Secara bahasa, Riya’
adalah memperlihatkan suatu amal kebaikan kepada sesama manusia, adapun
secara istilah yaitu: melakukan ibadah dengan niat dalam hati karena
demi manusia, dunia yang dikehendaki dan tidak berniat beribadah kepada Allah SWT[1].
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fathul Baari berkata: “Riya’ ialah menampakkan ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku amalan itu”. Imam Al-Ghazali, riya’ adalah mencari kedudukan pada hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan. Sementara Imam Habib Abdullah Haddad
pula berpendapat bahwa riya’ adalah menuntut kedudukan atau meminta
dihormati daripada orang ramai dengan amalan yang ditujukan untuk
akhirat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa riya’
adalah melakukan amal kebaikan bukan karena niat ibadah kepada Allah,
melainkan demi manusia dengan cara memperlihatkan amal kebaikannya
kepada orang lain supaya mendapat pujian atau penghargaan, dengan
harapan agar orang lain memberikan penghormatan padanya[2]. Sebagaimana ulama mengatakan[3]:
وَالرِّيَاءُ إِيْقَاعُ الْقُرْبَةِ لِقَصْدِ النَّاسِ
“Riya’ adalah melakukan ibadah karena mengharap arah kepada manusia supaya mendapat keuntungan darinya (pujian dan penghormatan)”.
Oleh itu, Syeikh Ahmad Rifa'i berpesan bahwa riya’ merupakan perbuatan haram dan satu diantara dosa besar yang harus dijauhi serta di tinggalkan supaya selamat dan amalnya manfaat sampai di negeri akhirat.
Macam-macam Riya’
Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa riya’ ada 2 macam, sebagaimana ulama menguraikannya[4]:
وَهُوَ قِسْمَانِ : رِيَاءٌ خَالِصٌ كَانَ لاَ يَفْعَلَ الْقُرْبَةَ إِلاَّ لِلنَّاسِ ,
وَرِيَاءٌ شِرْكٌ كَانَ يَفْعَلَهَا ِللهِ وَلِلنَّاسِ وَهُوَ أَخَفُّ مِنَ الْأَوَّلِ
“ riya’ dibagi kedalam dua tingkatan: riya’ kholish yaitu melakukan ibadah semata-mata hanya untuk mendapatkan pujian dari manusia, riya’ syirik
yaitu melakukan perbuatan karena niat menjalankan perintah Allah, dan
juga karena untuk mendapatkan pujian dari manusia, dan keduanya
bercampur”.
Fudhail Bin Iyadh berkata:“Beramal karena manusia adalah syirik, meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’ dan ikhlas adalah Allah menyelamatkanmu dari keduanya”.
Oleh itu, sifat riya’ sekiranya sudah
menjalar masuk ke dalam aktivitas harian dan mendarah daging dalam
tubuh kita amat susah untuk menghilangkannya, karena mereka menganggap
sifat riya’ merupakan satu sikap berbuat baik kepada orang lain, dengan
dalih bahwa apa yang mereka kerjakan dalam pandangannya adalah
perbuatan yang terpuji, hal ini sesuai dengan isyarat Qur’an dalam surat Al-baqarah ayat 11-12:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada
mereka:“Janganlah kamu membuat bencana dan kerusakan di muka bumi”,
mereka menjawab: ”Sesungguhnya kami orang-orang yang hanya membuat
kebaikan”. Ketahuilah! Bahwa sesungguhnya mereka itulah orang-orang
yang sebenar-benarnya membuat bencana dan kerusakan, tetapi mereka
tidak menyadarinya.
Diantara kelembutan riya’ adalah menjadikan ikhlas sebagai wasilah untuk mendapatkan apa yang menjadi keinginannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
mengatakan, “Dihikayatkan dari Abu Hamid Al-Ghazali bahwasanya telah
sampai kepadanya kabar, barangsiapa yang ikhlas kepada Alloh selama 40
hari, niscaya akan terpancar hikmah dari hatinya melalui lisannya. Ia
berkata: “Aku telah berbuat ikhlas selama 40 hari, namun tidak juga
terpancar hikmah sedikitpun”. Kemudian aku ceritakan hal itu kepada
orang-orang yang arif, mereka mengatakan kepadaku: Karena kamu berbuat
ikhlas untuk mendapatkan hikmah, bukan ikhlas karena Allah!”[5].
