Beberapa Adab Terhadap Orang Tua
Berikut ini beberapa adab yang baik dan akhlak yang mulia kepada orang tua...
1. Tidak memandang orang tua dengan pandangan yang tajam atau tidak menyenangkan
2. Tidak meninggikan suara ketika berbicara dengan orang tua
Dalil kedua ada di atas adalah hadits Al Musawwir bin Makhramah radhiallahu’anhu mengenai bagaimana adab para Sahabat Nabi terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, disebutkan di dalamnya:
وإذا تكَلَّمَ خَفَضُوا أصواتَهم عندَه ، وما يُحِدُّون إليه النظرَ؛ تعظيمًا له
“jika para sahabat berbicara dengan Rasulullah, mereka
merendahkan suara mereka dan mereka tidak memandang tajam sebagai bentuk
pengagungan terhadap Rasulullah” (HR. Al Bukhari 2731).
Syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan: “setiap adab di atas terdapat
dalil yang menunjukkan bahwa adab-adab tersebut merupakan sikap
penghormatan”.
Maka dari hadits ini merendahkan suara dan tidak memandang dengan
tajam merupakan akhlak yang mulia dan sikap penghormatan yang tentu
sangat layak untuk kita terapkan kepada orang tua. Karena merekalah
orang yang paling layak mendapatkan perlakuan yang paling baik dari
kita. Sebagaimana telah dijelaskan pada materi sebelumnya.
3. Tidak mendahului mereka dalam berkata-kata
Diantara adab yang mulia kepada orang tua adalah tidak mendahului
mereka dalam berkata-kata dan mempersilakan serta membiarkan mereka
berkata-kata terlebih dahulu hingga selesai. Lihatlah bagaimana Abdullah
bin Umar radhiallahu’anhu menerapkan adab ini. Beliau berkata:
كنَّا عندَ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليْهِ
وسلَّمَ فأتيَ بِجُمَّارٍ، فقالَ: إنَّ منَ الشَّجرةِ شجَرةً، مثلُها
كمَثلِ المسلِمِ ، فأردتُ أن أقولَ: هيَ النَّخلةُ، فإذا أنا أصغرُ القومِ،
فسَكتُّ، فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ: هيَ النَّخلةُ
“kami pernah bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di Jummar,
kemudian Nabi bersabda: ‘Ada sebuah pohon yang ia merupakan permisalan
seorang Muslim’. Ibnu Umar berkata: ‘sebetulnya aku ingin menjawab:
pohon kurma. Namun karena ia yang paling muda di sini maka aku diam’.
Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun memberi tahu jawabannya
(kepada orang-orang): ‘ia adalah pohon kurma’” (HR. Al Bukhari 82, Muslim 2811).
Ibnu Umar radhiallahu’anhuma melakukan demikian karena
adanya para sahabat lain yang lebih tua usianya walau bukan orang
tuanya. Maka tentu adab ini lebih layak lagi diterapkan kepada orang
tua.
4. Tidak duduk di depan orang tua sedangkan mereka berdiri
Dalilnya hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu:
اشتكى رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
فصلينا وراءَه وهو قاعدٌ, وأبو بكرٍ يُسْمِعُ الناسَ تكبيرَه, فالتفتَ
إلينا فرآنا قيامًا فأشار إلينا فقعدنا, فصلينا بصلاتِه قعودًا. فلما
سلَّمَ قال: إن كدتُم آنفًا لتفعلون فعلَ فارسَ والرومِ, يقومون على
ملوكِهم وهم قعودٌ. فلا تفعلوا. ائتموا بأئمَّتِكم. إن صلى قائمًا فصلوا
قيامًا وإن صلى قاعدًا فصلوا قعودًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengaduh (karena sakit),
ketika itu kami shalat bermakmum di belakang beliau, sedangkan beliau
dalam keadaan duduk, dan Abu Bakar memperdengarkan takbirnya kepada
orang-orang. Lalu beliau menoleh kepada kami, maka beliau melihat kami
shalat dalam keadaan berdiri. Lalu beliau memberi isyarat kepada kami
untuk duduk, lalu kami shalat dengan mengikuti shalatnya dalam keadaan
duduk. Ketika beliau mengucapkan salam, maka beliau bersabda, ‘kalian
baru saja hampir melakukan perbuatan kaum Persia dan Romawi, mereka
berdiri di hadapan raja mereka, sedangkan mereka dalam keadaan duduk,
maka janganlah kalian melakukannya. Berimamlah dengan imam kalian. Jika
dia shalat dalam keadaan berdiri, maka shalatlah kalian dalam keadaan
berdiri, dan jika dia shalat dalam keadaan duduk, maka kalian shalatlah
dalam keadaan duduk” (HR. Muslim, no. 413).
