Menjaga Keberkahan Waktu
TIDAK terasa
tahun 1433 H akan segera berakhir. Esok, jika Allah Subhanahu Wata’ala
masih memberi kita umur, kita berada di tahun baru, tepatnya tanggal 1
Muharram tahun 1434 H. Suka duka sudah banyak kita lewati dalam mengisi
lembaran sejarah hidup pada tahun sebelumnya. Ada kebaikan yang sudah
kita upayakan dan tak sedikit kesalahan yang terjadi.
Waktu berjalan begitu cepat. Waktu tidak pernah berhenti sejenak atau
memberi kesempatan kepada umat manusia untuk beristirahat. Ia tetap
berjalan mengikuti aliran takdir Tuhan.
Siapa yang tak sanggup mengatur waktunya, niscaya ia akan tergilas
dalam nestapa. Dan barangsiapa yang mampu mengatur waktunya, ia akan
tampil menawan sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menyampaikan pemberitahuan
tentang siapakah sosok yang beruntung, rugi, dan celaka. Ketiga sosok
ini dihubungkan dengan efektifitas waktu.
Manakala seseorang beramal dengan lebih baik dari hari kemarin, ia
beruntung. Jika sama, tidak lebih maupun kurang, ia rugi. Celakanya,
jika lebih buruk dari sebelumnya.
Pada kesempatan lain, Rasulullah menyifatkan cepatnya perjalanan
waktu kehidupan di dunia ini seperti perjalanan seorang musafir yang
hanya berhenti sejenak di bawah pohon di tengah perjalanan yang amat
panjang. Permasalahan terbesar kita adalah ketika kecepatan umur dan
waktu hidup tidak sebanding dengan kegesitan kita dalam menyelamatkan
diri dari penderitaan abadi di akhirat, karena perbuatan munkar yang
kita lakukan.
Seseorang yang memanfaatkan waktu dengan baik pasti melihat hasilnya,
baik secara lahir maupun batin, jasmani ataupun rohani. Orang yang
melewatkan banyak waktunya dengan pergi ke sawah, misalnya, akan bisa
terlihat dari warna kulit, cara berpakaian, dan perilakunya sehari-hari.
Begitu pula dengan orang yang mengatur waktunya dengan baik.
مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama
dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia
Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari
bekas sujud…” (QS: Al-Fath: 29).
Pengikut Rasulullah memiliki nur (cahaya) karena rutinitas sujudnya
kepada Allah. Keberkahan waktu dapat kita sadari ketika waktu yang
singkat ini dapat menghasilkan banyak amal.
Banyak contoh yang bisa kita jadikan sebagai panutan. Lihatlah Imam Nawawi, usianya sekitar empat puluh tahunan tapi
ilmunya bermanfaat hingga detik ini, jutaan umat Islam mendulang
keberkahan ilmunya lewat torehan karya-karya beliau semasa hidupnya yang
singkat itu.
Ada pula contoh menarik. Habib Abdullah bin Husain bin Thahir, begitu
ketatnya beliau dalam mengatur waktu hingga dalam urusan makan dan
minum dilakukannya dengan mencampur keduanya di sebuah tempat layaknya
bubur. Beliau “terpaksa” melakukan hal ini karena khawatir waktunya
terkuras sia-sia hanya gara-gara urusan makan dan minum. Sementara sisa
waktunya yang lain beliau isi dengan belajar, berdzikir, dan beribadah
kepada Allah.
Imam Abdullah bin Alwi Al Haddad dalam bukunya “Risalah Al-Mu`awanah” mengatakan,
“Tiap hembusan nafasmu adalah permata yang tak ternilai harganya, tidak
ada duanya. Jika hilang ia tak akan kembali lagi selama-lamanya.”
Ungkapan ini mengajak kita untuk memakmurkan waktu dengan aneka
kegiatan yang berasas manfaat, sehingga tiap saat yang berlalu bernilai
tambah sejak bangun tidur hingga tidur kembali. Pengaturan waktu yang
efektif akan membuat hidup menjadi baik dan terhindar dari
kesemerawutan.