Yang demikian itu dikarenakan tujuan manusia berbuat ikhlas untuk
mendapatkan kelembutan dan hikmah, atau untuk mendapatkan pengagungan
dan pujian manusia.
Maka hal ini sesuai dengan perkataan ulama ahli sufi, bahwa kita kadang tidak bisa membedakan antara riya’ jali (terang) dan khafi (samar),
kecuali orang-orang yang benar-benar selalu mensucikan dalam hatinya
hanyalah beribadah kepada Allah semata. Karena dengan kedekatan
pada-Nya, dalam hatinya sudah dibersihkan daripada penyakit-penyakit
yang buruk (madzmumah)[6]:
وَلَا يَسْلِمُ مِنَ الرِّيَاءِ الْجَلِيِّ وَالْخَفِيِّ إِلَّا الْعَارِفُوْنَ الْمُوَحِّدُوْنَ لِأَنَّ اللهَ طَهَّرَهُمْ مِّنْ دَقَائِقِ الشِّرْكِ
Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 110:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini
manusia biasa seperti kamu yang diwahyukan kepadaku, bahwa sesungguhnya
Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa, Barangsiapa yang mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
kepada Tuhannya”.
Ayat diatas menerangkan kepada kita,
sekiranya beramal tapi masih mengharapkan pujian daripada selain Allah,
maka sifat riya’ sudah masuk dalam diri kita, dan itu sangat berbahaya
karena kita beramal untuk menuai hasilnya nanti di akhirat.
Allah SWT berfirman dalam surat Asy-Syuura ayat 20:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآَخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ
وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
“Barang siapa yang menghendaki
keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu baginya, dan
barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan
kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu
bahagianpun di akhirat”.
Apapun jenis ibadah yang kita lakukan, hendaklah dengan satu tujuan menghadap kepada sang Ilaah, seperti sholat
yang kita kerjakan setiap hari lakukanlah hanya untuk Allah, baik
ketika sholat sendiri atau pun ada orang di sekitarnya, beribadahlah
hanya untuk Allah yang Maha Mulia. Allah berfirman dalam surat
al-Maa’uun ayat 4-7:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ , الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ , الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ , وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
“Maka celakalah bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.
Al Qurthubi mengatakan
makna dari “orang-orang yang berbuat riya,” adalah orang yang (dengan
sholatnya) memperlihatkan kepada manusia bahwa dia melakukan sholat
dengan penuh ketaatan, dia sholat dengan penuh ketakwaan seperti
seorang yang fasiq melihat bahwa sholatnya sebagai suatu ibadah atau
dia sholat agar dikatakan bahwa ia seorang yang (melakukan) sholat. Hakikat
riya’adalah menginginkan apa yang ada di dunia dengan (memperlihatkan)
ibadahnya. Pada asalnya riya adalah menginginkan kedudukan di hati
manusia.[7]
Ini termasuk syirik yang tersembunyi.
Nabi SAW bersabda :“Wahai sekalian manusia, jauhilah kesyirikan yang
tersembunyi!” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu syirik
yang tersembunyi?” Beliau menjawab, “Seseorang bangkit melakukan sholat
kemudian dia bersungguh-sungguh memperindah sholatnya karena dilihat
manusia.
Itulah yang disebut dengan syirik yang tersembunyi.” [HR. Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi][8].
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Siapa
orang yang berpuasa hanya ingin di lihat orang maka itu adalah riya’,
siapa orang yang sholat hanya ingin di lihat orang maka itu adalah
riya’, dan barangsiapa yang bersedekah hanya ingin di lihat orang maka
itu adalah riya’.(HR. Ahmad).
