Kumpulkan Kembali Kapas-Kapas Itu!
Berhati-hatilah menjaga lidah karena ketajamannya bisa melebihi
pedang, bahkan bisa mematikan kehidupan seseorang sedangkan nyawa masih
melekat di badan. Fitnah yang ditimbulkan lidah adalah lebih kejam dari
pembunuhan, hal ini sudah sering kali kita dengar.
Dan kultum yang aku
ikuti di masjid Asy- Syifa bada’ sholat Dzuhur siang itu kembali
menyadarkanku, bukan saja dasyatnya efek yang ditimbulkan fitnah, tapi
juga betapa sulitnya menebus kesalahan, memulihkan nama baik dan hak-hak
kehidupan mereka yang menjadi korban.
Adalah si Fulan, yang karena rasa iri dan dengkinya kepada seorang
tokoh terkemuka, kemudian tega menfitnah sang tokoh. Dalam waktu
sekejap, fitnah terhadap sang tokoh menyebar hingga ke pelosok desa,
bersambung dari mulut warga yang satu ke warga yang lainnya. Terlebih
orang yang menjadi korban fitnah ini adalah orang yang selama ini
terpandang, memilki pengaruh di masyarakatnya.
Kabar fitnah yang menghebohkan akhirnya sampai ke telinga sang tokoh,
termasuk siapa yang pertama kali menyebarkan berita tidak benar ini.
Tidak terpancing emosi, sebaliknya sang tokoh tenang-tenang saja
menanggapi berita miring tentang dirinya yang kini menjadi perbincangan
hampir seluruh warga di setiap tempat dan pertemuan. Ia yakin bahwa
kebenaran akan menemukan jalannya, siapa yang berdusta akan terbongkar
kedoknya, hanya tinggal menunggu waktunya saja.
Keyakinan sang tokoh terbukti. Beberapa hari setelah fitnah menyebar
ke seluruh masyarakat tanpa sedikitpun membuat sang tokoh tersulut
emosinya, datanglah si fulan ke rumah sang tokoh. Dengan berurai air
mata, ia mengakui semua kejahatannya, sengaja menyebarkan berita dusta
kepada masyarakat. Sang tokoh yang sudah tahu sebelum si fulan mengaku,
hanya tersenyum dan mengabulkan permohonan maaf sang fulan.
“Apa yang harus saya lakukan untuk menebus kesalahan? Apa tidak
terlalu ringan jika anda hanya memaafkan tanpa member saya hukuman?” Si
fulan masih belum yakin dengan pemberian maaf sang tokoh. Menurutnya,
akan lebih tenang batinnya apabila selain memohon maaf, ia melakukan
sesuatu sebagai bukti bahwa ia benar-benar menyesal dan sang tokoh
memaafkan tanpa rasa dendam sedikitpun. Bekerja tanpa dibayar sekalipun
akan fulan sanggupi bila memang itu yang sang tokoh kehendaki.
“Aku sudah memaafkan dirimu, sebelum dirimu datang dan meminta maaf
padaku. Hanya saja, jika kau kau meminta hukuman agar tenang hatimu, aku
hanya ingin besok engkau datang lagi kesini dengan membawa sekarung
kapas” jawab sang tokoh tenang.
“Baik! Besok saya akan datang dengan sekarung kapas yang engkau
minta” fulan senang bukan kepalang. Betapa gampang ia mendapatkan maaf,
bahkan tebusan kesalahannyapun hanya sekarung kapas. Dengan mudah ia
bisa mendapatkan kapas dari pohon randu yang banyak tumbuh di
pekarangannya. Apalagi saat ini pohon randu itu sedang berbunga.
Barangkali sang tokoh yang pernah ia fitnah ini sedang menginginkan
bantal kapas yang benar-benar empuk. Kalau tahu hanya akan diminta
sekarung kapas, tak perlu ia ketakutan begitu rupa membayangkan sang
tokoh tidak mau memaafkan bahkan akan memberikan hukuman yang berat,
begitu pikir fulan.
Sehari berikutnya, dengan wajah sumringah si fulan kembali mendatangi
rumah sang tokoh dengan sekarung kapas yang dimintanya. Seberapa berat
sih kapas sekarung, cukup dengan satu tangan si fulan bisa membawanya
tanpa harus mengeluarkan tenaga yang berarti.
“Letakkan kapas itu di tengah halaman” sang tokoh memberikan
instruksi pada si fulan. “Nanti, ketika angin bertiup kencang, buka
ikatan karungnya” sang tokoh menambahkan.
Semula fulan berpikir sang tokoh ingin melihat apakah kapas yang
dibawanya benar-benar sudah kering dan berkualitas bagus. Tapi membuka
ikatan karung saat angin bertiup kencang sungguh tak fulan mengerti apa
yang sang tokoh inginkan.
“Ah, peduli amat apa yang ia inginkan. Yang penting aku sudah
membawakan kapas yang ia minta. Paling-paling nanti setelah karung aku
buka dan kapas terbang terbawa angin, aku hanya diminta membersihkan
halaman dari kapas-kapas yang berserakan. Sangat mudah! Apalagi kalau
anginnya kencang, otomatis halaman rumah ini akan bersih dengan
sendirinya. Sungguh aneh sang tokoh ini. Begitu mudah ia memaafkan,
bahkan memberi hukuman saja seperti mainan” pikir si fulan.
Begitu angin bertiup kencang, dengan santainya si fulan membuka
ikatan karung yang berisi kapas di tengah halaman. Bahkan ia sengaja
membuka karung itu lebar-lebar agar kapas dalam karung itu cepat habis
terbawa angin dan selesai sudah hukumannya.
