Jadikan Ujian Sebagai Hiasan Kehidupan
Apapun yang bernama ujian dalam hidup, hakekatnya, Allah Ta'ala telah sesuaikan dengan kemampuan makhluk-Nya .
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ اْلمَوْتِ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَاْلخَيْرِ فِتْْنَةٌ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan
(yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”
(QS. Al-Anbiya’: 35)
TIDAK akan ada habisnya memperbincangkan masalah-masalah kehidupan
yang ada di sekitar kita. Setiap kita memiliki pengalaman yang
berbeda-beda dalam menghadapi setiap persoalan yang datang silih
berganti. Hidup selalu bergandengan dengan masalahnya, dan kita berusaha
sekuat tenaga menyelesaikannya dengan memohon pertolongan dari Allah
Ta'ala.
Setiap yang diberi hidup pasti akan mendapatkan bagiannya dalam hal
ujian. Apapun ujian yang dihadapi, baik itu masalah pribadi, problem
keluarga, perjuangan untuk kemaslahatan umat atau menegakkan agama
Allah, kesemuanya membutuhkan sikap cermat dan kesabaran yang utuh.
Pun tidak ada kesempatan untuk mengelak dari apa yang sudah
ditetapkan. Tidak juga dapat menghindar dari apa yang telah ditakdirkan.
Masing-masing di antara manusia mendapatkannya secara adil dan merata.
Jika terdapat seorang makhluk yang mampu berbuat baik secara sempurna
dalam beribadah kepada Allah dan ‘mumpuni’ dalam memberikan manfaat
bagi hamba-hamba-Nya yang lain, maka baginya bagian yang besar berupa
rahmat dari sisi Allah Ta’ala.
Sifat Manusia
Allah Ta'ala senantiasa memberikan yang terbaik kepada makhluk-Nya.
Potensi dan kelebihan melekat pada diri manusia. Meski demikian, manusia
memiliki kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri.
Setiap orang, saat dihadapkan pada masalah hidup, menjadi nyata dan
nampak sifat kemanusiaannya. Terhadap persoalan hidup yang susah dan
rumit orang cenderung mengeluh dan berkecil hati, seakan hidup ini tidak
adil. Orang menjadi beranggapan negatif terhadap Tuhan. "Mengapa
kesusahan hidup selalu menimpaku?", atau dengan ungkapan lain "Kapan
hidup keluargaku sejahtera dan berkecukupan?". Pertanyaan semacam itu
sangat mungkin muncul dalam kehidupan setiap orang.
Berkenaan dengan sifat manusia, Allah memberikan penjelasan
فإذا مسّ الإنسان ضرّ دعانا ثمّ إذا خوّلناه نعمة منّا قال إنّما أوتيته على علم بل هى فتنة ولكنّ أكثرهم لا يعلمون
"Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian
apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata:
"Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku".
Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak
mengetahui.” (QS: Az-Zumar ayat 49)
Terhadap segala macam nikmat dan ujian yang datang, manusia memiliki
pilihannya sendiri. Siapapun bisa melakukannya, antara bersyukur,
mengeluh, hingga kufur. Setiap pilihan membawa konsekuensi tersendiri
bagi pelakunya.
Kecenderungan sifat manusia hendaknya mendapat perhatian khusus.
Sifat manusia yang fluktuatif hendaknya dikelola, dikendalikan, dan
diarahkan kepada hal-hal positif yang menjadikan pribadi manusia mampu
menghadapi setiap tantangan yang dihadapi, ujian yang menghadang dan
cobaan yang menimpa. Bukan untuk memupuk rasa egoisme dan merasa diri
lebih baik atau lebih kuat dari yang lain.
Belajar dari Ujian
Di manapun dan kapanpun manusia akan menemukan ujian sesuai dengan
apa yang telah Allah Ta'ala tetapkan. Ketentuan-Nya berlaku bagi
siapapun tanpa terkecuali. Terhadap ujian yang diberikan itu hendaknya
manusia berpikir dan merenungi akan hikmah dan pelajaran berharga di
balik setiap ujian yang datang. Adakah itu peringatan, cobaan atau malah
hukuman?
Allah telah mensinyalir keadaan manusia terhadap ujian yang dihadapi, firman-Nya:
فأمّا الإنسانُ إذا ما ابتلاهُ ربّه فأكرمه ونعّمه فيقول ربّي أكرمني
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya
dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Tuhanku telah
memuliakanku".” (QS: Al-Fajr: 15)
Untuk itulah, sikap kita adalah pilihan kita. Menghadapi setiap ujian
itu dengan sebentuk kesadaran akan kekuasaan Allah Ta'ala, dan
pemaknaan ketidakberdayaan kita pada titik klimaks, dengan ujian
tersebut menjadi wahana untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan.
Dengan pengertian ini konsekuensinya setiap yang diuji dengan berbagai
macam kesulitan dan kesusahan, sikap sabar menjadi penguat
kepribadiannya. Pun jika diuji dengan berbagai macam keberlimpahan harta
dan kemudahan, sikap syukur dengan tidak melupakan bahwa apapun yang
diterima adalah pemberian dan rahmat dari Allah Ta'ala, kemudian ada
kepuasan dalam berbagi dengan sesama.
Namun jika perasaan prasangka negatif manusia cenderung dominan, maka akibatnya adalah sebagaimana firman-Nya:
وَأمّا إذَا ما ابتلاهُ فقدرَ عليهِ رزقهُ فيقولُ ربّي أهاننِ
“Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku".” (QS: Al-Fajr: 16)
Maksud ayat di atas adalah Allah menyalahkan orang-orang yang
mengatakan bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan
adalah suatu kehinaan seperti yang tersebut pada ayat 15 dan 16. Tetapi
sebenarnya kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Tuhan bagi
hamba-hamba-Nya.
