Menjaga Iman Kita Agar Tetap Kuat
Bertambah ataupun berkurangnya
keimanan dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya adalah lingkungan
keimanan itu sendiri. Sudahkah keluarga, institusi pendidikan, dan
masyarakat menjadi tempat yang bisa menyemaikan keimanan anak-anak kita?
Iman
adalah nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang wajib disyukuri dan
dijaga. Sehingga ketika ada orang yang meminta nasihat kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menasihatkan untuk istiqamah di
atas iman.
Dari Abu ‘Amr –ada yang menyatakan pula Abi ‘Amrah– Sufyan bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا غَيْرَكَ. قَالَ: قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
Aku berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, sampaikanlah kepadaku satu perkataan yang aku tidak akan bertanya lagi setelahnya kepada selainmu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Katakanlah aku beriman kepada Allah kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim)
Di antara keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah, iman seseorang bisa bertambah dan berkurang. Hal ini berdasarkan banyak dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“Orang-orang (yang menaati Allah dan rasul), ada yang berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya manusia (yakni kaum musyrikin) telah berkumpul untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada mereka’. Maka perkataan itu (justru) menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung’.” (Ali ‘Imran: 173)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman (dengan iman yang hakiki) ialah mereka yang bila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Allah lah mereka bertawakal.” (Al-Anfal: 2)
وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ
“Dan apabila diturunkan suatu surat, di antara mereka ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kalian yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman maka surat ini menambah imannya dan mereka merasa gembira.” (At-Taubah: 125)
وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الْأَحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا
“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita, dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.’ Yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (Al-Ahzab: 22)
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al-Fath: 4)
وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلَّا مَلَائِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلَّا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ ءَامَنُوا إِيمَانًا
“Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat, dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk menjadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya.” (Al-Muddatstsir: 31)
Adapun hadits-hadits yang menunjukkan masalah ini banyak sekali. Di antaranya hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لـَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لـَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kalian melihat satu kemungkaran hendaklah mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan lisannya. Jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ
“Tidaklah aku melihat ada orang yang kurang akal dan agamanya yang membuat goyah hati lelaki yang kokoh selain salah seorang kalian (kaum wanita).”
Di antara dalil masalah ini adalah hadits Jundub bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu:
كُنَّا مَعَ النَّبـِيِّ n وَنَحْنُ فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ فَتَعَلَّمْنَا الْإِيمَانَ قَبْلَ أَنْ نَتَعَلَّمَ الْقُرْآنَ ثُمَّ تَعَلَّمْنَا الْقُرْآنَ فَازْدَدْنَا بِهِ إِيمَانًا
“Kami bersama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu kami para pemuda yang sebaya. Kami belajar iman sebelum belajar Al-Qur`an. Kemudian kamipun belajar Al-Qur`an dan bertambahlah iman kami.” (HR. Ibnu Majah)
Asy-Syaikh Al-Hakami rahimahullahu berkata: “Ini adalah ijma’ para imam yang teranggap ijma’nya. Mereka menyatakan bahwa iman itu bertambah dan berkurang.” (Ma’arijul Qabul)
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Ajurri bahwa Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Iman itu ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang.” Saudara beliau, Ibrahim bin ‘Uyainah berkata: “Wahai Abu Muhamad (nama kunyah Sufyan bin Uyainah, red.), jangan engkau katakan bertambah dan berkurang.” Ibnu ‘Uyainah pun marah dan berkata: “Diamlah wahai anak kecil! Bahkan iman bisa berkurang hingga tidak tersisa di hatinya sedikitpun.”
Sebagian salaf berkata: “Di antara wujud pemahaman seseorang adalah senantiasa menjaganya dari kekurangan. Di antara wujud pemahaman seseorang adalah dia tahu apakah imannya bertambah atau berkurang. Dan di antara wujud pemahaman seseorang adalah dia tahu godaan setan yang mendatanginya.” (Syarah Nuniyyah)
Bertambahnya Iman dengan Ketaatan Menurut keyakinan Ahlus Sunnah, bertambahnya iman seseorang itu dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semakin dia taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka semakin kuat keimanannya.
Sebab Lemahnya Iman
Menurut keyakinan Ahlus Sunnah, berkurangnya iman disebabkan maksiat yang dilakukan seseorang. Semakin banyak maksiat dilakukannya, akan semakin mengurangi keimanannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (Al-Muthaffifin: 14)
Setiap kali seseorang berbuat maksiat, akan dititik hitam di hatinya sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kami akan sebutkan beberapa perkara yang sangat berpengaruh dalam turunnya keimanan seseorang. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Sebab berkurangnya iman ada empat:
Perlu diketahui di sini, ada amalan-amalan yang sangat memengaruhi keimanan seseorang namun dianggap sepele oleh banyak orang. Di antaranya:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya. Kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadid: 16)
Lingkungan merupakan faktor terpenting dalam memelihara dan memupuk keimanan. Lingkungan yang beriman akan menambah keimanan, dan lingkungan yang jelek akan merusak keimanan seseorang.
Dalil yang paling menunjukkan akan hal ini adalah disyariatkannya hijrah dari negeri kafir ke negeri muslim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي اْلأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا. إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيلاً. فَأُولَئِكَ عَسَى اللهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللهُ عَفُوًّا غَفُورًا
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, malaikat bertanya (kepada mereka): ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab: ‘Kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).’ Para malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya serta tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (An Nisaa: 97-99)
Namun disayangkan, banyak di antara kaum muslimin yang tidak mengindahkan masalah ini dan justru melakukan amalan yang membahayakan iman mereka dan anak-anak mereka, yakni lebih memilih dan senang tinggal di negeri kafir.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menerangkan: “Sesungguhnya tinggal di negeri kafir bahayanya amatlah besar terhadap agama seseorang. Membahayakan akhlak, tingkah laku, dan adabnya. Kami dan selain kami telah menyaksikan penyimpangan orang-orang yang tinggal di negeri kafir. Mereka pulang (dengan aqidah) yang berbeda ketika berangkat, pulang dalam keadaan sebagai orang fasik. Sebagian mereka pulang dalam keadaan murtad dari agamanya….” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
Asy-Syaikh Shalih Fauzan berkata: “Diharamkan bagi seorang muslim menjadikan dirinya sebagai pembantu/pelayan orang kafir, karena dalam amalan tersebut terdapat unsur kekuasaan dan penghinaan orang kafir atas seorang muslim. Tinggal terus-menerus di negeri kafir juga haram karena akan membahayakan aqidah seorang muslim.” (Kitabut Tauhid, lishafil awal al-’ali hal.107)
Termasuk dalam masalah ini adalah bepergian ke negeri kafir untuk berlibur/melancong atau acara hiburan lainnya. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Bepergian ke negeri kafir tidak diperbolehkan kecuali dengan tiga syarat:
