Keutamaan Sifat Tawadhu.
Allah Ta’ala berfirman:
تِلْكَ الدَّارُ الآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الأَرْضِ وَلا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash: 83)
Allah Ta’ala berfirman:
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, dari kalangan orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’ara`: 215)
Dari Iyadh bin Himar radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Dan Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling merendah diri agar tidak ada seorang pun yang berbangga diri pada yang lain dan agar tidak seorang pun berlaku zhalim pada yang lain.” (HR. Muslim no. 2865)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
“Sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaannya. Dan tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim no. 2588)
Dari Al-Aswad rahimahullah dia berkata: Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah tentang apa yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada di rumah. Maka ‘Aisyah menjawab,
كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ
“Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu shalat maka beliau keluar untuk melaksanakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 6939)
Penjelasan ringkas:
Tawadhu’ dan rendah diri kepada kaum mukminin merupakan sifat terpuji yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Karenanya barangsiapa yang tawadhu niscaya Allah akan mengangkat kedudukannya di mata manusia di dunia dan di akhirat dalam surga. Karenanya tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan sekecil apapun, karena negeri akhirat beserta semua kenikmatannya hanya Allah peruntukkan bagi orang yang tidak tinggi hati dan orang yang tawadhu’ kepada-Nya.
Dan dalam hal ini -sebagaimana dalam sifat terpuji lainnya-, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam merupakan suri tauladan terbaik. Bagaimana tidak sementara Allah Ta’ala telah memerintahkan beliau untuk merendah kepada kaum mukminin. Karenanya beliau senantiasa tawadhu’ dan bergaul dengan kaum mukminin dari seluruh lapisan, dari yang kaya sampai yang miskin, dari orang kota sampai arab badui. Beliau duduk berbaur bersama mereka, menasehati mereka, dan memerintahkan mereka agar juga bersifat tawadhu’. Kedudukan beliau yang tinggi tidak mencegah beliau untuk melakukan amalan yang merupakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Karenanya sesibuk apapun beliau, beliau tetap menyempatkan untuk mengerjakan pekerjaan keluarganya di rumah.
Ilmu Menumbuhkan Sifat Tawadhu’
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:
“Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah:
tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya.
Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya.
Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya.
Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama.
Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.”
Beliau melanjutkan,
“Dan tanda kebinasaan yaitu:
tatkala semakin bertambah ilmunya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakannya.
Dan setiap kali bertambah amalnya maka bertambahlah keangkuhannya, dia semakin meremehkan manusia dan terlalu bersangka baik kepada dirinya sendiri.
Semakin bertambah umurnya maka bertambahlah ketamakannya.
Setiap kali bertambah banyak hartanya maka dia semakin pelit dan tidak mau membantu sesama.
Dan setiap kali meningkat kedudukan dan derajatnya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakan dirinya.
Ini semua adalah ujian dan cobaan dari Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya. Sehingga akan berbahagialah sebagian kelompok, dan sebagian kelompok yang lain akan binasa.
Begitu pula halnya dengan kemuliaan-kemuliaan yang ada seperti kekuasaan, pemerintahan, dan harta benda. Allah ta’ala menceritakan ucapan Sulaiman tatkala melihat singgasana Ratu Balqis sudah berada di sisinya,“Ini adalah karunia dari Rabb-ku untuk menguji diriku. Apakah aku bisa bersyukur ataukah justru kufur.” (QS. An Naml : 40).”
Kembali beliau memaparkan,
“Maka pada hakekatnya berbagai kenikmatan itu adalah cobaan dan ujian dari Allah yang dengan hal itu akan tampak bukti syukur orang yang pandai berterima kasih dengan bukti kekufuran dari orang yang suka mengingkari nikmat.
Sebagaimana halnya berbagai bentuk musibah juga menjadi cobaan yang ditimpakan dari-Nya Yang Maha Suci. Itu artinya Allah menguji dengan berbagai bentuk kenikmatan, sebagaimana Allah juga menguji manusia dengan berbagai musibah yang menimpanya.
