Belajar Dari Haji, Bergerak Dalam Kebaikan
Pada hakikatnya
haji merupakan perjalanan menghampiri Allah. Dalam prosesnya,
perjalanan haji memang tidaklah mudah. Ada antrian panjang dalam rentang
waktu empat hingga sepuluh tahun, ditambah dengan biaya yang cukup
besar bagi sebagian orang.
Haji merupakan ibadah yang penuh pengorbanan, baik materi, kemantapan
hati, fisik, dan perpisahan dengan orang-orang tersayang. Rasul
Shallallahu ‘alaihi Wassalam menggolongkan orang yang berhaji sebagai
pejuang agama (Mujahid).
Sebagai perjalanan menuju Allah, haji menjadi ibadah yang sarat
dengan gerakan-gerakan dari suatu tindakan ke tindakan berikutnya, dari
sebuah ritual menuju ritual selanjutnya. Haji dapat disebut sebagai
ibadah bergerak.
Sebagai “ibadah bergerak” sebuah jamaah haji Kota Malang, misalnya,
mengawali perjalanannya ke rumah Allah dari rumah masing-masing, lalu
bergerak ke Lapangan Rampal. Dari sana, ia kembali bergerak menuju
Asrama Haji Sukolilo, Sidoarjo. Beberapa waktu kemudian, ia bergerak
menuju Bandara Juanda untuk diterbangkan menuju bandara King Abdul Aziz,
Jeddah. Sesampainya di bandara King Abdul Aziz, ia bergerak lagi ke
Madinah atau Makkah, dan selanjutnya melanjutkan perjalanan ke sesi-sesi
berikutnya. Itulah mengapa haji disebut sebagai ibadah yang
menggerakkan, sehingga dibutuhkan persiapan matang dan kemampuan menjaga
irama hati agar konsisten (istiqamah) di jalan Allah.
Di zaman penjajahan, pihak Belanda begitu takut dengan kedatangan
kaum Muslimin usai menunaikan haji. Pengalaman ketika itu, setibanya
para jamah haji, mereka giat melakukan gerakan pembebasan bangsa dan
rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan, kemiskinan, kebodohan, dan
keterbelakangan. Cara-cara yang ditempuh dilakukan lewat majlis-majlis
ta`lim, pesantren-pesantren, sekolah, organisasi politik maupun sosial.
Menghadapi fenomena ini, pihak Kafir Belanda acap mencekal
keberangkatan orang-orang yang berpotensi mengganggu stabilitas keamanan
dan kepentingannya di Tanah Air setibanya dari Tanah Suci. Para pejuang
kemerdekaan menjadikan musim haji sebagai musim menggelindingkan ide
dan aksi perlawanan terhadap segala bentuk penindasan,
kesewenang-wenangan, dan karenanya banyak muncul tokoh-tokoh yang
menjelma menjadi pejuang, seperti Hadratus Syaikh Hasyim Asyari dan KH. Ahmad Dahlan.
Setiap orang yang telah menunaikan hajinya, ia dituntut untuk selalu
bergerak mengajak masyarakat menjadi lebih baik dari sebelumnya,
termasuk bergerak membawa dirinya sendiri ke arah perubahan yang
positif.
Sama halnya bagi umat Islam dalam momentum haji ini, harus pro aktif
dalam membangun sinergi untuk kemaslahatan bagi sesama. Meliputi
bergerak mencari dan mengamalkan ilmu, berdakwah, memberantas penyakit
masyarakat seperti Miras, Narkoba, seks bebas, tawuran antar pelajar
atau warga; bergerak mengajak masyarakat untuk memakmurkan masjid, Taman
Pendidikan Al-Qur`an, sekaligus memperbaiki kondisi kehidupan berbangsa
dan bernegara, sehingga ungkapan indah, “baldatun tayyitabatun wa Rabbun Ghafur,” dapat terwujud.
Tentunya kita masih ingat Kisah Thariq bin Ziyad. Selaku panglima
perang ia berusaha melakukan pembebasan Andalusia (Spanyol) yang selama
ini lebih kita kenal sebagai negara asal klub Barcelona dan Real Madrid.
Setibanya di Selat Giblartar, selat yang memisahkan antara benua Afrika
dan Eropa, ia menuangkan minyak ke seluruh kapal-kapal yang telah
mengantarkan mereka ke daratan eropa ini.
Aksi Sang Panglima sontak membuat jantung pasukannya berdegub
kencang. Pikir mereka, apakah panglima kita tidak menyadari dampak yang
timbul akibat tindakannya ini. Apakah panglima tidak memikirkan nasib
pasukannya jika kapal-kapal yang telah dituangi minyak itu tersulut api,
terbakar, ludes tidak tersisa, lalu bagaimana dengan kepulangan mereka.
Thariq bin Ziyad menjawab dengan senyum optimis, penuh keyakinan yang tinggi. Ia menyadari bahwa pasukannya tengah menantikan suaranya, seperti kita menanti suara Presiden kita dalam masalah antara KPK dan Polri beberapa waktu silam.
Ternyata yang menjadi kekhawatiran pasukan benar-benar terjadi!
Kapal-kapal itu dibakar habis. Tidak ada yang tersisa. Semuanya ludes
terbakar, tanpa menyisakan satu kapalpun. Kepulan asap hitam membumbung
tinggi, menutupi langit biru selat nan indah tersebut.
“Hanya ada satu pilihan: maju ke depan, maju dan terus maju. Tak ada kata mundur! Kita harus menang!”
demikian kalimat pernyataan menyongsong kemenangan dengan segala tekad
bajanya. Sebuah kalimat bergerak maju pantang mundur yang teilhami
firman Allah dalam Surah Ali Imran ayat 159 : “Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Kita bisa menjadi pemenang dalam segala lapangan kehidupan bila kita
tidak tinggal diam, duduk-duduk saja, pasif, tapi bangkit dari kursi
kemalasan, menggerakkan kaki, tangan, dan hati kita, dalam tiap hembusan
nafas, dengan pertolongan Allah.
Seorang ulama salaf, Hasan Al-Bashri, mengatakan,
“Jauhilah sifat
menunda-nunda. Nilai dirimu tergantung pada hari ini, bukan besok.
Kalau besok engkau beruntung, maka keuntunganmu akan bertambah bila hari
ini engkau telah beramal. Dan kalau toh besok engkau rugi, engkau
takkan menyesal, karena hari ini engkau telah beramal.”
Jangan pernah lagi menunda. Sekarang juga kita harus melakukan
gerakan perubahan kepada diri kita sendiri, keluarga, kemudian
masyarakat, bangsa dan negara. Dengan mengambil hikmah haji sebagai
ibadah yang sarat gerakan, kita bisa dan mampu memperbaiki keadaan yang
ada saat ini.
“Sesungguhnya dalam pergerakan ada keberkahan luar biasa,”
bunyi sebuah pameo klasik. Belajar dari haji, belajar untuk bergerak demi keberkahan yang luar biasa.
Pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Kota Malang
0 komentar:
Posting Komentar