Mbak, Apa alasanmu tidak segera Berjilbab?
Saudariku, Apa yang Menghalangimu
untuk Berjilbab?
Saudariku…
Seorang mukmin dengan mukmin lain ibarat cermin. Bukan cermin yang memantulkan bayangan fisik, melainkan cermin yang menjadi refleksi akhlak dan tingkah laku. Kita dapat mengetahui dan melihat kekurangan kita dari saudara seagama kita. Cerminan baik dari saudara kita tentulah baik pula untuk kita ikuti. Sedangkan cerminan buruk dari saudara kita lebih pantas untuk kita tinggalkan dan jadikan pembelajaran untuk saling memperbaiki.
Seorang mukmin dengan mukmin lain ibarat cermin. Bukan cermin yang memantulkan bayangan fisik, melainkan cermin yang menjadi refleksi akhlak dan tingkah laku. Kita dapat mengetahui dan melihat kekurangan kita dari saudara seagama kita. Cerminan baik dari saudara kita tentulah baik pula untuk kita ikuti. Sedangkan cerminan buruk dari saudara kita lebih pantas untuk kita tinggalkan dan jadikan pembelajaran untuk saling memperbaiki.
Saudariku…
Tentu engkau sudah mengetahui bahwa Islam mengajarkan kita untuk saling
mencintai. Dan salah satu bukti cinta Islam kepada kita –kaum wanita– adalah
perintah untuk berjilbab. Namun, kulihat engkau masih belum mengambil “kado
istimewa” itu. Kudengar masih banyak alasan yang menginap di rongga-rongga
pikiran dan hatimu setiap kali kutanya, “Kenapa jilbabmu masih belum kau
pakai?” Padahal sudah banyak waktu kau luangkan untuk mengkaji ayat-ayat
Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
perintah jilbab. Sudah sekian judul buku engkau baca untuk memantapkan hatimu
agar segera berjilbab. Juga ribuan surat cinta dari saudarimu yang menginginkan
agar jilbabmu itu segera kau kenakan. Lalu kenapa, jilbabmu masih terlipat rapi
di dalam lemari dan bukan terjulur untuk menutupi dirimu?
Mengapa Harus Berjilbab?
“Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar rumah, maka syaithan akan
menghiasinya.” (Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi (no.
1173), Ibnu Khuzaimah (III/95) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (no.
10115), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma)
Saudariku,
Berjilbab bukan hanya sebuah identitas bagimu untuk menunjukkan
bahwa engkau adalah seorang muslimah. Tetapi jilbab adalah suatu bentuk
ketaatanmu kepada Allah Ta’ala, selain shalat, puasa, dan ibadah lain yang
telah engkau kerjakan. Jilbab juga merupakan konsekuensi nyata dari seorang
wanita yang menyatakan bahwa dia telah beriman kepada Allah Ta’ala dan
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, jilbab juga
merupakan lambang kehormatan, kesucian, rasa malu, dan kecemburuan. Dan semua
itu Allah jadikan baik untukmu. Tidakkah hatimu terketuk dengan kasih sayang
Rabb kita yang tiada duanya ini?
“Aku Belum Berjilbab, Karena…”
# “Kalau aku pakai jilbab, nanti tidak ada laki-laki yang mau menikah
denganku. Jadi, aku pakai jilbabnya nanti saja, sesudah menikah.”
Wahai saudariku…
Tahukah engkau siapakah lelaki yang datang meminangmu itu,
sementara engkau masih belum berjilbab? Dia adalah lelaki dayyuts,
yang tidak memiliki perasaan cemburu melihatmu mengobral aurat sembarangan.
Bagaimana engkau bisa berpendapat bahwa setelah menikah nanti, suamimu itu akan
ridha membiarkanmu mengulur jilbab dan menutup aurat, sementara sebelum
pernikahan itu terjadi dia masih santai saja mendapati dirimu tampil dengan
pakaian ala kadarnya? Jika benar dia mencintai dirimu, maka seharusnya dia
memiliki perasaan cemburu ketika melihat auratmu terbuka barang sejengkal saja.
Dia akan menjaga dirimu dari pandangan liar lelaki hidung belang yang
berkeliaran di luar sana. Dia akan lebih memilih dirimu yang berjilbab daripada
dirimu yang tanpa jilbab. Inilah yang dinamakan pembuktian cinta yang hakiki!
Maka, jika datang seorang lelaki yang meminangmu dan ridha atas keadaanmu
yang masih belum berjilbab, waspadalah. Jangan-jangan dia adalah lelaki dayyuts
yang menjadi calon penghuni Neraka. Sekarang pikirkanlah olehmu saudariku,
kemanakah bahtera rumah tanggamu akan bermuara apabila nahkodanya adalah calon
penghuni Neraka?
# “Pakai jilbab itu ribet dan mengganggu pekerjaan. Bisa-bisa nanti aku
dipecat dari pekerjaan.”
Saudariku…
Islam tidak pernah membatasi ruang gerak seseorang selama hal
tersebut tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah. Akan tetapi, Islam
membatasi segala hal yang dapat membahayakan seorang wanita dalam melakukan
aktivitasnya baik dari sisi dunia maupun dari sisi akhiratnya. Jilbab yang
menjadi salah satu syari’at Islam adalah sebuah penghargaan sekaligus
perlindungan bagi kaum wanita, terutama jika dia hendak melakukan aktivitas di
luar rumahnya. Maka dengan perginya engkau untuk bekerja di luar rumah tanpa
jilbab justru akan mendatangkan petaka yang seharusnya dapat engkau hindari.
Alih-alih mempertahankan pekerjaan, engkau malah menggadaikan kehormatan dan
harga dirimu demi setumpuk materi.
Tahukah engkau saudariku, siapa yang memberimu rizki? Bukankah Allah Rabb
yang berada di atas ‘Arsy-Nya yang memerintahkan para malaikat untuk
membagikan rizki kepada setiap hamba tanpa ada yang dikurangi barang
sedikitpun? Mengapa engkau lebih mengkhawatirkan atasanmu yang juga rizkinya
bergantung kepada kemurahan Allah?
Apakah jika engkau lebih memilih untuk tetap tidak berjilbab, maka atasanmu
itu akan menjamin dirimu menjadi calon penghuni Surga? Ataukah Allah ‘Azza wa
Jalla yang telah menurunkan perintah ini kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang akan mengadzabmu akibat kedurhakaanmu itu? Pikirkanlah
saudariku… Pikirkanlah hal ini baik-baik!
# “Jilbab itu bikin gerah, dan aku tidak kuat kepanasan.”
Saudariku…
Panas mentari yang engkau rasakan di dalam dunia ini tidak
sebanding dengan panasnya Neraka yang akan kau terima kelak, jika engkau masih
belum mau untuk berjilbab. Sungguh, dia tidak sebanding. Apakah engkau belum
mendengar firman Allah yang berbunyi,
“Katakanlah: ‘(Api) Neraka Jahannam itu lebih sangat panas. Jika mereka
mengetahui.’” (Qs. At-Taubah: 81)
Dan sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya,
“Sesungguhnya api Neraka Jahannam itu dilebihkan panasnya (dari panas api
di bumi sebesar) enam puluh sembilan kali lipat (bagian).” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 2843) dan Ahmad (no.
8132). Lihat juga Shahih Al-Jaami' (no. 6742), dari Shahabat Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu]
Manakah yang lebih sanggup engkau bersabar darinya, panasnya matahari di
bumi ataukah panasnya Neraka di akhirat nanti? Tentu engkau bisa menimbangnya
sendiri…
# “Jilbab itu pilihan. Siapa yang mau pakai jilbab silakan, yang belum
mau juga gak apa-apa. Yang penting akhlaknya saja benar.”
Duhai saudariku…
Sepertinya engkau belum tahu apa yang dimaksud dengan
akhlak mulia itu. Engkau menafikan jilbab dari cakupan akhlak mulia, padahal
sudah jelas bahwa jilbab adalah salah satu bentuk perwujudan akhlak mulia. Jika
tidak, maka Allah tidak akan memerintahkan kita untuk berjilbab, karena dia
tidak termasuk ke dalam akhlak mulia.
Pikirkanlah olehmu baik-baik, adakah Allah memerintahkan hamba-Nya untuk
berakhlak buruk? Atau adakah Allah mengadakan suatu ketentuan yang tidak
termasuk dalam kebaikan dan mengandung manfaat yang sangat besar? Jika engkau
menjawab tidak ada, maka dengan demikian engkau telah membantah pendapatmu sendiri
dan engkau telah setuju bahwa jilbab termasuk ke dalam sekian banyak akhlak
mulia yang harus kita koleksi satu persatu. Bukankah demikian?
Ketahuilah olehmu, keputusanmu untuk tidak mengenakan jilbab akan membuat
Rabb-mu menjadi cemburu, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda yang artinya,
“Sesungguhnya Allah itu cemburu dan seorang Mukmin juga cemburu. Adapun
cemburunya Allah disebabkan oleh seorang hamba yang mengerjakan perkara yang
diharamkan oleh-Nya.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no.
4925) dan Muslim (no. 2761)]
# “Sepertinya Allah belum memberiku hidayah untuk segera berjilbab.”
Saudariku…
Hidayah Allah tidak akan datang begitu saja, tanpa engkau
melakukan apa-apa. Engkau harus menjalankan sunnatullah, yakni dengan mencari
sebab-sebab datangnya hidayah tersebut.
Ketahuilah bahwa hidayah itu terbagi menjadi dua, yaitu hidayatul bayan
dan hidayatut taufiq. Hidayatul bayan adalah bimbingan
atau petunjuk kepada kebenaran, dan di dalamnya terdapat campur tangan manusia.
Adapun hidayatut taufiq adalah sepenuhnya hak Allah. Dia
merupakan peneguhan, penjagaan, dan pertolongan yang diberikan Allah kepada
hati seseorang agar tetap dalam kebenaran. Dan hidayah ini akan datang setelah hidayatul
bayan dilakukan.
Janganlah engkau jual kebahagiaanmu yang abadi dalam Surga kelak dengan
dunia yang fana ini. Buanglah jauh-jauh perasaan was-wasmu itu. Tempuhlah usaha
itu dengan berjilbab, sementara hatimu terus berdo’a kepada-Nya,
“Allahummahdini wa saddidni. Allahumma tsabit qolbi ‘ala dinik (Yaa Allah,
berilah aku petunjuk dan luruskanlah diriku. Yaa Allah, tetapkanlah hatiku di
atas agama-Mu).”
0 komentar:
Posting Komentar