Riya’ bisa muncul didalam diri seseorang pada saat setelah atau sebelum suatu ibadah selesai dilakukan. Imam Ghazali
mengatakan bahwa apabila didalam diri seseorang yang selesai melakukan
suatu ibadah muncul kebahagiaan tanpa berkeinginan memperlihatkannya
kepada orang lain, maka hal ini tidaklah merusak amalnya karena ibadah
yang dilakukan tersebut telah selesai, dan keikhlasan terhadap ibadah
itu pun sudah selesai serta tidaklah ia menjadi rusak dengan sesuatu
yang terjadi setelahnya apalagi apabila ia tidak bersusah payah untuk
memperlihatkannya atau membicarakannya. Namun, apabila orang itu
membicarakannya setelah amal itu dilakukan dan memperlihatkannya maka
hal ini ‘berbahaya’[9].
Imam al-Ghazali menerangkan bahwa sesiapa yang tidak membuang sifat riya’
ini, niscaya akan ditimpa kecelakaan serta akan tergolong dalam
golongan kufur. Jika hal ini berlaku, maka tentulah dia tidak lagi
layak memasuki syurga, apatah lagi mencium baunya. Rasulullah SAW
menasihatkan umatnya agar tidak sesekali menyebut kebaikan diri dan
keluarga karena sikap demikian akan mendorong seseorang kepada sifat
riya’. Justeru, keikhlasan saja yang dapat membunuh perasaan riya’
sebagaimana firman Allah[10]:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus”.
Dalam ayat yang lain[11]:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ , أَلَا للهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu
kitab (al-Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah
agama yang bersih (dari syirik).”
Ibnu Qudamah mengatakan,”Apabila sifat riya’
muncul sebelum selesai suatu ibadah dikerjakan, seperti sholat yang
dilakukan dengan ikhlas dan apabila hanya sebatas kegembiraan maka hal
itu tidaklah berpengaruh terhadap amal tersebut namun apabila sifat riya’
sebagai faktor pendorong amal itu seperti seorang yang memanjangkan
sholat agar kualitasnya dilihat oleh orang lain maka hal ini dapat
menghapuskan pahala.
Adapun apabila riya’ menyertai suatu ibadah, seperti seorang yang memulai sholatnya dengan tujuan riya’
dan hal itu terjadi hingga selesai sholatnya maka sholatnya tidaklah
dianggap. Dan apabila ia menyesali perbuatannya yang terjadi didalam
sholatnya itu maka seyogyanya dia memulainya lagi[12].
Dalam surah al-baqarah ayat 264 Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ
“Wahai orang-orang yang beriman, Jangan
rusakkan (pahala amal) sedekah kamu dengan perkataan membangkit-bangkit
dan (kelakuan yang) menyakiti, seperti (rusaknya pahala amal sedekah)
orang yang membelanjakan hartanya karena hendak menunjuk-nunjuk kepada
manusia (riya’)…”.
Secara mudah kita simpulkan bahwa riya’
adalah perbuatan yang semata-mata untuk mengharapkan sanjungan, pujian
atau penghormatan daripada orang lain. Hal ini amat bertentangan dengan
kehendak Islam yang senantiasa menyeru umatnya agar beramal atau
melakukan perkara kebaikan dengan hati penuh keikhlasan dan
mengharapkan keridhaan Allah. Sekiranya penyakit ini dibiarkan terus
bersarang dalam hati seseorang, lama kelamaan ia boleh membinasakan
orang yang mengamalkannya. Kemurnian akidah, keluhuran akhlak dan
kesempurnaan amal umat Islam akan tercemar dan rusak jika tidak
dilandasi keimanan dan keikhlasan hati serta mengharapkan keridhaan
Allah. Justru, dalam Islam setiap amal kebajikan yang disertai dengan riya’
adalah tergolong dalam perbuatan syirik kecil yang boleh merusakkan
amal kebajikan, melunturkan kemurnian akhlak dan akan mendapat kerugian
hidup di dunia dan akhirat.
Memang ada di kalangan umat Islam yang
melakukan sesuatu amalan kebajikan atau mengerjakan ibadah hanya untuk
mengaburi mata orang banyak, Mereka melakukan amalan kebajikan atau
ibadah untuk menunjukkan yang kononnya mereka baik, pemurah, wara’
atau rajin beribadah. Mereka lakukan karena didorong hawa nafsu yang
selalu berusaha memalingkan mereka yang lemah imannya. Hal ini
diperingatkan Allah dalam firman-Nya[13]:
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ
“Dan janganlah kamu turuti hawa nafsu, nanti ia menyesatkan kamu daripada (agama) Allah”.
