Sekali lagi, Hukum Mengucap Selamat Natal
SETIAP datang saat Natal (dan Tahun Baru Masehi) kerap kali muncul perdebatan seputar boleh-tidaknya mengucapkan “Selamat Natal”. Sebagian mengharamkan, sebagian membolehkan. Namun akhir-akhir ini, suara kalangan yang membolehkan semakin kencang. Jusuf Kalla membolehkan ucapan itu, Shalahuddin Wahid membolehkan juga, Menteri Agama Suryadarma Ali membolehkan, Fahri Hamzah (anggota DPR PKS) juga membolehkan, Ketua PP Muhammadiyah membolehkan.
Untuk melegitimasi pembolehan ucapan “Selamat Natal” ini, banyak pihak bersandar pada fatwa Dr. Yusuf Al Qaradhawi, fatwa Dewan Ulama Al Azhar, fatwa Dewan Ulama Palestina, hingga fatwa pemimpin Ikhwanul Muslimin dan Presiden Mursi di Mesir. Rata-rata semua fatwa ini berporos pada ayat Al Qur’an:
وَإِذَا حُيِّيْتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيباً
“Jika mereka memberikan ucapan selamat kepada kalian, maka balaslah dengan ucapan yang lebih baik, atau yang semisalnya; sesungguhnya Allah atas segala sesuatu Maha Memperhitungkan.” [Surat An Nisaa’: 86].
Hal demikian ini tentu sangat membuat bingung kaum Muslimin di Indonesia, yang sekian lama mengacu kepada fatwa MUI tentang haramnya mengucapkan “Selamat Natal”. Mereka pun bertanya-tanya: mana yang benar, diharamkan atau dibolehkan? Demi meluruskan persepsi keliru seputar ucapan “Selamat Natal” ini, berikut kami haturkan beberapa catatan penting.
[1]. Sekitar tahun 80-an Buya Hamka rahimahullah, sebagai Ketua MUI,
telah menetapkan fatwa haramnya ucapan Natal. Fatwa itu terus menjadi
pegangan MUI, sampai saat ini. Ketika itu Buya Hamka ditekan oleh
pemerintah Soeharto, terkait dengan fatwanya. Namun beliau bersikukuh,
tidak mau mundur dari fatwanya; namun beliau mau mundur sebagai Ketua
MUI, sebagai bukti sikap konsisten-nya dalam mempertahankan fatwa haram
ucapan “Selamat Natal”.
[2]. Di dunia Islam modern, ada sebagian ulama yang membolehkan
ucapan “Selamat Natal”, seperti Syaikh Dr. Yusuf Al Qaradhawi. Beliau
mendasarkan fatwanya dengan pertimbangan berbuat baik kepada orang lain,
termasuk Ahlul Kitab (Kristiani-Yahudi). Beliau berdalil dengan ayat Al
Qur’an: “Allah tidak melarang kalian berbuat baik dan berbuat adil
kepada orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak
mengusir kalian dari kampung halaman kalian, karena sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berbuat adil. Bahwasanya Allah hanya melarang
kalian loyal kepada orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan
mengusir kalian dari kampung halaman kalian, dan mereka mengusir
kalian dengan terang-terangan, maka siapa yang loyal kepadanya, mereka
itulah orang-orang yang zhalim.” (Surat Al Mumtahanah). Sementara Dewan
Fatwa Al Azhar memilih sikap pertengahan, yaitu membolehkan mengucap
“Selamat Natal” dengan syarat-syarat ketat (6 syarat). Intinya, mengucap
selamat tanpa membenarkan agama dan akidah mereka, juga tanpa ikut
terlibat dalam ritual agama mereka.
[3]. Dalam salah satu pertimbangan fatwanya, Dewan Ulama Al Azhar
berdalih, bahwa tidak ada larangan qath’iy dalam Syariat yang menetapkan
haramnya ucapan “Selamat Natal”. Tetapi alasan ini bisa dibantah oleh
riwayat yang dibawakan oleh Dewan Fatwa ini sendiri, bahwa Nabi Saw
bersabda: “Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, maka ini adalah
hari raya kita (Idul Fithri dan Idul Adha).” (HR. Bukhari). Jika merujuk
hadits ini, maka setiap kaum memiliki hari raya masing-masing. Termasuk
Ahlul Kitab (Nashrani-Yahudi) berarti memiliki hari raya juga. Berarti
di zaman Rasulullah Saw, mereka sudah memiliki hari raya juga. Lalu
pertanyaannya, apakah Nabi Saw, para Khulafaur Rasyidin, serta Ijma’
para Shahabat Radhiyallahu ‘Anhum; apakah mereka di masa hidupnya pernah
mengucapkan “Selamat Natal”? Atau katakanlah, apa mereka pernah
mengucapkan, “Selamat Hari Raya Ahli Kitab”? Kenyataannya, tidak ada
contoh perbuatan seperti itu di masa Nabi Saw dan Khulafaur Rasyidin.
Jadi, andaikan ada yang membolehkan ucapan “Selamat Natal” itu, ia
adalah perbuatan baru dalam Syariat; atau unsur luar agama yang hendak
diislamisasikan. Nas’alullah al ‘afiyah.
[4]. Kita mesti ingat, bahwa asal-usul perayaan Natal, bukan berasal
dari ajaran Injil atau Taurat. Ia adalah perayaan yang muncul kemudian,
dan menurut sebagian pendapat, momen 25 Desember itu dikaitkan dengan
hari lahir “Dewa Matahari”. Perayaan Natal ini semacam kompromi antara
basis agama Nashrani yang berasal dari risalah Samawi dengan paganisme
Romawi.
[5]. Kalau kita sepakat membolehkan atau menghalalkan ucapan “Selamat
Natal”, maka hal ini merupakan kemenangan besar bagi SYIAR agama
Kristiani. Mereka akan merasa memiliki kesejajaran dengan kaum Muslimin
dalam syiar keagamaan. Dr. Yusuf Al Qaradhawi menolak pendapat Ibnu
Taimiyyah dalam kitabnya Al Iqtidha, bahwa ucapan “Selamat Natal” tidak
ada kaitannya dengan perasaan ridha terhadap akidah orang kafir; ucapan
Selamat Natal di satu lembah, perasaan ridha di lembah yang lain,
keduanya tidak dapat dicampur-adukkan (kata Al Qaradhawi). Tanggapannya:
bagi ulama yang bersih hatinya dan kuat imannya, mungkin ucapan
“Selamat Natal” itu tak akan menodai keimanannya; tapi bagaimana dengan
orang awam dari kalangan Muslimin? Siapa bisa menjamin bahwa mereka tak
akan terjerumus lebih jauh lantaran telah dibukanya pintu-pintu menuju
pengakuan terhadap kebenaran agama lain itu?
[6]. Jika kita membolehkan ucapan “Selamat Natal”, berarti kita akan
membolehkan juga ucapan-ucapan selamat yang lain yang berkaitan dengan
hari-hari raya orang Kristiani dan Yahudi itu? Misalnya, kita harus juga
mengucapkan “Selamat Paskah”, “Selamat Misa Kudus”, “Selamat Barnispah”
(hari raya Yahudi), dan lainnya. Bahkan hal ini bisa berkembang lebih
jauh, menjadi “Selamat Hari Raya Nyepi”, “Selamat Hari Raya Galungan”,
“Selamat Imlek”, “Selamat Hari Raya Komunis”, dan seterusnya. Toh,
pertimbangannya, mereka tidak selalu memerangi kaum Muslimin secara
agama dan mengusir kaum Muslimin dari kampung halaman. Jika demikian
cara berpikirnya, ya hancur agama ini. Masya Allah, laa haula wa laa
quwwata illa billah.
[7]. Andaikan kita tidak mengucap “Selamat Natal” bukan berarti kita
menutup pintu-pintu perbuatan baik kepada Kristiani-Yahudi. Tidak
demikian. Kita boleh sopan-santun dan ramah kepada mereka; kita boleh
bertetangga dan bergaul dengan mereka; kita boleh menghormati ibadah dan
ritual mereka; kita boleh muamalah dengan mereka; kita boleh saling
bantu-membantu dan kerjasama dalam menghadapi tantangan bersama, dan
lain-lain. Hanya karena Anda tidak mengucapkan “Selamat Natal”; tidak
akan membuat Anda kehilangan kesempatan untuk berbuat baik kepada
mereka. Apalagi, kalau alasan ucapan “Selamat Natal” itu sebatas
basa-basi belaka. Sudah basa-basi, melanggar prinsip akidah, dan tidak
ada madharatnya kalau kita tidak mengucap “Selamat Natal”. Coba sebutkan
hujjah kepada kita, apakah dengan tidak mengucap “Selamat Natal”, lalu
kita tidak bisa berbuat baik kepada kaum Kristiani dan Yahudi? Sebutkan
hujjah-mu, wahai manusia berakal.
[8]. Kalau Anda harus menjelaskan, mengapa tidak mengucapkan “Selamat
Natal”. Katakan saja dengan baik dan santun: “Maaf, urusan ucapan
selamat Natal ini dalam agama kami termasuk perkara ibadah. Kami
dilarang mengucapkan demikian. Kalau Anda merasa keberatan dengan sikap
kami, silakan Anda tidak mengucapkan selamat hari raya kepada kami. Atau
kalau Anda tidak keberatan, ketahuilah bahwa di luar urusan ucapan
selamat ini, masih banyak kesempatan bagi kita untuk saling berbuat
baik. Terimakasih atas pengertian Anda.” Ucapkan kata-kata demikian.
[9]. Setidaknya, menurut MUI di Indonesia, ucapan “Selamat Natal” itu
haram diucapkan. Bisa jadi fatwa yang berlaku di Indonesia berbeda
dengan di negeri lain. Hal itu karena alasan historis, sosiologis,
budaya, dan sebagainya. Tentu MUI sudah memperhitungkan segala macam
konsiderans (pertimbangan), sebelum menyatakan haramnya ucapan “Selamat
Natal”. Kalau di negeri Syaikh Al Qaradhawi atau di Mesir, disana
diperbolehkan ucapan “Selamat Natal”, mungkin itu terkait dengan kondisi
mereka. Sedangkan keadaan di Indonesia, terutama terkait dengan
missi-missi Kristenisasi, sangat berbeda dengan di negara lain.
[10]. Jika mengucap “Selamat Natal” itu dianggap syubhat, yang belum
jelas halal-haramnya; maka dalam menyikapi syubhat, lebih baik kita
meninggalkannya, agar tidak terjerumus ke dalam perkara haram.
Kaidahnya: “Da’ maa yuribuka ila ma laa yuribuk” (tinggalkan apa yang
meragukanmu, berpindahlah ke yang tidak meragukanmu).
Dan akhirnya kita tutup kajian ringkas ini dengan meneguhkan satu pendapat kuat di kalangan Salafus Shalih, bahwa Nabi Saw, para Khulafaur Rasyidin, menurut Ijma’ para Shahabat, menurut Ijma’ empat Imam Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali); bahwa tak satu pun dari mereka yang pernah mengucapkan “Selamat Natal” atau “Selamat Hari Raya Yahudi-Nashrani”. Jika Nabi dan para Shahabat tidak pernah melakukan perbuatan itu, lalu apa artinya pendapat ulama-ulama yang membolehkan itu? Apakah mereka menjadi sumber Syariat, selain Nabi Saw?
Ingat sebuah riwayat ketika Nabi Saw berjalan di perkampungan kaum Yahudi, lalu mendapati mereka sedang berpuasa. Lalu beliau bertanya, “Ini hari apa? Mengapa mereka berpuasa?” Lalu dijawab, saat itu adalah hari 10 Muharram (Asyura), kaum Yahudi sedang merayakan hari terbebasnya Musa ‘As dan kaumnya dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Maka Nabi menegaskan, bahwa beliau lebih berhak mewarisi sejarah Musa daripada kaum Yahudi. Atas peristiwa itu, lalu Nabi Saw mulai mensunnahkan puasa Sunnah Asyura. Agar berbeda dengan Yahudi, beliau tambahkan puasanya menjadi Tasu’a Asyura (puasa tanggal 9 dan 10 Muharram). Ini berarti, andaikan kaum Nabi Musa dan Nabi Isa memiliki hari raya yang haq di sisi Allah, maka ummat Islam lebih berhak mewarisi hari raya itu dengan amal-amal kebaikan, bukan mereka.
Semoga kajian sederhana ini bermanfaat. Amin Allahumma amin.
Oleh: AM. Waskito
adalah penulus buku "Bersikap Adil Kepada Wahabi"
0 komentar:
Posting Komentar