhirat, yang kekal abadi dan tidak bisa mengulangi kembali
masa-masa duniawi untuk beramal lebih giat lagi?
Mengapa
untuk kebahagiaan akhirat, hanya sedikit orang yang mau berkompetisi? Seolah
seorang menyodorkan temannya untuk lebih dulu menjadi pendahulu. Seakan
orang-orang enggan untuk menjadi konglomerat akhirat. Malas rasanya
berlomba-lomba menggapai derajat tertinggi di surga. Tidak ada semangat ataupun
obsesi untuk memiliki prestasi ibadah yang paling prestisius. Tidak ada greget
untuk bisa menjadi hamba Allah yang paling shalih.
Ya,
memang begitulah tabiat manusia bila tidak menyadari hakekat kehidupan dunia
dan akhirat. Kalau saja mereka ma’rifat, mengenal arti akhirat, dan memahami
betapa hina dan rendahnya dunia, hati mereka akan membara penuh dahaga untuk
memperoleh bahagia di kehidupan yang nyata, yakni di surga, tempat yang paling
indah dan tiada duanya di dunia.
Wajah
mereka membiaskan semangat itu. Tubuh mereka pun memancarkan asa yang besar
tersebut. Lisan-lisan mereka akan berubah lebih bercahaya seindah permata.
Perbuatan-perbuatan mereka berubah lebih mulia. Kepala mereka akan merunduk
khusyu’ bahkan menjunam bersujud. Qalbu mereka tertaut dengan rumah-rumah Allah
di bumi. Ingin selalu dekat dengan Allah dan singgah di rumah-Nya selama
mungkin.
Sumber: quantumfiqih
0 komentar:
Posting Komentar