Allah ta’ala berfirman,“Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya dengan memuliakan kedudukannya dan mencurahkan nikmat (dunia) kepadanya maka dia pun mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakan diriku.’ Dan apabila Rabbnya mengujinya dengan menyempitkan rezkinya ia pun berkata, ‘Rabbku telah menghinakan aku.’ Sekali-kali bukanlah demikian…” (QS. Al Fajr : 15-17).
Artinya tidaklah setiap orang yang Aku lapangkan (rezkinya) dan Aku muliakan kedudukan (dunia)-nya serta Kucurahkan nikmat (duniawi) kepadanya adalah pasti orang yang Aku muliakan di sisi-Ku.
Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezkinya dan Aku timpakan musibah kepadanya itu berarti Aku menghinakan dirinya.” [Al Fawa’id, hal. 149].
Ketawadhu’an ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu’anhu
Disebutkan di dalam Al Mudawwanah Al Kubra, “Ibnul Qasim mengatakan, Aku pernah mendengar Malik membawakan sebuah kisah bahwa pada suatu ketika di masa kekhalifahan Abu Bakar ada seorang lelaki yang bermimpi bahwa ketika itu hari kiamat telah terjadi dan seluruh umat manusia dikumpulkan. Di dalam mimpi itu dia menyaksikan Umar mendapatkan ketinggian dan kemuliaan derajat yang lebih di antara manusia yang lain. Dia mengatakan: Kemudian aku berkata di dalam mimpiku, ‘Karena faktor apakah Umar bin Al Khaththab bisa mengungguli orang-orang yang lain?”
Dia berkata: Lantas ada yang berujar kepadaku, ‘Dengan sebab kedudukannya sebagai khalifah dan orang yang mati syahid, dan dia juga tidak pernah merasa takut kepada celaan siapapun selama dirinya tegak berada di atas jalan Allah.’
Pada keesokan harinya, laki-laki itu datang dan ternyata di situ ada Abu Bakar dan Umar sedang duduk bersama. Maka dia pun mengisahkan isi mimpinya itu kepada mereka berdua. Ketika dia selesai bercerita maka Umar pun menghardik orang itu seraya berkata kepadanya,“Pergilah kamu, itu hanyalah mimpi orang tidur!”
Lelaki itupun bangkit meninggalkan tempat tersebut. Ketika Abu Bakar telah wafat dan Umar memegang urusan pemerintahan, maka beliau pun mengutus orang untuk memanggil si lelaki itu. Kemudian Umar berkata kepadanya,“Ulangi kisah mimpi yang pernah kamu ceritakan dahulu.”
Lelaki itu menjawab,“Bukankah anda telah menolak cerita saya dahulu?!”
Umar mengatakan,“Tidakkah kamu merasa malu menyebutkan keutamaan diriku di tengah-tengah majelis Abu Bakar sementara pada saat itu dia sedang duduk di tempat itu?!”
Syaikh Abdul Aziz As Sadhan mengatakan,“Umar radhiyallahu ‘anhu tidak merasa ridha keutamaan dirinya disebutkan sementara di saat itu Ash Shiddiq (Abu Bakar) -dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu jelas lebih utama dari beliau- hadir mendengarkan kisah itu. walaupun sebenarnya dia tidak perlu merasa berat ataupun bersalah mendengarkan hal itu, akan tetapi inilah salah satu bukti kerendahan hati beliau radhiyallahu ‘anhu.”
(lihat Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 103-104)
Sudahkah Kita Meneladani Akhlak Salafus Shalih?
Tauhid dan keimanan yang benar pasti akan membuahkan amal nyata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
”Iman itu terdiri dari tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan la ilaha illallah dan yang terrendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu juga termasuk cabang keimanan” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairairah radhiyallahu’anhu ini lafaz Muslim).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
”Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Dan ikutilah perbuatan dosa dengan perbuatan baik niscaya akan menghapuskannya. Dan pergaulilah orang dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu, hadits hasan sahih).