“Kapasnya sudah habis terbawa angin, bahkan tak satupun yang tersisa
di halaman. Masih adakah yang harus saya kerjakan?” tanya fulan dengan
senyum lega di bibirnya.
“Engkau ingin benar-benar kesalahanmu menfitnah terhapus ?” tanya
sang tokoh tenang. Ada sesuatu yang sama sekali tak diduga oleh si
fulan. Senyum di bibirnya nyata sekali menunjukan bahwa dia merasa semua
urusannya selesai sudah.
“Ya, tentu saja. Katakan apa lagi yang harus saya lakukan? Saya akan
segera lakukan dan setelah itu saya akan segera pulang, anak dan istri
saya sudah menunggu di rumah” jawab si fulan tak sabar. Ia ingin segera
terbebas dari semua rasa bersalahnya pada sang tokoh.
“Baiklah kalau kau menyanggupinya. Sekarang, kamu ambil karung itu
dan kumpulkan kembali semua kapas-kapas tadi, jangan ada yang tercecer
sedikitpun” jawab sang tokoh.
“Mengumpulkan kembali kapas-kapas yang sudah menyebar terbawa angin?
Mana mungkin?!” si fulan benar-benar terkejut. Jika bukan karena
kesalahan yang telah ia lakukan, ingin sekali rasanya dia marah. Ia
putus asa. Ia telah menyanggupi apapun yang akan diminta sang tokoh,
tapi kini tak mungkin baginya mengumpulkan kembali kapas-kapas yang
sudah terbawa angin, terbang entah kemana.
Sang tokoh sudah menduga bahwa si fulan tidak akan mampu melakukan
apa yang ia minta. Dengan tenang ia menghampiri fulan. “Begitulah ketika
fitnah kau sebarkan. Bagai kapas yang diterbangkan angin, menyebar ke
seluruh arah. Sulit dikendalikan, bersambung dari mulut yang satu ke
mulut yang lainnya, hingga seluruh masayarakat tahu dan percaya akan
berita dusta yang kau sampaikan. Aku hanya manusia, tak pantas berlaku
angkuh dan tak memaafkanmu. Tapi, apakah dengan permohonan maafmu lantas
semua pandangan negatif orang tentang diriku berubah seketika? Dalam
benak mereka sudah terekam berita palsu tentang diriku. Sekarang berapa
banyak orang yang termakan fitnahanmu, kau sendiri tidak bisa
memastikan. Meskipun kau datangi mereka satu persatu, tak bisa
mengembalikan keadaan seperti semula sebelum mereka termakan dustamu”
tenang sang tokoh menjelaskan.
Si fulan terkulai lemas, air matanya jatuh tak tertahan lagi. Ia
menangis dan menyesali. Betapa dasyat fitnah yang telah ia ciptakan. Dan
ia lebih menangis karena karena betapa sulit baginya untuk
mengembalikan keadaan, membersihkan nama baik sang tokoh dan
mengembalikan hak-hak hidupnya seperti semula. Benar kata sang tokoh
bahwa ia tak tahu pasti berapa banyak orang yang sudah termakan
fitnahannya. Tidak mudah menghentikan berita yang terlanjur menyebar.
Tidak gampang mengubah opini dan menghapus image buruk masyarakat
terhadap sang tokoh. Si fulan terus menangis, dan tangisannya tak mampu
mengembalikan keadaan.
Satu pelajaran berharga dari kisah si fulan di atas. Merinding aku
membayangkan betapa dasyat dampak yang diakibatkan oleh sebuah fitnah.
Fitnah lebih kejam dari pembunuhan kiranya bukan sebatas ungkapan saja,
tapi nyata adanya. Bagaimana tidak, seseorang yang menjadi korban fitnah
akan kehilangan nama baiknya, kehilangan hak-haknya, kehilangan
kehidupannya sementara nyawa masih berada dalam tubuhnya. Juga, betapa
sulit untuk mencabut, meralat fitnahan yang sudah terlanjur menyebar.
Bersambung, berpindah dari satu mulut ke mulut lainnya. Tak terkendali
seberapa jauh ia akan menyebar, seberapa banyak orang yang akan termakan
dan akhirnya turut menyebarkan fintah itu.
Ngeri rasanya membayangkan jadi korban fitnah, apalagi menjadi penyebar fitnah. Astaghfirulloh!
Betapa sulit menebus kesalahan yang terlanjur dilakukan meskipun sang
korban telah memaafkan namun tidak berarti selesai semua urusan. Masih
ada keharusan membersihkan nama baik korban, mengembalikan semua hak-hak
yang terampas, membalikan opini masyarakat yang terlanjur terbentuk.
Sungguh sangat tidak mudah, apalagi apabila si korban sudah terlanjur
meniggal sementara maaf belum didapatkan. Astaghfirulloh! Nau’zubillah!
Berhati-hati dalam memberikan tanggapan ataupun penilaian, barangkali
bisa dijadikan salah satu solusi untuk membentengi diri dari
menciptakan fitnah. Bukan tidak mungkin, tanpa kita sadari prasangka,
pernyataan yang kita sampaikan adalah fintah bagi pihak lain.
Astaghfirulloh!
Menyampaikan pendapat atau dugaan pribadi tentang seseorang tanpa
konfirmasi akan kebenarannya, kemudian mengatakan seolah hal itu adalah
benar hingga kemudian orang mempercayainya, apakah termasuk juga fitnah?
Bagaimana menurut anda? Ya Allah, lindungi hamba dan keluarga hamba dari kejamnya fitnah
dunia yang selalu mengintai dari depan dan belakang, kiri dan juga
kanan. Juga lindungi, bimbing dan jauhkan kami dari membuat dan atau
menyebarkan fitnah yang membinasakan.
Amin ya robbal ‘alamin.
0 komentar:
Posting Komentar