Bagaimana Kiat dan Cara Mengatasi Ambisi Terhadap Kekuasaan dan Jabatan?
Pertama. Di dalamnya
banyak terdapat peringatan terhadap tindakan-tindakan mencalonkan diri
untuk sebuah kekuasaan dan mengecam sikap keterkaitan hati dengan
posisi kepemimpinan.
Kedua. Selalu mengingat beban yang harus dipikul oleh seorang pemimpin, baik di dunia maupun akhirat. Salah satu fitrah manusia yakni mudah lupa, dan tidak dapat teratasi kecuali dengan diingatkan.
Firman Allah Ta’ala : “Dan tetaplah memberi peringatan, karena peringatan itu bermanfaat bagi kaum yang beriman”. (QS : Dzariyat : 55)
Ketiga. Membiasakan diri bersikap taat dan berlatih meredam keinginan jiwa sejak kecil. Sabda Nabi Shallahu alaihi wassalam : “Beruntunglah orang yang memegang
kendali kudanya dalam melakukan jihad di jalan Allah. Walau kusut
rambutnya dan kakinya berdebu, namun jika ia diberi tugas untuk
menjaga, ia laksanakan dengan baik, dan jika ia diberi tugas untuk
mengawal di belakang, maka ia laksanakan tugasnya dengan baik”. (HR. Bukhari dan Ibnu Majjah).
Keempat. Perilaku
seperti ini akan menolong seseorang untuk dapat membersihkan hati serta
ambisinya dari keinginan menjadi pemimin, bahkan ia justru akan
bersyukur kepada Allah jika tidak memperolehnya.
Kelima. Mengingat perjalan hidup para salafush shaleh dan sikap mereka terhadap kekuasaan dan jabatan.
Sesungguhnya perjalanan hidup mereka
sarat dengan kewaspadaan dan akan senantiasa menjauhkan diri dari
posisi kepemimpinan tersebut, karena tanggung jawab dan
akibat-akibatnya. Diriwayatkan bahwa ketika Abu Bakar ra menerima
jabatan sebagai khalifah, beliau berkhutbah dihadapan kaum mukminin. “Wahai manusia, jika kalian mengira
bahwa aku menjabat kedudukan khalifah ini karena ambisiku atau karena
keinginanku untuk mengambil kepentingan pribadi atas kalian dan kaum
muslimin, maka hal itu tidaklah benar. Demi zat yang jiwaku ada dalam
kekuasaan-Nya, aku tidak menduduki jabatan ini karena ambisiku, dan
sungguh bukan untuk mementingkan diri pribadi terhadap kalian dan kaum
muslimin. Aku tidak menginginkannya sama sekali, dan aku tidak memohon
kepada Allah terhadpa jabatan ini, baik secara rahasia atau secara
terang-terangan. Aku sungguh telah memikul suatu masalah yang amat
besar di mana aku tidak mampu memikulnya kecuali bila aku ditolong oleh
Allah. Sesungguhnya aku ingin sekali jabatan kekhalifahan ini
diserahkan kepada salah seorang shahabat Rasulullah shallahu alaihi
wassalam, yang lain dengan keharusan berlaku adil, maka aku akan
mengembalikannya kepada kalian, dan untukku tiak ada bai’at bagi
kalian, serahkan lah jabatan ini kepada seorang yang kalian sukai, aku
tidak lain hanyalah salah seorang dari kalian”. (Kanz al-Ummaal, ‘Alaauddiin al-Muttaqi, 5/615)
Ketika masa-masa akhir jabatan Umar
ibnul Khatthab, ia menunjuk enam orang untu memusyawarahkan jabatan
khalifah. Kemudian al-Mughirah bin Syu’bah mengusulkan kepada Umar ibnu
Khtatthab agar anaknya (Abdullah bin Umar) yang menggantikan
kedudukannya sebagai khalifah. Maka Umar marah dan menolak usulan itu
dengan berkata: “Celakalah engka! Demi Allah, aku
tidak meminta kepada Allah akan hal ini. Aku tidak memiliki kecakapan
apa-apa dalam mengurus masalah kalian, dan kau tidak mensyukurinya,
sehingga aku ingin agar jabatan kekhalifahan diduduki oleh seorang dari
keluargaku. Jika kursi kekhalifahan diduduki oleh seorang dari
keluargaku. Jika kursi kekhalifahan ini adalah kebaikan, maka aku telah
memperolehnya, dan jika hal ini suatu keburukan, maka cukuplah salah
seorang dari keluarga Umar yang akan dihisab dan ditanya tentang
permasalahan umat Muhammad Shallahu alaihi wassalam. Aku sudah berupaya
semampuku dan telah mengharamkan keluargaku. Dan jika aku selamat dari
siksa, tidak menanggung dosa, dan tanpa memperoleh pahala, maka hal
itu sudah cukp membuatku senang”. (Akhbaar Umar, at-Thanthawiyaan, hal 452).
Umar bin Abdul Aziz ketka dilantik
menjadi khalifah, ia di datangi oleh seorang tentara pengawal untuk
berjalan di hadapannya dengan sebilah tombak sebagaimana kebiasaan
lyang berlaku bagi para khalifah sebelumnya. Maka Umar berkata kepada
orang itu, “Ada urusan apa antara aku dan kamu? Menjauhlah dariku. Aku
hanya seorang dari kaum muslimin”. Kemudian ia berjalan bersama
orang-orang samp;ai memasuki masjid. Ia menaiki mimbar dan orang-orang
berkumpul dihadapannya. Lantas ia berkata : “Wahai manusia, sesungguhnya aku
telah diuji, karena urusan kekhalifahan ini tanpa pendapatku dalam hal
tersebut, tanpa permintaanku, dan tanpa musyawarah dengan kaum
muslimin. Sesungguhnya aku telah melepaskan bai’at kalian terhadapku,
maka pilihlah orang lain untuk mengurus permasalahan kalian, yang
kalian kehendaki”.
Mendengar hal itu kaum muslimin berteriak dengan suara bulat, “Kami telah memilihmu untuk mengurus masalah kami, dan kami semua telah ridha denganmu…” (al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir, 9/212-213).
Keenam. Merenungi
kedudukan dunia dari akhirat, sebagaimana yang dijelaskan dalam
al-Qur’an dan dituturkan oleh Rasulullah shallahu alaihi wassalam. Allah Ta’ala berfirman : “.. Katakanlah, Kenikmatan duniawi itu sangat sedikit, sedangkan akhrat itu lebih baik bagi siapa yang bertakwa “. (QS : An-Nisaa’ : 77) “.. Padahal kenikmatan hidup dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit”. (QS : At-Taubah : 38) ” .. Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak,
kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan disisi Allah lah tempat kembali yang
baik (surga). (QS : al-Imran : 14)
Wallahu’alam.
0 komentar:
Posting Komentar