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan,”Rasulullah menyebutkan perintah berakhlak secara terpisah (padahal ia termasuk bagian dari takwa, pen) dikarenakan kebanyakan orang mengira bahwa ketakwaan itu hanya berkutat dengan masalah pemenuhan hak-hak Allah dan tidak berurusan dengan pemenuhan hak hamba-hamba-Nya…”. “Dan orang yang menunaikan hak-hak Allah sekaligus hak-hak sesama hamba dengan baik adalah sesuatu yang sangat jarang ditemukan, kecuali pada diri para nabi dan orang-orang yang shidiq/benar…” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 237).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang sebab paling banyak yang mengakibatkan orang masuk surga? Beliau menjawab,“Takwa kepada Allah dan akhlaq mulia”. Beliau juga ditanya tentang sebab paling banyak yang mengakibatkan orang masuk neraka, maka beliau menjawab, “Mulut dan kemaluan” (HR. Tirmidzi, dia berkata : ‘Hadits hasan shahih).
Dua Macam Akhlak Mulia
Imam an-Nawawi rahimahullah membuat sebuah bab khusus di dalam kitab Riyadhush shalihin yang berjudul : Bab Husnul khuluq (Akhlak mulia). Maksud penyusunan bab ini oleh beliau ialah dalam rangka memotivasi agar kita memiliki akhlak yang mulia. Di dalam bab ini beliau juga hendak menerangkan keutamaan-keutamaannya serta siapa sajakah di antara hamba-hamba Allah yang memiliki sifat-sifat mulia itu. Husnul khuluq meliputi berakhlaq mulia kepada Allah dan berakhlaq mulia kepada hamba-hamba Allah.
Berakhlaq mulia kepada Allah
yaitu : senantiasa ridha terhadap ketetapan hukum-Nya, baik yang berupa aturan syari’at maupun ketetapan takdir, menerimanya dengan dada yang lapang tanpa keluh kesah, tidak berputus asa ataupun bersedih. Apabila Allah menakdirkan sesuatu yang tidak disukai menimpa seorang muslim maka hendaknya dia ridha terhadapnya, pasrah dan sabar dalam menghadapinya. Dia ucapkan dengan lisan dan hatinya, Radhiitu billaahi rabban ‘Aku ridha Allah sebagai Rabb’. Apabila Allah menetapkan keputusan hukum syar’i kepadanya maka dia menerimanya dengan ridha dan pasrah, tunduk patuh melaksanakan syari’at Allah ‘Azza wa Jalla dengan dada yang lapang dan hati yang tenang, inilah makna berakhlak mulia terhadap Allah ‘Azza wa Jalla.
Adapun berakhlak mulia kepada sesama hamba
Ialah dengan menempuh cara sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, yaitu yang tercakup dalam tiga ungkapan berikut ini :
1. Kafful adza (menahan diri dari mengganggu)
2. Badzlu nada (memberikan kebaikan yang dipunyai)
3. Thalaqatul wajhi (bermuka berseri-seri, ramah).
Kafful adza : yaitu dengan tidak mengganggu sesama baik melalui ucapan maupun perbuatannya.
Badzlu nada : yaitu rela memberikan apa yang dimilikinya berupa harta atau ilmu atau kedudukan dan kebaikan lainnya.
Thalaqatul wajhi adalah : dengan cara memasang wajah berseri apabila berjumpa dengan sesama, tidak bermuka masam atau memalingkan pipi, inilah husnul khuluq.
Orang yang dapat melakukan ketiga hal ini niscaya dia juga akan bisa bersabar menghadapi gangguan yang ditimpakan manusia kepadanya, sebab bersabar menghadapi gangguan mereka termasuk husnul khuluq juga. Bahkan jika dia mengharapkan pahala dari Allah atas kesabarannya tentulah itu akan membuahkan kebaikan di sisi Allah Ta’al.
(semua paragraf di atas disarikan dari Syarah Riyadhush Shalihin Syaikh al-Utsaimin, II/387)
Bagaimana berakhlak mulia kepada sesama ?