Para ulama mengatakan dilarangnya hal tersebut karena merupakan
kebiasaan orang kafir Persia dan Romawi. Maka hendaknya kita menyelisihi
mereka.
5. Lebih mengutamakan orang tua daripada diri sendiri atau iitsaar dalam perkara duniawi
Hendaknya kita tidak mengutamakan diri kita sendiri dari orang tua
dalam perkara duniawi seperti makan, minum, dan perkara
lainnya. Sebagaimana hadits dalam Shahihain mengenai kisah yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
mengenai tiga orang yang terjebak di dalam gua yang tertutup batu
besar, kemudian mereka bertawassul kepada Allah dengan amalan-amalan
mereka, salah satunya berkata:
اللهمّ ! إنه كان لي والدان شيخان كبيران .
وامرأتي . ولي صبيةٌ صغارٌ أرعى عليهم . فإذا أرحتُ عليهم ، حلبتُ فبدأتُ
بوالدي فسقيتُهما قبل بنيّ . وأنه نأى بي ذاتَ يومٍ الشجرُ . فلم آتِ حتى
أمسيتُ فوجدتُهما قد ناما . فحلبتُ كما كنت أحلبُ . فجئتُ بالحلابِ . فقمت
عند رؤوسِهما . أكرهُ أن أوقظَهما من نومِهما . وأكرهُ أن أسقيَ الصبيةَ
قبلهما . والصبيةُ يتضاغون عند قدمي . فلم يزلْ ذلك دأبي ودأبُهم حتى طلع
الفجرُ . فإن كنت تعلم أني فعلتُ ذلك ابتغاءَ وجهِك ، فافرجْ لنا منه فرجةً
، نرى منها السماءَ . ففرج اللهُ منه فرجةً . فرأوا منها السماءَ
“Ya Allah sesungguhnya saya memiliki orang tua yang sudah tua
renta, dan saya juga memiliki istri dan anak perempuan yang aku beri
mereka makan dari mengembala ternak. Ketika selesai menggembala, aku
perahkan susu untuk mereka. Aku selalu dahulukan orang tuaku sebelum
keluargaku. Lalu suatu hari ketika panen aku harus pergi jauh, dan aku
tidak pulang kecuali sudah sangat sore, dan aku dapati orang tuaku sudah
tidur. Lalu aku perahkan untuk mereka susu sebagaimana biasanya, lalu
aku bawakan bejana berisi susu itu kepada mereka. Aku berdiri di sisi
mereka, tapi aku enggan untuk membangunkan mereka. Dan aku pun enggan
memberi susu pada anak perempuanku sebelum orang tuaku. Padahal anakku
sudah meronta-ronta di kakiku karena kelaparan. Dan demikianlah terus
keadaannya hingga terbit fajar. Ya Allah jika Engkau tahu aku melakukan
hal itu demi mengharap wajahMu, maka bukalah celah bagi kami yang kami
bisa melihat langit dari situ. Maka Allah pun membukakan sedikit celah
yang membuat mereka bisa melihat langit darinya“.
Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Wabillahi at taufiiq was sadaad.
Referensi: Fiqhul Ta’amul ma’al Walidain, Asy Syaikh Al Muhaddist Musthofa Al ‘Adawi hafizhahullah
0 komentar:
Posting Komentar