1. Dia mempunyai ilmu untuk menolak syubhat (pemikiran yang menyimpang).
2. Dia punya agama yang mencegahnya dari syahwat.
3. Dia membutuhkannya.
Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka dia tidak diperbolehkan bepergian ke negeri kafir. Karena bepergian ke negeri kafir mengandung fitnah (cobaan), khawatir fitnah dan menghamburkan harta, karena seorang yang bepergian ke sana akan mengeluarkan dana yang tidak sedikit.” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
2.Menjauh dari majelis ilmu (syar’i)
Dari Hanzhalah: Abu Bakr berjumpa denganku dan berkata: “Bagaimana kabarmu, wahai Hanzhalah?” Aku katakan: “Hanzhalah telah tertimpa kemunafikan!” Beliau berkata: “Subhanallah, apa yang kau ucapkan?” Aku katakan: “Ketika kita ada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan tentang surga dan neraka, sepertinya kita melihat dengan mata kepala kita. Tapi jika kita pulang dari majelis Rasulullah, kita sibuk dengan istri dan anak serta mata pencaharian, maka kitapun banyak lupa.” Abu Bakr berkata: “Demi Allah, kitapun merasakan hal tersebut.” Maka akupun berangkat bersama Abu Bakr hingga masuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku katakan: “Hanzhalah telah tertimpa kemunafikan, wahai Rasulullah!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Ada apa ini?” Aku katakan: “Wahai Rasulullah, ketika kami ada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan tentang surga dan neraka, sepertinya kami melihat dengan mata kami. Tapi jika kami pulang dari majelis Rasulullah, kami sibuk dengan istri dan anak serta mata pencaharian, maka kamipun banyak lupa.” Rasulullah berkata: “Demi Yang jiwaku di tangan-Nya, jika kalian terus merasakan seperti keadaan berada di sisiku dan terus berdzikir, niscaya malaikat akan menyalami kalian di tempat tidur dan jalan-jalan. Akan tetapi wahai Hanzhalah, sesaat, sesaat.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Al-Hakami rahimahullahu mengatakan: “Jika menjauh dari majelis ilmu berpengaruh kepada iman seseorang, lebih-lebih lagi jika tersibukkan dengan ilmu yang terkontaminasi oleh pemahaman kufur yang sengaja disusupkan.”
3. Teman yang jelek
Teman sangatlah berpengaruh pada keimanan seseorang. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
الْـمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ
“Seseorang di atas agama temannya.”
Di antara kesalahan kaum muslimin adalah menyerahkan pendidikan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga yang tidak mementingkan aqidah. Bahkan sebagian mereka “menitipkan” anak mereka ke lembaga pendidikan yang notabene kafir atau mengirim anak mereka belajar di negeri kafir. Innalillahi wa inna ilahi raji’un. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menjelaskan:
“Macam kelima: Tinggal di negeri kafir untuk belajar. Ini sama dengan tinggal karena suatu kebutuhan, namun lebih berbahaya dan lebih dahsyat kerusakannya bagi agama dan akhlak pelakunya. Karena seorang pelajar akan merasa rendah derajatnya dan tinggi kedudukan gurunya. Sehingga menyebabkan dia mengagungkan guru-guru serta merasa puas dengan pemikiran, pendapat, dan perilaku guru-guru mereka serta kemudian mengikutinya, kecuali orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaganya dan yang seperti ini sedikit jumlahnya. Kemudian pelajar merasa butuh kepada gurunya sehingga menyebabkan dia mencari simpati dan basa-basi dengannya, dalam keadaan gurunya di atas penyimpangan dan kesesatan. Demikian juga, seorang pelajar di tempatnya belajar mempunyai teman-teman yang dijadikannya sahabat dekat. Dia mencintai, loyal, dan mengambil akhlak mereka….” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
Demikianlah sebagian sebab menurunnya iman seseorang. Perlu diketahui pula bahwa berkurangnya iman, jika sampai menyebabkan meninggalkan perkara wajib atau melakukan perkara haram, merupakan keadaan yang berbahaya. Pelakunya tercela dan wajib bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersegera untuk mengobati dirinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ، فَمَنْ كَانَتْ شِرَّتُهُ إِلَى سُنَّتـِي فَقَدْ أَفْلَحَ وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ
“Setiap amalan ada masa semangatnya, dan masa semangat ada masa jenuhnya. Barangsiapa kejenuhannya dipalingkan kepada sunnahku berarti dia telah berbahagia, dan barangsiapa yang kejenuhannya tidak membawa dia kepada yang demikian maka dia telah binasa.” (HR. Ahmad, lihat Shahih At-Targhib)
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menjaga iman kita serta memberi taufiq kepada kita untuk senantiasa beramal shalih dan istiqamah di jalan-Nya. Allahumma amin.
