Memaafkan. Dahulu kala, ada seorang ulama besar bernama Hasal Al Basri yang tinggal di kota Basrah Irak di sebuah bangunan yang bersebelahan dengan tetangganya. Ulama ini sangat dicintai rakyat kecil dan tergolong rajin mengunjungi dan silaturahim ke tempat tetangganya. Entah mengapa, sang tetangga justru sebaliknya. Ia tidak pernah mengunjungi ulama tersebut walau mereka telah hidup berdampingan selama puluhan tahun.
Suatu ketika, Hasan Al Basri tersebut sakit keras dan sang tetangga tersebut menyempatkan diri menemui ulama tersebut yang sedang terbaring di ranjangnya. Betapa kagetnya ia, setelah mengetahui ternyata si ulama hidup sangat sederhana sekali jauh dari bayangan dia sebelumnya. Hampir tidak ada barang barang yang layak apalagi mewah di rumah ulama tersebut.
Sebuah baskom berisi air terlihat berada disamping ranjang sang ulama tersebut. Kontan saja, si tetangga penasaran dan menanyakan perihal baskom tersebut dan kenapa berada disamping ranjang ulama tersebut.
“Baskom ini sudah lama saya gunakan untuk menampung air dari atas” kata sang ulama. “Bila sudah penuh, maka saya buang airnya” ujarnya. Tetesan tetesan air memang masih terlihat menetes dari plafon persis diatas baskom tersebut berada.
“Baskom ini sudah lama saya gunakan untuk menampung air dari atas” kata sang ulama. “Bila sudah penuh, maka saya buang airnya” ujarnya. Tetesan tetesan air memang masih terlihat menetes dari plafon persis diatas baskom tersebut berada.
Tiba tiba si tetangga teringat bahwa diatas lokasi baskom tersebut adalah lokasi persis dimana kamar mandinya berada. Sang tetangga ini memang memiliki satu kamar mandi kecil yang berada di atas loteng bangunan tersebut dan atap rumahnya dan atap rumah sang ulama bersambung menjadi satu. “Sudah berapa lama bapak menampung air tersebut?” Tanyanya dengan penuh penasaran. “Kira-kira baru dua puluh tahun” jawab sang ulama.
Mendengar jawaban tersebut, Tiba tiba si tetangga meneteskan air mata. Ia menjadi sangat malu dan merasa terharu dengan sikap ulama tersebut yang sangat bersabar dan tidak mempermasalahkan tetesan air tersebut. Mungkin ia selalu memaklumi dan mencoba memaafkan tetangganya tsb walaupun ia dalam kondisi yang terdzholimi.
Hal diatas adalah sepenggal kisah yang sangat inspiratif bagi saya tentang memaafkan orang lain. Memaafkan orang lain bukanlah perkara yang mudah untuk diterapkan apalagi bila kita sedang di posisi yang memungkinkan untuk melampiaskan amarah.
Terkadang atau seringkali kita tidak bisa mengendalikan emosi bahkan marah atau dendam dengan orang lain, apalagi terhadap orang yang pernah menyakiti/mendzholimi atau merusak kenyamanan/kepentingan kita atau bahkan kepada orang yang sekedar berbeda pandangan dengan kita.
Rasa marah/dendam ini, bila dibiarkan terus dalam hati kita, lama kelamaan akan menjadi penyakit dan dipercaya dapat membuat hidup kita tidak bahagia. Jangankan melihat wajahnya, mendengarkan namanya disebut saja atau melihat barang barang miliknya, mungkin hati kita bisa menjadi seolah panas terbakar.
Sikap memaafkan diyakini dapat menyembuhkan penyakit, bukan hanya penyakit psikis, tapi juga penyakit fisik. Dalam bukunya, Forgive for Good (Maafkanlah demi Kebaikan), Dr. Frederic Luskin menjelaskan sifat pemaaf sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan. Buku tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran seperti harapan, kesabaran dan percaya diri dengan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat dan stres. Dalam salah satu edisinya, Mayo Clinic Journal juga melaporkan bahwa orang yang tidak dapat memaafkan kesalahan orang lain dapat mengalami peningkatan tekanan darah dan detak jantung. Pendek kata, menurut laporan itu, memaafkan ternyata memiliki “efek memadamkan, mengagumkan”, yang dapat membantu meredakan rasa sakit, meringankan depresi, dan meningkatkan fungsi kardiovaskular.
Sikap memaafkan seperti ini juga pernah dicontohkan oleh tokoh tokoh besar lain seperti Nelson Mandela, Mahatma Gandhi atau Buya Hamka. Walaupun dipenjara selama bertahun tahun oleh Rezim orde lama, Buya Hamka tetap bisa memaafkan, bahkan dialah orang yang menjadi imam shalat jenazah ketika Sang Punggawa orde lama, Soekarno wafat. Kisah serupa juga dialami oleh Nelson Mandela. Setelah dipenjara, diejek, dihina bahkan disiksa selama sekitar 27 tahun oleh sipir sipir di penjara, namun ia akhirnya kembali mengunjungi penjara tersebut ketika menjabat sebagai Presiden Afrika Selatan. Beliau bahkan menemui sipir sipir tersebut, bukan untuk membalas dendan melainkan untuk memaafkan mereka.
Rasulullah juga sering mengalami situasi serupa. Sebagai contoh, Rasulullah pernah dilempari batu oleh penduduk setempat ketika ia berdakwah di Thaif sampai sampai darah bercucuran dari wajahnya. Malaikat Jibril lalu menawarkan kepada Rasulullah untuk menimpakan gunung besar ke atas penduduk tersebut sebagai balasan atas sikap mereka terhadap Rasul tersebut. Namun Rasulullah malah menolaknya dan mengatakan bahwa mereka melakukan hal tersebut mungkin karena mereka sebenarnya belum memahami apa ajaran yang dibawa Rasul. Rasulullah bahkan memaafkan serta memohon doa untuk mereka.
Sikap memaafkan ini juga menjadi salah satu ciri orang orang yang bertakwa. Bahkan salah satu orang yang dijamin masuk syurga, kata Rasulullah SAW, adalah orang yang ternyata, setelah diselidiki oleh sahabat Nabi, selalu memaafkan orang lain sebelum ia berangkat tidur setiap harinya. Subhanallah.
Salam Maaf dari Saya, bagai mana dengan Anda.....
Wassalam
Sumber:http://nasrulchair.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar