Senin, 16 April 2012

Dengan Mengingat Allah Hati Tenang

Kekuatan dalam Ketenangan.  
Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk orang-orang yang taubat kepada-Nya. Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah. Sadarilah hanya dengan mengingat Allah hati akan tenang. (Ar-Ra’d: 27-28).


Ayat di atas dipetik dari surat Ar-Ra’d yang berarti guruh. Disebut surat Ar-Ra’d karena ada bagian yang menyinggung tentang guruh, yakni pada ayat ke-13 yang berbunyi, Dan guruh itu bertasbih sambil memuji Allah. Ayat ini memberi pelajaran kepada manusia bahwa guruh pun bertasbih, apalagi semestinya manusia.

Sedangkan ayat ke-27 dan 28 yang tertera di atas menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) akan memberi petunjuk dan bimbingan kepada orang-orang yang bertaubat kepada-Nya. Artinya, orang-orang yang sadar lalu kembali ke jalan Allah; orang-orang yang telah menyesali perbuatan-perbuatan tercela yang pernah dilakukannya.

Dijelaskan dalam ayat ke-28 bahwa, “Yaitu orang-orang yang beriman.” Artinya, dengan bertaubat itu berarti kembali memasuki kancah keberimanan atau kembali melakukan kewajiban-kewajiban sebagai orang beriman. 

Hal tersebut dibuktikan dengan banyak mengingat Allah sehingga tidak mudah lagi terpeleset dari jalan petunjuk. Dalam keadaan demikian itu, jiwanya menjadi tenang dan tenteram, karena memang ada jaminan dalam lanjutan ayat itu bahwa, “Dengan banyak mengingat Allah hati akan tenteram.”

Orang yang telah melalui proses ini yaitu menyongsong gerbang taubat dan memasuki istana iman–lalu memanfaatkan kondisi tersebut untuk selalu mengingat Allah, maka itulah orang yang telah mendapat kebahagiaan yang tiada bandingannya. 

Apalagi dalam kondisi seperti sekarang ini, ketenangan jiwa sungguh sangat mahal harganya. Bukankah disekitar kita sekarang penuh dengan hal-hal yang memproduksi kegelisahan,kecemasan, keputusasaan, keraguan, duka cita, dan lain sebagainya?

Kalau kita tidak memiliki ketenangan jiwa, tidak memiliki pegangan kuat, dan tidak mempunyai pandangan, niscaya mudah terombang-ambing.

Ketenangan jiwa membuat orang dapat hidup tenang. Inilah yang sangat diperlukan pada situasi seperti sekarang, di tengah-tengah gelombang kehidupan yang serba tidak menentu. Apalagi bagi seorang pemimpin yang bercita-cita mewujudkan kecerah-ceriaan masa depan bagi negeri yang sedang terpuruk ini. 

Hanya orang yang memiliki ketenangan jiwa yang dibalut oleh iman dan dzikrullah yang dapat berpikir tenang; berpandangan jitu, dan mampu membuat program yang mengenai sasaran untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan.

Sekarang ini kita bukannya miskin manusia intelek, tetapi ibu-ibu di negeri ini tidak subur rahimnya untuk melahirkan insan-insan yang memiliki jiwa dan pikiran tenang. Yaitu insan yang tidak terkontaminasi dengan virus kegelisahan, kecemasan, keputusasaan, dan keraguan.

Hendaknya secuil ketenangan jiwa yang telah kita peroleh bisa senantiasa dipelihara, kita pupuk dengan shalat, shiyam, baik yang fardhu atau yang sunnah, infaq, dzikir, dan tadabbur (telaah) Al-Qur’an. Insya Allah semua itu akan menghidupkan hati, menenangkan jiwa, membuka pikiran, dan meluruskan langkah. Lebih jauh dari itu, akan mengantar kita agar dapat terhindar dari kesulitan di akhirat, yang sekaligus akan mempermudah kita dalam urusan dunia ini.

Sekarang ini kita tidak mengharapkan lahirnya pakar manajemen yang telah menghabiskan separoh umurnya belajar dari satu negara ke negara yang lain, namun kering dari nilai-nilai wahyu. Tapi yang diharapkan adalah yang tercerahkan dengan wahyu dan kaya dengan bahan perbandingan.

Kita bisa belajar dari sejarah. Kaisar Romawi, Heraclius, beberapa saat setelah pasukannya dipukul mundur oleh tentara Muslim, dia bertanya kepada pembesar-pembesarnya, “Kabarkanlah kepadaku tentang kaum Muslimin yang memerangi kalian itu. 
Bukankah mereka juga manusia seperti kalian?”
Pembesarnya menjawab, “Benar.”
Kaisar bertanya lagi, “Lalu mana yang lebih banyak jumlahnya, kalian atau mereka?”
Para pembesar menjawab, “Jumlah kami lebih banyak.”
Kaisar melanjutkan pertanyaannya, “Kenapa kalian bisa kalah?”

Seorang tua di kalangan pembesar menjawab, “Karena tentara Islam shalat di malam hari dan berpuasa di siang hari, mereka menepati janji, melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar, saling membagi, tidak saling mementingkan diri. Yang menyebabkan kita kalah karena kita gemar minum khamr, berzina, suka melakukan yang haram, terbiasa melanggar janji, mudah marah, berbuat zhalim, memerintah dengan kekerasan, mencegah dari hal yang diridhai Allah, dan kita banyak berbuat kerusakan di muka bumi ini.” Kaisar Heraclius berkata, “Lewat keteranganmu ini membuat aku yakin bahwa kita memang pantas dikalahkan oleh mereka, dan mereka akan merebut dan menguasai tempat berpijak kedua telapak kakiku ini.”

Kita dapat melihat bahwa kemenangan yang dicapai ummat Islam bukan hanya dengan mengandalkan persenjataan yang lengkap dan jumlah personil yang banyak, tapi terletak pada ketaatan dan kepatuhan berpegang teguh pada ajaran yang dianutnya. 

Dalam kondisi genting pun tetap menjaga moral dan mematuhi norma-norma yang telah digariskan untuknya. Mereka memiliki ketenangan jiwa dan pikiran jernih, baik panglima perangnya ataupun perajurit-prajuritnya. Mereka mampu menahan diri melihat lawannya berpesta khamar dan melampiaskan nafsu seksnya. 

Kaum Muslimin sadar bahwa dalam ketenangan dan pengendalian dirilah terletak potensi maha raksasa untuk mencapai kemenangan.

Wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution