Saling menjaga rahasia & taawun. Hasrat ingin berkenalan, rindu bersilaturahmi, gandrung berta’awun,
sebenarnya dikarenakan kita semua merasakan adanya rasa tanggung jawab
terhadap agama, terhadap amanat, dan rasa cinta yang besar terhadap
sesama saudara seiman.
Perasaan tanggung jawab ini, menyebabkan dirinya sangat waspada, dan
mempunyai kendali diri yang tinggi untuk menjaga sesama saudaranya dari
kehancuran, fitnah, dan celaan. Dia merasakan bahwa dirinya adalah juga
bagian dari saudaranya yang lain. Juga merupakan satu tubuh, yang
apabila kakinya terinjak duri maka berdenyutlah rasa sakit itu sekujur
tubuhnya. Inilah dasar tanggung-jawab setiap muslim untuk menghindari
dan sekaligus membentengi saudaranya dari segala cela dan fitnah.
Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa menutupi cela saudaranya, maka Allah Ta’ala akan menutupi celanya di dunia dan akhirat.” (HR Ibnu Majah).
Seorang muslim harus pandai sekali menjaga rahasia temannya, penuh
amanat apabila diberi titipan, dan penuh tanggung jawab terhadap
keselamatan sesama saudara seiman. Bahkan, dalam memegang rahasia,
setiap pribadi muslim benar-benar menjaga amanat tersebut. Karena
teguhnya memegang suatu rahasia maka ia langsung “mengubur” amanat
tersebut dan tidak pernah sedikit pun terbongkar.
Karena rasa tanggung jawab yang diselimuti dengan rasa cinta sesama
anggota jamaah, maka ia tidak pernah sedikit pun ingin mengungkit
sejarah buruk saudaranya dan membongkar cacat saudaranya sendiri.
Rasulullah saw bersabda:
“Janganlah kamu semua meneliti (mencari-cari) kejelekan orang lain, jangan pula mengamat-amatinya, juga janganlah saling memutuskan ikatan, saling menyeteru, dan jadilah hamba Allah yang saling bersaudara.” (HR Bukhari dan Muslim).
Jika seorang muslim mendengar berita dari seseorang tentang perbuatan
tercela saudaranya, hendaknya ia berdiam diri. Tidak perlu menambah
dengan komentar dan tidak pula ikut larut menganalisis dengan penuh
buruk sangka (su’uzhan). Sesungguhnya, yang menyebabkan renggangnya tali
persaudaraan dan rapuhnya tali cinta adalah perasaan buruk sangka.
Setiap umat Rasul selalu mawas diri, menjaga lidahnya, dan
terus-menerus merakit tali persaudaraan diantara sesama muslim. Hal ini
tampak dari tekadnya untuk selalu menjadikan dirinya sebagai pembela dan
pelindung dari harkat dan derajat sesama muslim. Apabila diberi amanat
Allah berupa kekayaan, kekuasaan, atau ilmu pengetahuan, dia tidak akan
melupakan sesama saudaranya untuk memberikan bantuan dan pertolongan
agar dapat dicarikan jalan keluar bagi saudaranya tersebut.
Kekuasaan, jabatan, dan harta adalah amanat. Dia sadar bahwa semuanya
harus mempunyai nilai bagi saudaranya yang seiman. Sebab itu, seorang
muslim tidak pernah egois. Dia selalu merindukan saudaranya agar dekat
dan akrab dengan dirinya dalam suka dan duka. Apabila dia berkuasa maka
sesama saudaranyalah yang dijadikan prioritas untuk dibantunya. Apabila
dia punya kelebihan harta maka infak yang dia berikan ditujukan untuk
para kerabat saudaranya seiman terlebih dahulu, ini semua menunjukkan
rasa takaful (saling bertanggung-jawab) dari sesama muslimin.
Taawun
Apabila cinta kepada Allah telah menghujam di segenap relung dada
seorang muslim, maka sifat ta’awun (saling menolong) merupakan salah
satu karakter yang melekat seutuhnya pada dirinya. Menolong memiliki
makna mengangkat atau meringankan beban orang lain, baik yang diminta
maupun yang tidak diminta. Mengangkat seseorang dari penderitaan atau
minimal meringankannya, baik dengan harta, jiwa, doa, dan nasihat. Hal
itu tidak ada kerugiannya barang sedikit pun, kecuali hanyalah kebaikan
belaka.
Itulah sebabnya, ta’awun sebagai dasar falsafah agama begitu
mementingkan kekuatan yang merupakan tonggak utama bagi kejayaan akhlak
setiap pribadi muslim. Cobalah tengok sejenak, mungkinkah kita mampu
menolong orang lain, apabila di dalam dada dan sanubari kita tidak
tertanam kekuatan akhlak: Jadi titik sentral Islam ini adalah kekuatan,
karena hanya dengan menjadi kuatlah maka segala sesuatunya dapat
terwujud. Compang-campingnya umat Islam sekarang ini karena tidak
memiliki kekuatan, tercabut kebanggaan diri sebagai khairul ummah (yang
terbaik), dan hilangnya mahkota jiwa, yaitu semangat jihad.
Ta’awun atau saling menolong tidak murigkin bisa menjadi kenyataan,
apabila setiap individu dilanda oleh penyakit wahan, yang pengecut dan
lemah. Padahal, tidak ada kamusnya bahwa setiap muslim itu harus hidup
secara anani, terisolasi, dan tercabut dari kebersamaan dengan saudara
semuslim. Tidak pantas seorang muslim perutnya kekenyangan, sedangkan
saudaranya atau tetangganya gemetar menahan diri dari kelaparan. Sangat
tidak etis seorang muslim yang hidup berkemewahan: rumah dengan gaya
kastil, berbagai mobil mewah dan mutakhir dipajang di garasi rumah,
sedangkan di lain pihak tepat beberapa meter dari rumah mewahnya itu
bergumul para kaum lemah dan tidak berdaya (mustad’afin), yang terpuruk
di gubuk-gubuk kumuh sambil menjalin mimpi. Lantas bagaimana jika para
hartawan itu tidak mempunyai kekuatan moral untuk menolong sesama,
saudaranya, lalu apalah arti kemewahan yang Allah karuniakan kepadanya?
Tolong-menolong itu sudah dijadikan satu aksioma dalam agama kita,
khususnya tolong-menolong dalam kebaikan (al-birri) dan dalam kecintaan
kepada Allah (at-taqwa). Hal ini sebagaimana firman Allah:
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. ” (al-Maa’idah: 2).
Sikap saling menolong tersebut memberikan empat konsepsi bagi setiap anggota jamaah, yaitu sebagai berikut:
a. Dia tidak akan membiarkan saudaranya berbuat zalim maupun menzalimi dirinya.
b. Dia tidak akan makan kenyang apabila di lain pihak saudaranya masih kelaparan. Dia tidaklah pula akan mampu tertawa, sementara masih banyak saudaranya yang rnenangis.
c. Dia akan selalu menjadi seorang pionir untuk mengambil inisiatif menolong dan mengangkat sesama saudaranya dari derita dan duka mereka. Meringankannya dari segala beban, mencegahnya dari yang mungkar, walaupun tidak dimintakan pertolongan sekalipun. Karena baginya hidup yang indah adalah kehidupan yang mempunyai makna dan arti bagi lingkungannya. Dialah manusia yang pertama hadir, ketika ada orang yang tertimpa musibah. Dengan harta, tenaga, lidah, bahkan jiwa raganya, dia pertaruhkan dirinya untuk membela dan menolong sesama saudaranya, dalam arti yang sebenar-benarnya, tanpa mengharap pujian, apalagi tepukan.
d. Jiwanya cepat tergetar setiap melihat penderitaan manusia, karena dia sadar bahwa pada dirinya ada energi batin yang tidak bisa dibiarkan secara mubazir, sehingga selalu mendorong dirinya untuk menyingsingkan lengan baju, dan siap memberikan pertolongan. Sungguh dia ingin menjadi sirajam munira (orang menyentuh mata hati dan menyinari sesamanya). Menjadi lampu yang mempunyai cahaya benderang dan menerangi setiap relung kehidupan dengan syiar Islam melalui sikap dan tindakannya yang nyata.
Sungguh, apabila sikap ta’awun ini sudah menjadi “kegemaran” bagi
setiap pribadi muslim, khususnya anggota jamiatul mukmin, maka akan
lahirlah harmoni, keseimbangan, dimana yang kuat menjadi pelindung yang
lemah, yang kaya menjadi penggembira orang yang miskin, yang berilmu
menjadi pelita bagi yang awam. Besar tidak melanda, kecil tidak patut
terhina. Inilah sikap ta’awun tersebut.
Cobalah bayangkan makna dari doa
dalam bersin. Bukankah apabila ada orang yang bersin, kemudian dia
berkata, “Alhamdulillah.” Maka harus kita jawab dengan ucapan atau doa,
“Yarhamukullah.” Ini juga punya makna global bahwa apabila ada
saudaranya yang bersin di Sabang, maka akan segeralah terdengar balasan
ucapan yarhamukullah, dari seluruh saudaranya sampai ke Merauke
wallahu alam.
0 komentar:
Posting Komentar