Neraka Haram Bagi yang Mengucapkan Laa Ilaha Illallah
Mengucapkan Kalimat Laa Ilaha Illallah begitu mudahnya di lisan. Namun sebenarnya tidak cukup seperti itu.
Karena mengucapkannya tanpa diiringi keyakinan, mengucapkan tapi malah
gemar mewariskan kesyirikan, tentu tiada manfaat. Kalimat tersebut baru
bermanfaat ketika diyakini maknanya, diucapkan lalu dijalankan
konsekuensinya dengan mentauhidkan Allah dan menjauhi perbuatan syirik.
Dalam hadits muttafaqun ‘alaih, dari ‘Itban bin Malik bin ‘Amr bin Al ‘Ajlan Al Anshori, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan dari neraka, bagi siapa yang
mengucapkan laa ilaha illallah (tiada sesembahan yang benar disembah
selain Allah) yang dengannya mengharap wajah Allah” (HR. Bukhari no. 425 dan Muslim no. 33).
Maksud hadits di atas bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengabarkan barangsiapa mengucapkan kalimat laa ilaha illallah dengan
ikhlas dan melaksanakan konsekuensinya yaitu menjauhi kesyirikan dan
mengamalkan kalimat tadi secara lahir dan batin, dan mati dalam keadaan
demikian, maka neraka tidak akan menyentuhnya pada hari kiamat kelak.
Demikian kata Syaikhuna Dr. Sholih Al Fauzan dalam kitab beliau Mulakhos fii Syarh Kitab Tauhid, hal. 28.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim Al Hambali berkata,
“Hadits ini menunjukkan hakikat makna laa ilaha illallah. Barangsiapa
yang mengucapkan kalimat tersebut dengan mengharap wajah Allah, maka ia
harus mengamalkan konsekuensi kalimat tersebut yaitu mentauhidkan Allah
dan menjauhi kesyirikan. Balasannya bisa diperoleh jika terpenuhinya
syarat dan terlepasnya halangan.” (Hasyiyah Kitab Tauhid, hal. 28).
Penulis Fathul Majid -Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh-
menyampaikan perkataan yang patut kita ingat, “Kebanyakan orang
mengucapkan kalimat laa ilaha illallah namun tidak ikhlas kepada Allah.
Banyak yang mengucapnya namun hanya ikut-ikutan dan sekedar jadi adat
kebiasaan, namun tidak pernah dirasakan lezatnya iman di hati kala
keluar di lisan. Dan kebanyakan yang disiksa di alam kubur adalah
orang-orang semacam ini yaitu sebagaimana dikatakan dalam hadits “Aku
mendengar orang-orang mengucapkannya, maka aku pun ikut mengucapkannya”.
Jadi mayoritas amalan orang semacam ini hanyalah taqlid buta
(ikut-ikutan saja) dan mengekor orang-orang semisalnya. Mereka semisal
yang dikatakan dalam firman Allah,
إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ
“Sesungguhnya kami mendapati bapak- bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka” (QS. Az Zukhruf: 23).” (Fathul Majid, hal. 62). Nas-alullah salamah min hadzal fitan, kita memohon kepada Allah keselamatan dari fitnah semacam ini.
Jadi, mengucapkan kalimat tersebut bukan hanya di lisan, namun
hendaknya diiringi dengan keyakinan di hati, lalu ditambah menjalankan
konsekuensi kalimat tersebut dengan mentauhidkan Allah dan menjauhi
segala macam syirik.
Beberapa faedah yang bisa digali dari hadits di atas:
1- Menunjukkan keutamaan orang yang bertauhid dan tidak berbuat
syirik bahwasanya ia akan diselamatkan dari siksa neraka dan juga
dihapuskan dosa.
2- Iman tidaklah cukup dengan ucapan namun harus diiringi dengan i’tiqod (keyakinan) dalam hati. Jika hanya diucap saja, tidak di batin, maka itu sama halnya dengan orang munafik.
3- Iman juga tidak bermanfaat jika hanya i’tiqod (keyanikan) di hati tanpa ada ucapan sebagaimana keadaan orang-orang jaahid (yang menentang).
4- Neraka haram bagi orang yang memiliki tauhid yang sempurna.
5- Amal tidaklah bermanfaat jika tidak diiringi dengan ikhlas
mengharap wajah Allah dan mengikuti sunnah Rasul -shallallahu ‘alaihi wa
sallam-.
6- Barangsiapa mengucapkan kalimat laa ilaha illalah namun ia
beribadah kepada selain Allah sebagaimana halnya ibadah quburiyun, maka
tidak bermanfaat kalimat tersebut.
7- Allah memiliki sifat wajah yang layak bagi Allah sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya.
Demikian, semoga Allah memudahkan kita menjadi ahli tauhid dan menjauhi kesyirikan.
Wallahul muwaffiq
Referensi:
Al Mulakhosh fii Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan pertama, 1422 H.
Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, terbitan Darul Ifta’, cetakan ketujuh, 1431 H.
Hasyiyah Kitab At Tauhid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim, cetakan keenam, tahun 1432 H.
0 komentar:
Posting Komentar