Di dalam sebuah ayat Allah telah menghimpun beberapa kunci pokok untuk bisa meraih akhlak yang mulia kepada sesama. Barangsiapa mempraktekkannya niscaya akan merasakan kenikmatan buahnya. Allah Ta’ala berfirman,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” (QS. al-A’raaf : 199)
Ayat yang mulia ini telah merangkum kandungan makna-makna husnul khuluq kepada sesama serta apa saja yang sepantasnya dilakukan oleh seorang hamba dalam hal mu’amalah dan pergaulan hidup mereka. Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk melakukan tiga hal :
1. Menjadi pema’af
2. Menyuruh orang agar mengerjakan yang ma’ruf
3. Berpaling dari orang-orang yang bodoh
Pengertian pema’af di sini luas. Ia mencakup segala bentuk perbuatan dan akhlak yang dapat membuat hati mereka lapang dan memberikan kemudahan untuk orang lain. Sehingga dia tidak membebankan perkara-perkara sulit yang tidak sesuai dengan tabi’at mereka. Bahkan dia mampu mensyukuri (berterima kasih) terhadap apa saja yang mereka berikan baik berwujud ucapan maupun perbuatan yang santun atau bahkan yang lebih rendah darinya. Hal itu juga disertai dengan sikap memaklumi kekurangan dan kelemahan yang ada pada diri orang lain. Dia tidak menyombongkan diri di hadapan yang kecil dan yang lemah akalnya karena kelemahan-kelemahan mereka.
Begitu pula, dia tidak sombong kepada orang yang miskin disebabkan kemiskinannya. Bahkan dia mampu berinteraksi dengan semuanya dengan lemah lembut dan melapangkan dada-dada mereka. Ia memilih sikap yang tepat menurut situasi dan kondisi yang ada.
Pengertian mengerjakan yang ma’ruf adalah : segala ucapan dan perbuatan yang baik, budi pekerti yang sempurna, terhadap orang yang memiliki hubungan dekat maupun jauh. Hendaknya kamu bersikap baik kepada mereka dengan mengajarkan ilmu yang kamu miliki, menganjurkan kebaikan, menyambung tali silaturahim, berbakti kepada kedua orang tua, mendamaikan persengketaan yang terjadi di antara sesama, atau menyumbangkan nasihat yang bermanfaat, pendapat yang jitu, memberikan bantuan demi kebaikan dan takwa, menghalangi terjadinya suatu keburukan atau dengan memberikan arahan untuk meraih kebaikan diniyah (agama) maupun duniawiyah (dunia).
Berpaling dari orang-orang yang bodoh artinya tidak melayani atau ikut larut dalam kebodohan mereka. Jika mereka mengusik anda dengan kata-kata atau dengan tindakan bodoh maka menyingkirlah. Anda tidak perlu membalas dendam dengan mengganggu mereka pula. Barangsiapa yang memutuskan hubungan dengan anda maka sambunglah hubungan dengannya. Dan barangsiapa yang menzhalimi anda maka berbuat adillah kepadanya. Dengan cara itulah anda akan memperoleh limpahan pahala dari Allah, hati menjadi tentram dan tenang, bebas dari ulah orang-orang bodoh, bahkan dengan cara itu dapat merubah orang yang semula musuh menjadi teman.
