Dua Kalimat Sehati
“Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah
melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah
menerima taubatnya.” (QS. Al-Maidah: 39).
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa sebagian ulama
berpendapat jika istighfar disebutkan terpisah dari taubat, maka makna
istighfar serupa makna taubat, bahkan merupakan taubat itu sendiri.
Dalam istigfar kita diajak meminta ampunan dari Allah sehingga dosa
menjadi dihapuskan Allah, hilang segala dampak dosanya dan dijaga Allah
dari berbagai keburukan, dosa dan maksiat.
Ini berbeda dengan pandnagan
sebagian orang yang menyatakan ampunan adalah tertutupnya dosa kita.
Karena Allah menutupi dosa orang yang memohon ampun kepada-Nya dan yang
tidak memohon ampun kepada-Nya. Sungguh ditutupinya dosa adalah
konsekuensi dari diampuninya dosa atau sebagian dari konsekuensinya.
Sekarang tanyakan dalam diri Anda, sudah beristigfar hari ini? Ustadz Saifudin Hakim menambahkan, jika taubat dan istighfar
disebutkan secara bersamaan. Ini sesuai firman Allah, “Dan hendaklah
kamu meminta ampun kepada Tuhanmu kemudian bertaubat kepada-Nya.” (QS.
Huud: 3).
Sebagian ulama berpendapat istighfar adalah bertaubat dari
dosa-dosa yang sudah terjadi pada masa lalu dan masa kini. Sedangkan
taubat adalah istighfar dari dosa yang mungkin akan terjadi setelah dosa
tersebut benar-benar terjadi. Untuk itu, makna ayat menjadi
bertaubatlah kepada Rabb kalian atas dosa-dosa yang telah kalian lakukan
dan bertaubatlah kepada-Nya dari dosa-dosa yang akan kalian lakukan.
Kata “kemudian” dalam ayat di atas zahirnya menunjukkan waktu yang akan
datang.
Dalam membahas istigfar, kita akan menemukan banyak sekali
keutamaan yang luar biasa.
Pertama, Istighfar membuat kita diampuni dan
dihapuskan dosanya oleh Allah SWT. “Setiap anak cucu Adam pasti pernah
berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah ialah orang yang
banyak bertaubat.(HR. At-Tirmidzi) Ketika bermaksiat, manusia sedang
menzalimi dirinya sebagaimana dahulu nabiyullah Adam as berbuat zalim
dengan melanggar perintah Allah mengenai buah yang diharam untuk
dimakannya. Dampaknya, Allah menurunkan Adam dan Hawa ke bumi sebagai
ujian agar keduanya bertaubat kepada Allah.
Tidak sedikit ayat yang berkaitan mengenai istigfar, sehingga
menyebabkan seorang Rasulullah SAW yang sudah menyandang predikat
terbebas dari dosa tetap istigfar minimal 100 kali setiap harinya. Sang
Nabi mulia mencontohkan umatnya untuk memohon ampun kepada Allah sebab
potensi dosa dan maksiat tersaji di hadapannya setiap harinya. “Dan,
barangsiapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia
memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisaa: 110)
Kedua, istighfar dapat melapangkan rizki seorang hamba. Rizki di
sini tak hanya dimaknai harta semata, melainkan berbagai kenikmatan
Allah lainnya seperti kesehatan, pendidikan dan waktu luang. Pengertian
rezeki harus dimaknai secara uas sebagai sesuatu yang diberikan Allah
kepada hambanya yang terbaik. “Beristighfarlah kepada Tuhanmu
sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun niscaya Dia akan mengirimkan
hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan
mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan(pula di dalamnya) untukmu
sungai-sungai”. (QS. Nuh :10-12)
Ketika diejek kaumnya karena membangun kapal besar dalam usaha
menghindari adzab Allah, Nuh selalu berusaha istigfar, memohon ampunan
Allah atas segala dosa diri dan kaumnya. Nuh mencegah datangnya adzab
Allah dan memohon rezeki agar dapat diselamatkan dari adzab banjir
besar. Nuh menyadarkan kita, manusia kekinian agar menghindari maksiat
yang menghalangi seorang manusia mendapatkan kelancaran rezeki dan
nikmat Allah. Serupa itu, Sulaiman memperbanyak istigfar, bertaubat
kepada Allah atas kezaliman Ratu Negeri Saba yang syirik kepada Allah.
Ketiga, istighfar menghindarkan hamba dari siksa Allah dan
musibahnya. Istighfar dapat melapangkan dada atau hati seorang hamba
sebab mengakui betapa lemah dirinya di hadapan Allah. Jika sudah pasrah
kepada Allah, maka hati terasa sesak jika berbuat maksiat dan dosa.
Seorang yang mengakui secara lapang dada atas segala dosanya sangat malu
jika masih saja bertaubat setengah hati.
Taubat setengah hati
bagaikan sebuah kalimat bijak, “Istigfar di pagi hari, bertaubatan
nasuha. Di sore hari sibuk bermaksiat dan melupakan Allah” Dan Allah
sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara
mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka
meminta ampun” (QS Al Anfal: 33)
0 komentar:
Posting Komentar