Rabu, 04 April 2012

Pelaksanaan Hukum Waris Islam


A. Problematika Pelaksanaan Hukum Waris Islam di Indonesia 
 
Walaupun diketahui dengan pasti bahwa mayoritas masyarakat Indonesia beragam Islam, namun untuk melaksanakan ketentuan hukum waris dalam Islam bukanlah hal yang mudah. Dalam pelaksanaan sistem hukum waris Islam yang merupakan aturan hukum yang mesti di ikuti terhalang oleh beberapa persoalan, sehingga hukum waris Islam itu sendiri menjadi sulit untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Tidak mengherankan bila kemudian Daniel S. Lev dalam salah satu tulisannya tentang problema pelaksanaan hukum waris di Indonesia  (dengan agak tidak mengenakkan), ia menyatakan bahwa untuk mengatakan hukum waris Islam sudah menjadi kebiasaan yang diterima masyarakat Indonesia, adalah sulit untuk dibuktikan.[1]

Bila kemudian kesulitan masyarakat Islam Indonesia dalam menerapkan sistem hukum waris Islam dalam pembagian harta pusaka mereka dicermati, maka akan kita dapatkan bahwa kesulitan penerapan itu karena beberapa hal sebagai berikut:

1. Kecenderungan masyarakat berbagi sama
Dalam Islam, khususnya prihal kebendaan telah ditentukan seperangkat aturan, bahwa setiap ahli waris memiliki bagian-bagian tertentu (jelas dan tepat), misalnya anak laki-laki mendapatkan dua kali lipat bagian anak perempuan dalam menerima harta warisan (QS. al-Nisa’: 11). Ketentuan ini harus diikuti oleh masyarakat bila terjadi proses pewarisan.

Ketentuan di atas agaknya sulit untuk diterapkan, sebab dalam masyarakat sendiri telah tumbuh jauh sebelum ketentuan dalam masyarakat sendiri telah tumbuh jauh sebelum ketentuan waris Islam ada, suatu kecenderungan masyarakat untuk membagi secara merata harta pusaka mereka.

Oleh karenanya, adanya suatu anggapan bahwa masyarakat Islam Indonesia, dalam hal pembagian harta warisan tidak jarang melakukan penyimpangan dari ketentuan hukum waris Islam. Sehingga mengapa kemudian H. Munawir Sadzali menawarkan reaktualisasi hukum Islam dalam bidang kewarisan, dengan alasan bahwa kepala keluarga dalam masyarakat terbukti telah menempuh preemptive semasa hidup mereka telah membagi-bagikan sebagian harta kepada anak tanpa membedakan jenis kelamin dengan bagian yang sama, sebagai hibah. [2]

2. Berbedanya sistem keluarga yang ada di Indonesia dengan keluarga Bangsa Arab, dimana hukum waris disusun 
Bila kita sepakat dengan satu telaah yang menyatakan bahwa sebelum hukum waris Islam datang ke Indonesia dan berlaku bagi pemeluknya, sebenarnya telah ada hukum yang mengatur tentang bgm seharusnya harta pusaka itu dibagi, perangkat hukum lazim dikenal dengan hukum adat. Dengan demikian, dapat digaris bawahi bahwa sistem hukum waris yang berlaku sebelum hukum waris Islam adalah hukum adat. Kondisi masyarakat Indonesia saat itu, sama halnya dengan kondisi Bangsa Arab, sebelum Islam datang, mereka telah memiliki suatu kebiasaan untuk membegi harta pusaka kepada ahli waris tunggal dalam urutan keluarga Petrilinial. Setelah Islam datang kebiasaan ini kemudian di sebut ”ashabah”.[3]