e-dakwahsunnah
Sumber : Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak
Dari Abu ‘Amr –ada yang menyatakan pula Abi ‘Amrah– Sufyan bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا غَيْرَكَ. قَالَ: قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
Aku berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, sampaikanlah kepadaku satu perkataan yang aku tidak akan bertanya lagi setelahnya kepada selainmu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Katakanlah aku beriman kepada Allah kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim)
Di antara keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah, iman seseorang bisa bertambah dan berkurang. Hal ini berdasarkan banyak dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“Orang-orang (yang menaati Allah dan rasul), ada yang berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya manusia (yakni kaum musyrikin) telah berkumpul untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada mereka’. Maka perkataan itu (justru) menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung’.” (Ali ‘Imran: 173)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman (dengan iman yang hakiki) ialah mereka yang bila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Allah lah mereka bertawakal.” (Al-Anfal: 2)
وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ
“Dan apabila diturunkan suatu surat, di antara mereka ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kalian yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman maka surat ini menambah imannya dan mereka merasa gembira.” (At-Taubah: 125)
وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الْأَحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا
“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita, dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.’ Yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (Al-Ahzab: 22)
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al-Fath: 4)
وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلَّا مَلَائِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلَّا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ ءَامَنُوا إِيمَانًا
“Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat, dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk menjadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya.” (Al-Muddatstsir: 31)
Adapun hadits-hadits yang menunjukkan masalah ini banyak sekali. Di antaranya hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لـَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لـَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kalian melihat satu kemungkaran hendaklah mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan lisannya. Jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ
“Tidaklah aku melihat ada orang yang kurang akal dan agamanya yang membuat goyah hati lelaki yang kokoh selain salah seorang kalian (kaum wanita).”
Di antara dalil masalah ini adalah hadits Jundub bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu:
كُنَّا مَعَ النَّبـِيِّ n وَنَحْنُ فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ فَتَعَلَّمْنَا الْإِيمَانَ قَبْلَ أَنْ نَتَعَلَّمَ الْقُرْآنَ ثُمَّ تَعَلَّمْنَا الْقُرْآنَ فَازْدَدْنَا بِهِ إِيمَانًا
“Kami bersama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu kami para pemuda yang sebaya. Kami belajar iman sebelum belajar Al-Qur`an. Kemudian kamipun belajar Al-Qur`an dan bertambahlah iman kami.” (HR. Ibnu Majah)
Asy-Syaikh Al-Hakami rahimahullahu berkata: “Ini adalah ijma’ para imam yang teranggap ijma’nya. Mereka menyatakan bahwa iman itu bertambah dan berkurang.” (Ma’arijul Qabul)
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Ajurri bahwa Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Iman itu ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang.” Saudara beliau, Ibrahim bin ‘Uyainah berkata: “Wahai Abu Muhamad (nama kunyah Sufyan bin Uyainah, red.), jangan engkau katakan bertambah dan berkurang.” Ibnu ‘Uyainah pun marah dan berkata: “Diamlah wahai anak kecil! Bahkan iman bisa berkurang hingga tidak tersisa di hatinya sedikitpun.”
Sebagian salaf berkata: “Di antara wujud pemahaman seseorang adalah senantiasa menjaganya dari kekurangan. Di antara wujud pemahaman seseorang adalah dia tahu apakah imannya bertambah atau berkurang. Dan di antara wujud pemahaman seseorang adalah dia tahu godaan setan yang mendatanginya.” (Syarah Nuniyyah)
Bertambahnya Iman dengan Ketaatan Menurut keyakinan Ahlus Sunnah, bertambahnya iman seseorang itu dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semakin dia taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka semakin kuat keimanannya.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Sebab bertambahnya iman ada empat:
1.
Mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama dan
sifat-sifat-Nya. Karena, semakin seorang mengenal Allah Subhanahu wa
Ta’ala, nama-nama, serta sifat-sifat-Nya akan semakin bertambah
keimanannya.
2. Melihat ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang kauniyah maupun syar’iyah.
3.
Banyak berbuat taat dan kebaikan. Karena amalan termasuk dalam iman,
sehingga banyak melakukan amal baik akan memperbanyak/meningkatkan
keimanan.