Dalam surah Muhammad ayat 16, Allah berfirman:
أُولَئِكَ الَّذِينَ طَبَعَ اللهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ
“Mereka itu telah dicap (ditutup) Allah mata hatinya dan mereka mengikut hawa nafsunya”.
Adalah sangat jelas umat Islam yang melakukan perbuatan riya’
akan mendapat balasan buruk dari Allah. Sementara Rasul sendiri selalu
mengingatkan umatnya supaya menjauhi diri daripada perbuatan riya’ dalam
beberapa hadisnya. Seperti: Rasul SAW bersabda: Awaslah kamu jangan
mencampuradukkan antara taat pada Allah dengan keinginan dipuji orang (riya’), niscaya gugur amalanmu. (HR. Ad-Dailami).
Dalam hadis lain Rasulullah bersabda: Sesuatu yang paling aku khawatirkan terhadapmu ialah syirik kecil, lalu ditanya oleh sahabat, apakah syirik kecil itu ya Rasulullah? Kemudian baginda bersabda: itulah riya’. (HR. Ahmad dan Baihaqi).
Untuk menjauhkan diri atau membersihkan hati daripada perbuatan riya’, umat Islam hendaklah mengamalkan sifat muraqabah.
Muraqabah dapat memperlihatkan dan menghayati kepentingan dan hak Allah
dengan memperhitungkan diri sendiri, berapa banyak kebaikan dan dosa
yang telah dilakukan sebagai perbandingan supaya terus berhati-hati
dalam setiap perbuatan dan apa jua tindakan yang akan dilakukan.
Bertaubat adalah jalan terbaik bagi mereka yang melakukan dosa atau yang terlanjur perbuatannya Taubat dan istighfar amat dituntut ke atas setiap orang yang beriman. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 135:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ
وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan orang-orang yang melakukan
perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera ingat kepada
Allah lalu memohon ampunan atas dosa mereka. Dan tiada siapa yang
mengampuni dosa melainkan Allah dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya sedang mereka mengetahui”.
Dalam surah lain Allah berfirman[14]:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
”Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang banyak bertaubat dan mengasihi orang-orang yang senantiasa mensucikan diri”.
Wallahu A’lam…
Ibnu Dahlan El-Madary
[1] Syeikh Ahmad Rifa’I, Riayah Akhir, Bab Ilmu Tasawuf, Korasan 22, halaman 3, baris 6-8, bisa juga dilihat dalam karangan beliau lainnya dalam kitab Abyan al-Hawaaij, Juz V, korasan 69
[2] Shodiq Abdullah, Islam Tarjumah: Komunitas, Doktrin dan tradisi, RaSAIL: Semarang, Desember 2006, halaman 137
[3] Ibid, baris 11
[4] Ibid, Halaman 4, baris 2-3
[5] Lihat dalam “Darut Ta’arudl Al-Aql wan Naql” Karya Ibnu Taimiyyah (6/66), “Minhajul Qasidin” halaman: 214-221, “Al-Ikhlas” karya Al-Awaiysyah halaman:24, “Al-Ikhlas wa Asy-Syirik” Karya Dr. Abdul Aziz bin Abdul Lathif halaman: 9, dan “Ar-Riya” karya Salim Al-Hilali halaman:17.
[6] Syeikh Ahmad Rifa’I, Riayah Akhir, Korasan 22, Halaman 9, baris 2-3
[7] Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an Juz XX halaman: 439
[8]
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudry, Imam
Baihaqi sama-sama meriwatkan dengan Ibnu Majah mengenai syirik yang
tersembunyi ini.
[9] Al-Ghazali, Ihya Ulumudin Juz III halaman: 324
[10] Surat Al-Bayyinah ayat :5
[11] Surat Az-Zumar ayat 2-3
[12] Mukhtashar Minhajil Qishidin halaman: 209
[13] Surat Shaad ayat 26
[14] Surat Al-baqarah ayat 222
0 komentar:
Posting Komentar