(diramu dari Taisir al-Karim ar-Rahman hal. 313 dan Taisir Lathif al-Mannan hal.83-84)
Orang yang paling dekat dengan Nabi di hari kiamat
Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat kedudukannya denganku di hari kiamat kelak adalah orang yang terbaik akhlaqnya. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku pada hari kiamat kelak adalah tsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun”. Sahabat berkata : “Ya Rasulullah…kami sudah tahu arti tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa arti mutafaihiquun?” Beliau menjawab, “Orang yang sombong” (HR. Tirmidzi, ia berkata ‘hadits ini hasan gharib’. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Tirmidzi)
Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa orang yang paling dekat dengan beliau adalah orang-orang yang paling baik akhlaknya. Maka apabila akhlak anda semakin mulia niscaya kedudukan anda di hari kiamat kelak akan semakin dekat dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan selain anda. Sedangkan orang yang terjauh posisinya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat kelak adalah tsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun. (Syarh Riyadhush Shalihin, hal. 396-397).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa makna tsartsarun adalah orang yang banyak bicara dan suka menyerobot pembicaraan orang lain. Apabila dia duduk ngobrol dalam suatu majelis dia sering menyerobot pembicaraan orang lain, sehingga seolah-olah tidak boleh ada yang bicara dalam majelis itu selain dia. Dia berbicara tanpa membiarkan orang lain leluasa berkata-kata. Perbuatan seperti ini tidak diragukan lagi termasuk kesombongan. Yang dimaksud majelis dalam konteks ini adalah pembicaraan-pembicaraan sehari-hari bukan majelis ilmu atau pengajian, sebab jika suatu saat anda mendapat kesempatan untuk memberikan nasihat atau mengisi kajian di depan mereka lalu anda sendirian yang lebih banyak berbicara maka hal ini tidaklah mengapa. (lihat Syarh Riyadhush Shalihin, hal. 397).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa makna mutasyaddiqun adalah orang yang suka berbicara dengan gaya bicara yang meremehkan orang lain seolah-olah dia adalah orang paling fasih, itu dilakukannya karena kesombongan dan bangga diri yang berlebihan. Seperti contohnya berbicara dengan menggunakan bahasa Arab di hadapan orang-orang awam, sebab kebanyakan orang awam tidak paham bahasa Arab. Seandainya anda mengajak bicara mereka dengan bahasa Arab maka tentulah hal itu terhitung sikap berlebihan dan memaksa-maksakan dalam pembicaraan. Adapun jika anda sedang mengajar di hadapan para penuntut ilmu maka biasakanlah berbicara dengan bahasa Arab dalam rangka mendidik dan melatih mereka agar sanggup berbicara dengan bahasa Arab. Adapun terhadap orang awam maka tidak selayaknya anda berbicara dengan mereka dengan bahasa Arab, tetapi bicaralah dengan mereka dengan bahasa yang mereka pahami dan jangan banyak memakai istilah-istilah asing, artinya janganlah anda menggunakan kata-kata asing yang sulit mereka mengerti, karena hal itu termasuk berlebihan dan angkuh dalam pembicaraan. (lihat Syarh Riyadhush Shalihin, hal. 397).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan Makna mutafaihiqun : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkannya yaitu orang-orang yang sombong. Orang sombong ini bersikap angkuh di hadapan orang-orang. Jika berdiri untuk berjalan seolah-olah dia berjalan di atas helaian daun (dengan langkah kaki yang dibuat-buat –pent) karena adanya kesombongan di dalam dirinya.
Perilaku ini tak diragukan lagi termasuk akhlak yang sangat tercela, wajib bagi setiap orang untuk menghindarinya. Karena yang namanya orang tetap saja manusia biasa, maka hendaklah dia mengerti ukuran dirinya sendiri. Meskipun dia telah dikaruniai sekian banyak harta, kedalaman ilmu atau kedudukan yang tinggi oleh Allah, seyogyanya dia merendahkan diri (tawadhu’).
Sikap tawadhu’ orang-orang yang telah mendapat anugerah harta, ilmu, atau kedudukan tentu lebih utama nilainya daripada tawadhu’nya orang-orang yang tidak seperti mereka. Oleh sebab itu terdapat dalam sebuah hadits yang memberitakan orang-orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah dan tidak disucikan-Nya pada hari kiamat, diantara mereka adalah : “Orang miskin yang sombong” Sebab orang miskin tidak mempunyai faktor pendorong (modal) untuk sombong. … Sudah semestinya orang-orang yang diberi anugerah nikmat oleh Allah semakin meningkatkan syukurnya kepada Allah serta semakin tambah tawadhu’ kepada sesama,
semoga Allah memberikan taufiq kepada saya dan seluruh umat Islam untuk memiliki akhlak yang mulia dan amal yang baik, dan semoga Allah menjauhkan kita dari akhlak-akhlak yang buruk dan amal-amal yang jelek, sesungguhnya Dia Maha dermawan lagi Maha mulia.
(lihat Syarah Riyadhush Shalihin, hal. 397-398)
Semoga artikel diatas bermanfaat buat kita.
0 komentar:
Posting Komentar