Bagi mereka yang mendapat ujian berupa kesulitan hidup hendaknya
menjadikan kesabaran sebagai hiasan kehidupannya, dengan membangun
sebuah keyakinan bahwa kesulitan itu akan segera berganti kemudahan.
Dan, cepat atau lambat, hal itu mudah bagi Allah.
Bagi mereka yang diberi kemudahan dan kesejahteraan hidup hendaknya
mampu menunjukkan keteladanan nyata sebagaimana rasul saw dan para
sahabat contohkan, yaitu kemauan untuk berbagai dengan sesama, dan
kepedulian terhadap orang-orang sekitar yang berada di bawah garis
kemiskinan. Jangan dilupakan, kesadaran bahwa yang dimiliki sekarang
–dalam wujud kekayaan atau lainnya sejatinya hanya titipan belaka.
Sehingga jika Yang Maha Memiliki mengambilnya tidak akan merasa
kehilangan sedikitpun, karena hanya titipan. Kapan saja Sang Pemilik
berkehendak, akan menarik dan mencabutnya. Kesiapan dalam bentuk yang
sedemikian ini agak sulit dipraktekkan oleh mereka yang merasa memiliki
segalanya. Kadang keberlimpahan harta melalaikan siapapun. Silakan lihat
QS. At-Takatsur ayat 1.
Rasul, kekasih Allah juga diuji
Setiap utusan Allah membawa risalah yang harus disampaikan kepada
umatnya. Risalah tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan
tantangan yang diberikan. Para rasul yang termasuk Ulul 'Azmi adalah
orang-orang yang tangguh dan sabar dalam menghadapi berbagai macam
rintangan dan ujian. Betapa menegakkan agama Allah penuh dengan
perjuangan baik harta, pikiran maupun nyawa sekalipun. Perhatikan QS.
Al-Baqarah ayat 124:
وإذِ ابتلَى إبراهيمَ ربّهُ بكلماتٍ فأتمّهنّ قالَ إنّي جاعلكَ للنّاسِ إمامًا قالّ ومنْ ذرّيّتي قالَ لا ينالُ عهدِي الظّالمينَ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa
kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah
berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh
manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku".
Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".”
Di antara ujian terhadap Nabi Ibrahim alaihissalam adalah membangun
Ka'bah, membersihkan ka'bah dari kemusyrikan, mengorbankan anaknya
Ismail, menghadapi raja Namrudz dan lain-lain.
Di balik yang sedemikian hebat itu, Allah telah mengabulkan doa Nabi
Ibrahim, karena banyak di antara rasul-rasul itu adalah keturunan Nabi
Ibrahim. Sama halnya dengan Nabi Musa yang mendapat tantangan dakwah
sangat berat. Nabi Muhammad pun juga mengalami kesulitan,dan para
rasulpun merasakan hal yang sama, ujian dan cobaan datang silih
berganti. Namun Allah Ta'ala menjanjikan datangnya pertolongan, dan
setiap tantangan, kesulitan, ujian maupun cobaan semakin menambah
keyakinan akan kebenaran agama Allah.
Refleksi Ujian
Allah Ta'ala memberikan segala sesuatu kepada hamba-Nya berdasarkan
porsinya. Maknanya, jika kebaikan yang diberikan tidak sampai membuat
hamba-Nya lalai dari bersyukur. Pun jika keburukan yang ditimpakan tidak
akan melebihi kemampuan yang dimilikinya.
Mengapa Allah Ta'ala tidak memberikan beban melebihi kekuatan
manusia? Tentunya ada hikmah yang luar biasa di balik itu. Dia Yang Maha
Kuasa hendak menunjukkan kepada seluruh makhluk-Nya bahwa ada
keterbatasan pada makhluk dan tanpa batas pada Pencipta.
Demikian juga ada banyak kelemahan pada manusia, sementara Tuhan Maha
Sempurna. Maka makhluk yang bernama manusia selalu mendapatkan apa yang
sepadan dengan kekuatan yang dimilikinya. Apapun yang bernama ujian
dalam hidup, hakekatnya, Allah Ta'ala telah sesuaikan dengan kemampuan
makhluk-Nya untuk menghadapi hal tersebut.
لا يكلّفُ اللهُ نفسًا إلاّ وسعَها
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS: Al-Baqarah ayat 286)
Jika kesadaran akan kesanggupan yang dimiliki oleh setiap orang dalam
mengarungi bahtera kehidupan yang penuh ombak dan badai ini maka untuk
apa kita merasa berkecil hati atas segala sesuatu yang terjadi. Bukankah
beban hidup selalu dibawah kekuatan yang diberikan Allah pada kita.
Bukankah ujian itu sesuai dengan 'kelas' kita.
Setiap ujian yang menerpa selalu menjadi jalan untuk menapaki
tingkatan keimanan ke jenjang yang lebih tinggi. Setiap cobaan menjadi
batu loncatan untuk mengasah ketajaman nalar dan kepekaan sosial. Olah
jiwa sedemikian tidak diajarkan di sekolah manapun. Yang mendapatkannya
kapan dan di mana saja, di sanalah kesempatan untuk belajar dan menjadi
pribadi yang mampu mewujudkan sikap sabar yang proaktif dan sikap hidup
yang proaktif, tanpa adanya keluh kesah dan sikap apatis.
Penulis adalah peneliti pada Lembaga Kajian Agama Sosial Budaya & Filsafat "eLKASYF" Kudus
0 komentar:
Posting Komentar