4. Meninggalkan maksiat dengan niat taqarrub (mendekatkan
diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Diringkas dari Syarh Al-Ushul
Ats-Tsalatsah)
Sebab Lemahnya Iman
Menurut keyakinan Ahlus Sunnah, berkurangnya iman disebabkan maksiat yang dilakukan seseorang. Semakin banyak maksiat dilakukannya, akan semakin mengurangi keimanannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (Al-Muthaffifin: 14)
Setiap kali seseorang berbuat maksiat, akan dititik hitam di hatinya sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kami akan sebutkan beberapa perkara yang sangat berpengaruh dalam turunnya keimanan seseorang. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Sebab berkurangnya iman ada empat:
1. Berpaling dari mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya.
2. Berpaling dari melihat ayat-ayat Allah kauniyah dan syar’iyah, karena hal itu akan menyebabkan kelalaian dan kerasnya hati.
3. Kurang beramal shalih.
4. Berbuat maksiat.” (Diringkas dari Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
Perlu diketahui di sini, ada amalan-amalan yang sangat memengaruhi keimanan seseorang namun dianggap sepele oleh banyak orang. Di antaranya:
1. Jauh dari lingkungan dan suasana iman
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya. Kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadid: 16)
Lingkungan merupakan faktor terpenting dalam memelihara dan memupuk keimanan. Lingkungan yang beriman akan menambah keimanan, dan lingkungan yang jelek akan merusak keimanan seseorang.
Dalil yang paling menunjukkan akan hal ini adalah disyariatkannya hijrah dari negeri kafir ke negeri muslim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي اْلأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا. إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيلاً. فَأُولَئِكَ عَسَى اللهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللهُ عَفُوًّا غَفُورًا
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, malaikat bertanya (kepada mereka): ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab: ‘Kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).’ Para malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya serta tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (An Nisaa: 97-99)
Namun disayangkan, banyak di antara kaum muslimin yang tidak mengindahkan masalah ini dan justru melakukan amalan yang membahayakan iman mereka dan anak-anak mereka, yakni lebih memilih dan senang tinggal di negeri kafir.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menerangkan: “Sesungguhnya tinggal di negeri kafir bahayanya amatlah besar terhadap agama seseorang. Membahayakan akhlak, tingkah laku, dan adabnya. Kami dan selain kami telah menyaksikan penyimpangan orang-orang yang tinggal di negeri kafir. Mereka pulang (dengan aqidah) yang berbeda ketika berangkat, pulang dalam keadaan sebagai orang fasik. Sebagian mereka pulang dalam keadaan murtad dari agamanya….” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
Asy-Syaikh Shalih Fauzan berkata: “Diharamkan bagi seorang muslim menjadikan dirinya sebagai pembantu/pelayan orang kafir, karena dalam amalan tersebut terdapat unsur kekuasaan dan penghinaan orang kafir atas seorang muslim. Tinggal terus-menerus di negeri kafir juga haram karena akan membahayakan aqidah seorang muslim.” (Kitabut Tauhid, lishafil awal al-’ali hal.107)
Termasuk dalam masalah ini adalah bepergian ke negeri kafir untuk berlibur/melancong atau acara hiburan lainnya. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Bepergian ke negeri kafir tidak diperbolehkan kecuali dengan tiga syarat:
1. Dia mempunyai ilmu untuk menolak syubhat (pemikiran yang menyimpang).
2. Dia punya agama yang mencegahnya dari syahwat.
3. Dia membutuhkannya.
Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka dia tidak diperbolehkan bepergian ke negeri kafir. Karena bepergian ke negeri kafir mengandung fitnah (cobaan), khawatir fitnah dan menghamburkan harta, karena seorang yang bepergian ke sana akan mengeluarkan dana yang tidak sedikit.” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
2.Menjauh dari majelis ilmu (syar’i)
Dari Hanzhalah: Abu Bakr berjumpa denganku dan berkata: “Bagaimana kabarmu, wahai Hanzhalah?” Aku katakan: “Hanzhalah telah tertimpa kemunafikan!” Beliau berkata: “Subhanallah, apa yang kau ucapkan?” Aku katakan: “Ketika kita ada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan tentang surga dan neraka, sepertinya kita melihat dengan mata kepala kita. Tapi jika kita pulang dari majelis Rasulullah, kita sibuk dengan istri dan anak serta mata pencaharian, maka kitapun banyak lupa.” Abu Bakr berkata: “Demi Allah, kitapun merasakan hal tersebut.” Maka akupun berangkat bersama Abu Bakr hingga masuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku katakan: “Hanzhalah telah tertimpa kemunafikan, wahai Rasulullah!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Ada apa ini?” Aku katakan: “Wahai Rasulullah, ketika kami ada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan tentang surga dan neraka, sepertinya kami melihat dengan mata kami. Tapi jika kami pulang dari majelis Rasulullah, kami sibuk dengan istri dan anak serta mata pencaharian, maka kamipun banyak lupa.” Rasulullah berkata: “Demi Yang jiwaku di tangan-Nya, jika kalian terus merasakan seperti keadaan berada di sisiku dan terus berdzikir, niscaya malaikat akan menyalami kalian di tempat tidur dan jalan-jalan. Akan tetapi wahai Hanzhalah, sesaat, sesaat.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Al-Hakami rahimahullahu mengatakan: “Jika menjauh dari majelis ilmu berpengaruh kepada iman seseorang, lebih-lebih lagi jika tersibukkan dengan ilmu yang terkontaminasi oleh pemahaman kufur yang sengaja disusupkan.”
3. Teman yang jelek
Teman sangatlah berpengaruh pada keimanan seseorang. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
الْـمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ
“Seseorang di atas agama temannya.”
Di antara kesalahan kaum muslimin adalah menyerahkan pendidikan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga yang tidak mementingkan aqidah. Bahkan sebagian mereka “menitipkan” anak mereka ke lembaga pendidikan yang notabene kafir atau mengirim anak mereka belajar di negeri kafir. Innalillahi wa inna ilahi raji’un. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menjelaskan:
“Macam kelima: Tinggal di negeri kafir untuk belajar. Ini sama dengan tinggal karena suatu kebutuhan, namun lebih berbahaya dan lebih dahsyat kerusakannya bagi agama dan akhlak pelakunya. Karena seorang pelajar akan merasa rendah derajatnya dan tinggi kedudukan gurunya. Sehingga menyebabkan dia mengagungkan guru-guru serta merasa puas dengan pemikiran, pendapat, dan perilaku guru-guru mereka serta kemudian mengikutinya, kecuali orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaganya dan yang seperti ini sedikit jumlahnya. Kemudian pelajar merasa butuh kepada gurunya sehingga menyebabkan dia mencari simpati dan basa-basi dengannya, dalam keadaan gurunya di atas penyimpangan dan kesesatan. Demikian juga, seorang pelajar di tempatnya belajar mempunyai teman-teman yang dijadikannya sahabat dekat. Dia mencintai, loyal, dan mengambil akhlak mereka….” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
Demikianlah sebagian sebab menurunnya iman seseorang. Perlu diketahui pula bahwa berkurangnya iman, jika sampai menyebabkan meninggalkan perkara wajib atau melakukan perkara haram, merupakan keadaan yang berbahaya. Pelakunya tercela dan wajib bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersegera untuk mengobati dirinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ، فَمَنْ كَانَتْ شِرَّتُهُ إِلَى سُنَّتـِي فَقَدْ أَفْلَحَ وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ
“Setiap amalan ada masa semangatnya, dan masa semangat ada masa jenuhnya. Barangsiapa kejenuhannya dipalingkan kepada sunnahku berarti dia telah berbahagia, dan barangsiapa yang kejenuhannya tidak membawa dia kepada yang demikian maka dia telah binasa.” (HR. Ahmad, lihat Shahih At-Targhib)
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menjaga iman kita serta memberi taufiq kepada kita untuk senantiasa beramal shalih dan istiqamah di jalan-Nya. Allahumma amin.
e-dakwahsunnah
Sumber : Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak
0 komentar:
Posting Komentar