Mereka bilang…’Kita harus realistis’.
Perkataan diatas yaitu ”kita harus realistik” tentunya
sangat sering kita dengar terutama ketika berinteraksi dalam sebuah
institusi atau bahkan yang paling sederhana sebuah kelompok kecil.
Namun
sering-sering perkataan ’kita harus realistik’ tidak bermakna positif
yang didalamnya terkandung semangat introspeksi dan tetap memanfaatkan
peluang yang ada untuk mencapai hasil yang telah ditetapkan. Nuansa yang
muncul tidak menghadirkan pertanyaan-pertanyaa berikut
- apa sebenernya yang mau kita tuju?
- Apa yang harusnya kita mampu lakukan untuk itu?
- Apa yang tidak kita lakukan sehingga kita tidak jadi ’mampu’?
- Apa yang masih bisa kita lakukan untuk ’mampu’?
Pernyataan
diatas lebih sering muncul dengan kerangka negatif, seakan pernyataan
itu mengatakan ’sudahlah tidak usah lagi banyak rencana…kita memang
tidak mampu’.
Ajakan
untuk melihat realita yang ada dalam menggapai tujuan tentunya sangat
baik, namun ada satu hal yang mungkin perlu diperhatikan dan menjadi
menarik untuk didiskusikan. Hal tersebut adalah bahwa ’realita’ adalah
sesuatu yang relatif.
Bagi
sebagian orang, tidak terlaksananya tujuan merupakan sebuah realita dan
baginya sejauh itulah realitas..bahwa ’memang kita tidak bisa..mau apa
lagi’. Namun bagi orang yang lain, ketika tujuan tidak tercapai realita
yang dia fahami adalah ’tertutupnya peluang untuk mencapai sesuatu yang
lebih besar’. Artinya satu kegagalan tersebut bagi dia memiliki ’porsi
yang lebih besar’ dibandingkan dampak kegagalan menurut rekannya tadi.
Sehingga orang yang kedua ini memiliki usaha atau optimalisasi peluang
yang jauh lebih besar dari orang yang pertama dalam rangka mencegah
terjadinya kegagalan..atau kegagalan yang selanjutnya.
Itu dari sisi tujuan, sedangkan dari sisi potensi perlu juga difahami bahwa ‘realita’ yang berarti
potensi/keadaan sekarang juga merupakan suatu yang relatif. Bagi
sebagian orang potensi hanyalah apa yang bisa ia lihat didekatnya, dari
sisi SDM mungkin yang ia perhitungkan hanya yang satu ruangan dengannya,
dari sisi peralatan yang ia perhitungkan hanyalah yang memang ia
miliki. Berbeda dengan orang lain yang melihat bahwa potensi SDM tidak
hanya yang ada di ruangannya, tapi lebih luas mencakup orang-orang lain
yang memang bisa dan siap mendukung, ia juga memperhitungkan peralatan
yang ada di tempat lain yang menurutnya tetap dapat dioptimalkan.
Ya,
demikianlah ..pandangan terhadap ’realita’ sangatlah dipengaruhi oleh
keinginan (baca: visi), wawasan dan juga komunikasi. Sehingga diperlukan
komunikasi konstruktif agar diperoleh jalan tengah yang optimal. Tidak
diam membeku dan bersifat apatis karena memahami realitas dengan kaca
mata negatif, dan juga tidak terlalu mengawang hingga tidak sadar bahwa
sebenarnya ia sedang terjatuh.
0 komentar:
Posting Komentar