Karena jauh sebelum Islam datang telah berlaku hukum adat yang bertitik tolak dari bentuk masyarakat yang ada di Indonesia, dan secara kebetulan sifat kekeluargaan masyarakatnya menganut sistem keturunan. Ia memiliki kekhususan antara satu dengan lainnya, berbeda dalam pembagian harta pusaka, yaitu:
  1. Sistem Patrilinial, yaitu sistem kekeluargaan yang menganut atau menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat dominan, seperti pada masyarakat Batak, yang menjadi ahli waris hanya akan laki-laki saja sebab anak perempuan yang telah kawin dengan cara “kawin jujur” akan masuk menjadi anggota keluarga pihak suami. Selanjutnya ia tidak lagi merupakan ahli waris orang tuannya yang meninggal dunia. 
  2. Sistem Matrilinial, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari pihak nenek moyang perempuan. Dalam sistem kekeluargaan ini, pihak laki-laki tidak menjadi ahli waris dari garis perempuan / ibunya, sedangkan ayahnya masih merupakan anggota keluarganya sendiri. Sistem ini ada pada masyarakat Minangkabau. 
  3. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem yang menarik garis keturunan dua sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Pada sisi ini, kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam hukum, laki-laki maupun perempuan merupakan ahli waris dari harta peninggalan orang tua mereka.[4]
Dari uraian sistem kekeluargaan di atas, dapat dipahami bahwa mengapa sistem hukum waris Islam sulit untuk diterapkan. Sistem kekeluargaan masyarakat Batak misalnya, hanya memberikan hak waris terhadap anak laki-laki, sedang anak perempuan tidak. Dalam daerah Matrilinial (Minangkabau) mungkin tidak ada tempat bagi hukum waris Islam, kecuali bagi mereka yang berani menghindarkan diri dari ikatan tradisi keluarga tersebut. Kemudian masyarakat yang susunan keluarganya berdasarkan Bilateral, seperti Jawa dan Aceh ada kemungkinan pengaruh hukum Islam lebih besar, karena pengaruh hukum Islam terhadap “ashabah furudl”, yakni sejalan benar dengan konsep masyarakat Bilateral.

M. Idris Mamulyo dalam bukunya Masalah Harta Bersama Dalam Pemutusan Hubungan Perkawinan” sebagaimana dikutip oleh  Drs. H. Masrani, mengemukakan tentang kesulitan penerapan hukum waris Islam, karena tidak dikenal adanya harta bersama, yang ada hanyalah harta suami dan istri. Sedangkan bagi masyarakat Indonesia dikenal 4 (empat) macam harta dalam sebuah keluarga,[5] yaitu sebagai berikut:
  1. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan, sebagai hasil usaha masing-masing menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974, harta ini tetap dalam pengawasan masing-masing. 
  2. Harta yang ada pada saat mereka menikah diberikan kepada kedua mempelai, mungkin berupa modal usaha atau perabot rumah tangga. 
  3. Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, baik karena hibah atau warisan dari orang tua dari keluarga mereka. 
  4. Harta yang diperoleh selama perkawinan atas usaha bersama atau usaha salah satu dari keduanya.
Selanjutnya, bila salah seorang di antara mereka (suami istri) itu meninggal dunia, manakah dari harta-harta mereka seperti tersebut di atas yang akan dibagikan kepada ahli warisnya.[6]

B. Hibah Dengan Maksud Menyamakan Bagian Harta Warisan Anak Laki-laki Dengan Perempuan
Sebagaimana telah di uraikan, yang menjadi hambatan penerapan hukum waris Islam dalam masyarakat di Indonesia, salah satu penyebabnya adalah ada kencenderungan masyarakat untuk membagi harta warisan dengan menyamaratakan, terutama mereka yang secara kebetulan berada dalam lingkungan masyarakat Parental atau Bilateral. Walaupun dalam lingkungan masyarakat tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Daniel S. Lev, sejalan dengan pengakuan hukum waris Islam tentang “ahli waris ashabah furudl”, sehingga ada kemungkinan bahwa masyarakat lingkungan sistem kekeluargaan tersebut akan mudah melaksanakan praktek hukum waris Islam dalam pelaksanaan pembagian harta pusaka mereka.