Menurut Imam Abdullah Al Haddad, tanda orang yang tidak bisa
istiqamah dalam sebuah perbuatan adalah ketika ia sudah tidak lagi
menghargai waktu. Jika kita menghargai waktu yang ada, pekerjaan duniawi
akan mampu diselesaikan dengan memuaskan, lebih-lebih dalam urusan
akhirat.
Ingatlah betapa sering kita membaca Al Quran sekenanya saja agar
kemudian bisa melakukan kesenangan-kesenangan yang tidak ada kaitannya
dengan kebaikan di sisi Allah. Ingatlah ketika usia yang sangat terbatas
itu tidak berfungsi sebagai pelindung diri kita dari beratnya siksa
Allah swt. Sadarilah tatkala kita tahu bahwa hembusan dan tarikan nafas
kita tak lagi berimbang dengan dengan upaya serta jihad kita untuk
terhindar dari lubang kemurkaan Allah Subhanahu Wata’ala.
Lihatlah ayam dalam menjaga mutu waktu hidupnya dengan penuh
kemanfaatan. Ia bangun sebelum azan sebelum berkumandang sebagai tamsil
seorang hamba Allah yang tengah bersiap-siap melaksanakan shalat subuh,
lalu ayam keluar dari kandangnya yang merupakan gambaran seseorang yang
bekerja. Ayam juga tidak pernah risau dengan rezeki yang merupakan sikap
tawakkalnya, seakan ia berkata, “Jika aku ditakdirkan hidup, berarti
jatah rezekiku masih ada di hari esok.”
Waktu adalah umur kita
Waktu cepat berlalu. Mengalir tak pernah berhenti. Jam demi jam, menit demi menit, detik demi detik, bergerak. Waktu tak dapat ditunda, tak dapat ditahan dan tak mungkin ada yang mampu mengulang. Itu artinya, usia kita pun berkurang. Kita semakin dekat ke liang lahat.
Waktu cepat berlalu. Mengalir tak pernah berhenti. Jam demi jam, menit demi menit, detik demi detik, bergerak. Waktu tak dapat ditunda, tak dapat ditahan dan tak mungkin ada yang mampu mengulang. Itu artinya, usia kita pun berkurang. Kita semakin dekat ke liang lahat.
Waktu kita adalah adalah umur kita. Umur berjalan seiring dengan
berlalunya waktu yang semakin berkurang dari hari ke hari, bahkan di
tiap detik. Umur adalah modal kita, yang dari modal ini seharusnya kita
dapat lebih memperoleh keuntungan dan daya guna. Umur yang bermanfaat
akan menjadi jembatan menuju kenikmatan yang abadi.
Umur atau usia bisa kita andaikan dengan tiga botol. Botol pertama
diisi minyak sebanyak botol tersebut. Botol kedua diisi minyak hanya
setengahnya dan botol ketiga hanya diisi minyak seperempatnya. Setelah
itu, ketiga botol yang masing-masing sudah diisi minyak dengan kadarnya
masing-masing, dimanfaatkan sebagai lampu minyak.
Botol yang terisi seperempat minyak akan redup terlebih dahulu,
kemudian botol yang terisi separuh, adapun botol terakhir yang terisi
penuh paling lama menyala lampu minyaknya. Hal ini memberi pelajaran
tentang ketidaktahuan kita apakah usia kita berhenti ‘menyala’ di usia
tua? Saat dewasa atau justru ketika masih muda belia?
Oleh karena itu, jangan lewatkan umur dengan sia-sia. Mari bekerja
keras untuk mencari pahala, meraih rahmat dan ampunan Allah Subhananu
Wata’ala sebanyak-banyaknya, mulai sekarang juga.
Mari memperbanyak dzikir, sedekah, jihad, dan melakukan amal-amal
shalih. Tak ada kata terlambat untuk melakukan kebajikan. Semoga Allah
meneguhkan hati dan semangat kita untuk melakukan amal kebaikan.
Pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Kota Malang
0 komentar:
Posting Komentar