Kesulitan pelaksanaan hukum Islam (masalah waris) dalam lingkungan Bilateral ini dapat dimengerti, sebab mereka yang hidup dalam lingkungan sistem kekeluargaan Bilateral (adat) melaksanakann praktek warisnya dengan pembagian sama tanpa membedakan bagian antara ahli waris satu dengan lainnya. Kebalikannya, dalam Islam sebagaimana dikatakan oleh Hazairin, yang dikutip oleh Eman Suparman, SH., MH. bahwa sistem kewarisan Islam adalah sistem individual Bilateral.[7]

Dengan pembagian harta pusaka berbeda antara satu ahli waris adat, sebab dalam hukum pewaris yang masih hidup. Di samping itu, hukum adat pewarisan yang berlangsung antara orang-orang yang masih hidup dilakukan dengan jalan perbuatan hukum hibah,  bahwa perbuatan hibah yang dilakukan dimaksudkan sungguh-sungguh merupakan tindakan pewarisan. Nampak dalam realitas masyarakat, bahwa apa yang sudah dalam bentuk hibah oleh seorang ahli waris, turut diperhitungkan kembali pada waktu harta peninggalan dari suami dibagi-bagikan di antara pada ahli waris.[8]

C.  Beberapa Faktor Pendukung Pelaksanaan Hibah Dengan 
Maksud Menyamakan Bagian Waris Anak 
Setelah dijelaskan hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan hibah anak, maka sudah barang tentu perlu juga mengetahui faktor apa saja yang mendorong para orang tua untuk melaksanakan hibah di atas. Secara teoritis diketahui bahwa setiap perbuatan hukum manusia pasti sebelumnya memiliki motivasi pendukung pelaksanaan hibah orang tua, maka hal disebabkan sebagai berikut :

1. Pernyataan rasa kasih sayang pewaris kepada penerima hibah (anak)
Anak adalah curahan kasih sayang dan belahan jiwa (hati) orang tua. Oleh karena itu, orang tua bisa jadi melakukan apapun demi kepentingan anak mereka. Dengan demikian, tidak dapat dipersalahkan sebab memberi kasih sayang adalah naluri normal manusia. Dalam kondisi ini, dimensi pemberian curahan kasih sayang orang tua satu kepada anak berbeda wujudnya antara orang tua satu dengan lainnya. Ada kemungkinan yang satu, bagi mereka wujud implementasi kasih sayang cukup hanya berupa perhatian, tapi lainnya, tidak cukup sampai disitu bagi mereka, curahan kasih sayang adalah pemberian benda-benda.

2. Mencegah perselisihan/sengketa di antara ahli waris
Di samping kebutuhan pokok manusia dalam memenuhi kebutuhan demi kelangsungan hidupnya, karena tidak jarang harta kekayaan kerapkali menimbulkan terpicunya “kecemburuan-kecemburuan” dalam sebuah rumah tangga. Bila demikian keluarga yang sebelumnya dalam kondisi harmonis, bisa berantakan karenanya.
Dalam rangka menghindari terjadinya perpecahan antara sesama anggota keluarga (dalam hal ini anak) maka jauh hari sebelum tiba waktu dimana harus terjadi proses pewarisan, orang tua telah terlebih dahulu melakukan pembagian harta waris melalui hibah dengan tanpa membedakan jenis kelamin anak, dengan tujuan untuk menghindari terjadinya perselisihan/sengketa harta waris antara mereka.

3. Pengaruh hukum adat
Seperti diketahui bahwa sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia tidak satu melainkan terdiri dari beberapa sistem hukum. Salah satu di antaranya, yaitu hukum waris yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum waris adat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem hukum waris adat ini memberikan pengaruh pada masyarakat  (Islam khususnya) dalam hal pemberian harta pusaka mereka. Dalam lingkungan masyarakat Jawa yang memiliki sistem kekeluargaan Bilateral, bagi mereka persamaan hak antara ahli waris dalam ciri utamanya, sehingga dalam proses pengalihan sejumlah harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris itu laki-laki atupun perempuan.[9]

Berdasarkan kenyataan di atas, dapat dimengerti mengapa para kepala keluarga cenderung untuk membagikan harta-harta pusaka mereka secara sama kepada ahli waris, bukan melalui pewarisan sebagaimana adanya. Secara sama rata kepada anak melalui hibah bukan melalui waris saja, dalam hukum adat dibenarkan membagi waris saat pewaris masih hidup dapat diketahui bahwa menjadikan sebab pelaksanaan hibah di atas adalah:

Untuk menghindari berlakunya sistem hukum waris lain yang berlaku dalam lingkungan masyarakat 

Untuk menghidari perselisihan antara hak laki-laki dengan perempuan dikemudian hari harta tersebut diserahkan

Faktor-faktor yang menjadikan hibah di atas, ternyata sejalan dengan tinjauan sosiologis pelaksanaan perbuatan hibah dilakukan antara orang-orang yang mempunyai hak saling mewarisi terhadap sistem waris memiliki prinsip sebagai berikut:
  1. Pada masyarakat Unilateral, yaitu perbuatan hukum hibah itu merupakan tindakan koreksi terhadap hukum warisnya. Dengan perbuatan hibah, maka seseorang yang menurut sistem hukum warisnya tidak dapat mewariskan sendiri harta kekayaan kepada anak-anak mereka, maka dengan perbuatan hibah secara sah ia dapat memberikan bagian-bagian kepada anak mereka. 
  2. Pada masyarakat Bilateral, yaitu perbuatan hibah itu menjamin kepastian hukum dan mencegah terjadinya pertengkaran ahli waris.[10]
4. Sebagai bekal anak di kemudian hari
Tidak semua anak, entah itu laki-laki maupun perempuan yang sudah berumah tangga bila kelangsungan hidup secara mandiri, tentunya kondisi pasca nikah, bisa jadi sesuatu mengkhawatirkan bagi orang tua. Itulah sebabnya mengapa orang tua sedini mungkin berfikir akan nasib anak-anak mereka kelak, dengan cara memilih-milih harta kekayaan mereka (khususnya benda-benda yang tidak bergerak) untuk dihibahkan  kepada anak dalam porsi yang sama, dengan suatu pemikiran bahwa bila anak perempuan dikemudian hari membina suatu rumah tangga (keluarga), belum tentu suaminya mampu dan atau sebaliknya bila anak laki-lakinya berkeluarga juga belum tentu dapat segera dijamin, ia telah berpenghasilan itu untuk kebutuhan pokok keluarga mereka. Jawabannya pasti tidak tentu. Dari sisi itu pembagian harta adalah porsi sama antara anak laki-laki dan perempuan diharapkan bisa menjadi semacam “modal awal” menuju sejahtera dalam mengaruhi behtera keluarga.



[1]Daniel S Lev, Peradilan Agama di Indonesia; Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga-Lembaga Hukum (Cet.II; Jakarta: Intermesa, 1986), h. 243.
[2]Iqbal Abdul Rauf Samaina, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1988), h. 3.
[3]Daniel S. Lev, op.cit., h. 232
[4]Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia (Cet. II; Bandung: Mandar maju, 1991), h. 35
[5]M. Idris Mamulyo, Masalah Harta Bersama Dalam Pemutusan Hubungan Perkawinan (Cet. II; Jakarta: PT. Mandar Maju, 1991), h. 86
[6]Masrani, Fiqhi Waris I (Cet. I; Surabaya: Biro Penerbitan dan Perpustakaan Fakultas Syariat, 1987), h. 14-15
[7]Eman Suparman, op.cit., h. 12
[8]Dirjen Saragih,  Pengantar Hukum Adat di Indonesia  (Cet. II; Bandung: PT. Tarsito, 1984), h. 152-153
[9]Umar Salim,  Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia (Cet. II; Jakarta: Bhineka Cipta, t.th.), h. 75
[10]Dirjen Saragih,  op.cit., h. 153 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution