Saudaraku…
Miskin, barangkali satu keadaan yang menjadi momok menakutkan dan paling tidak diminati oleh sebagian besar dari kita. Bahkan keberadaan kita di negeri rantau ini dan meninggalkan kampung halaman, salah satu faktor penggeraknya adalah lari dari kemiskinan dan memahat masa depan indah secerah mentari pagi. Padahal jika kita cermati arahan nubuwah, kita dapati berbagai sumber yang menunjukan perihal kemuliaan dan kedudukan istimewa yang disandang orang-orang miskin.
“Orang-orang miskin dari umatku masuk ke dalam surga sebelum
orang-orang kaya dengan selisih waktu lima ratus tahun.” H.R; Tirmidzi
dan Ahmad.
Salah satu do’a yang biasa dibaca oleh Nabi saw, adalah:
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar dimudahkan melakukan kebaikan dan meninggalkan kemunkaran serta aku memohon kepada-Mu agar selalu mencintai orang-orang miskin..” H.R; Tirmidzi, Ahmad dan dishahihkan oleh syekh Al Bani.
Dua hadits di atas dan riwayat lain yang senada dengan itu,
menunjukan perihal kedudukan orang-orang miskin dan keutamaan mencintai
mereka.
Untuk itu saudaraku…
Rasulullah saw dan sebagian sahabatnya, seperti Abu Dzar, Abu Darda’, Said bin Amir al Jumahi dan lainnya, menjadikan kemiskinan sebagai pilihan hidupnya. Di era tabi’in, kaum yang lemah secara finansial mendapatkan perlakuan istimewa. Contohnya, di majlis ilmu dan hadits Sufyan Atsauri, orang-orang yang tak punya, menempati majlis yang berdekatan dengan sang guru. Suatu saat, ada seorang laki-laki memberi hadiah 10.000 dirham kepada Ibrahim bin Adham tetapi ia menolaknya seraya berucap, “Apakah engkau ingin menghapus namaku dari daftar orang-orang miskin?, tentu aku tak menginginkan hal itu.”
Saudaraku..
Sanggupkah kita menolak secara halus orang yang memberi hadiah kepada kita lima ribu real, 10 juta rupiah, 3000 dolar dan seterusnya? Wallahu a’lam bishawab. Dan yang perlu kita waspadai, bahwa di sana ada 5 model kemiskinan yang akan menjadi musibah bagi kita di dunia dan menjadi bencana besar di akherat. Empat model kemiskinan itu disebutkan oleh DR. Mustafa Siba’i dalam bukunya “hakadza allamatnil hayat.” Yaitu; Miskin agama (iman), miskin akal (ilmu pengetahuan), miskin kesabaran dan miskin muru’ah. Dan kita tambahkan model kelima dari kemiskinan, yakni; miskin hati.
Saudaraku..
Perjudian yang marak di mana-mana, pada perhelatan Piala Eropa 2012 di Polandia dan Ukraina. Prostitusi dari kelas bawah, menengah sampai kelas atas yang menjamur. Kasus korupsi yang tak ada habisnya. Masjid, musholla, suro dan langgar yang sepi dari jama’ah shalat. Dan yang senada dengan itu. Adalah fakta lemahnya pemahaman dan pengamalan agama dalam kehidupan individu maupun masyarakat. Islam hanya menjadi lipstick pemanis dan baju yang dikenakan oleh si empunya. Seperti judul buku tanpa isi. Jika kita miskin agama (iman), maka kita tak akan sanggup menepis godaan syahwat yang melambai-lambai di sekitar kita dan tak mampu menahan derasnya fitnah. Sehingga pada akhirnya kita menjadi budak syahwat lisan, perut dan kemaluan. Wal ‘iadzu billah.
Saudaraku..
Miskin akal (ilmu pengetahuan), merupakan bencana dalam hidup kita. Terlebih bagi kita sebagai insan beriman. Ilmu ibarat obor dan pelita dalam hidup kita. Pernahkah kita membayangkan, jika suatu saat hidup kita walau hanya satu pekan atau satu malam saja tanpa pelita penerang? Tentu, hidup kita menjadi gelap dan kelabu. Dengan iman, kita akan selamat dari godaan syahwat. Baik syahwat mulut, perut ataupun kemaluan. Tapi hanya dengan iman, kita tidak akan memiliki ketahanan diri yang kuat untuk menghadapi badai syubhat yang datangnya bergelombang silih berganti. Berapa banyak dari kaum muslimin yang terpedaya dengan propaganda JIL (Jaringan Islam Liberal). Dan tidak sedikit dari mereka yang menjadi pengikut aliran sesat. Yang mudah mengkafirkan kelompok lain dan pondasi agama dibangun atas dasar mengikuti keinginan hawa nafsu semata. Untuk itu, apapun profesi kita. Baik sebagai pejabat Negara, berkiprah di parlemen, pengurus partai politik, pengusaha, wirausaha, pedagang, presenter di televisi, bekerja di dinas pemerintahan, staf pengajar, pelajar, petani, juru kebun dan yang lainnya. Kita berkewajiban untuk selalu memperluas ilmu pengetahuan kita. Baik dengan cara menerima transfer ilmu dari orang lain maupun dengan jalan tarbiyah zatiyah (secara mandiri) dengan membaca buku dan seterusnya. Hal ini kita lakukan demi membentengi diri kita dan orang-orang dekat kita dari terpaan syubhat yang menghancurkan masa depan kita di akherat.
Saudaraku..
Dalam meretasi hidup, tanpa berbekal kesabaran maka kita akan gagal dan terpuruk. Tak berlebihan jika kita katakan bahwa keberhasilan dan kesuksesan kita dalam menjalani hidup, separuhnya ditentukan oleh kesabaran. Artinya orang yang miskin kesabaran, maka masa depannya di dunia akan suram dan di akherat sana ia dapati gelap gulita.
“Dia yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Al Mulk: 2.
Sabar merupakan akhlak terpuji yang menjadi ciri khas seorang mukmin
dan paling banyak disebut dalam al Qur’an. Imam al-Ghazali berkata,
“Allah swt menyebut kata sabar di dalam al Qur’an lebih dari 70 tempat.”
Ibnul Qayyim pernah mengutip perkataan Imam Ahmad, “Sabar di dalam al Qur’an terdapat di sekitar 90 tempat.”
Sabar kita butuhkan dalam setiap nafas kehidupan kita. Terlebih bagi
kita yang sedang mendaki puncak ubudiyah, memerlukan nafas panjang dari
kesabaran. Agar kita tidak terengah-engah, mengalami kelelahan jiwa dan
mundur dari perjuangan mengukir prestasi di hadapan-Nya. Agar kita senantiasa istiqamah mengukir amal-amal baik dan pahatan amal ketaatan, kita dituntut memakai pakaian kesabaran. Saat kita dirundung duka, dengan kepergian orang-orang tercinta dan
kekasih hati, kesabaran mutlak harus kita miliki. Agar kita tak
terombang-ambing dalam kesedihan. Agar kita rela dan ridha dengan garis
takdir-Nya. Demikian pula sabar menjadi pembeda, kala musibah dan
bencana melanda serta terjadi fitnah dalam agama dan hal-hal yang tidak
kita harapkan. Mengekang nafsu dan syahwat, agar tak menyeret kita pada perbuatan
dosa dan tergelincir dalam lubang maksiat, kita pun mesti menghiasi diri
kita dengan kesabaran.
Saudaraku..
Kita kerap mendengar kata muruah dari lisan orang Melayu. Muruah berarti; kehormatan diri, harga diri dan nama baik. Orang yang miskin muruah, maksudnya; orang yang tak memiliki kehormatan diri, tanpa harga diri dan orang yang nama baiknya tercemar dan tercoreng karena perilaku dan perbuatannya sendiri. Muruah melekat pada diri kita, jika kita tak menzalimi hak-hak orang lain. Berpihak kepada kepentingan rakyat jelata, saat berseberangan dengan penguasa yang zalim. Membela nasib si miskin, saat bersengketa dengan orang kaya yang tamak. Menolong mereka yang lemah, saat menghadapi orang kuat yang sombong. Juga saat kita sebagai kepala keluarga, bisa menjadi teladan bagi istri dan anak-anak kita. Sebagai pendidik, kita mampu memberikan keteladanan hidup bagi pendidik lain dan murid-murid kita. Baik di sekolah maupun di lingkungan kita. Dan seterusnya. Intinya, kepribadian yang ringkih dan budi pekerti yang tercela, jika melekat pada diri kita. Siapapun kita. Apapun jabatan dan profesi kita. Di mana pun kita berada. Maka hal itu dapat merusak nama baik dan melenyapkan kewibawaan serta kemuliaan kita. Memiliki akhlak dan kepribadian yang dicintai Allah dan rasul-Nya serta menjadi simat orang-orang mukmin, akan mendekatkan kita pada izzah dan kemuliaan sejati. “Padahal kemuliaan itu hanyalah milik Allah, bagi rasul-Nya dan orang-orang mukmin.” Al Munafiquun: 8.
Saudaraku..
Miskin hati. Inilah model kemiskinan yang sangat menyengsarakan dan mendera kita. Membuat galau hati kita. Menjadikan luka menganga di jiwa kita. Kebahagiaan hidup tak pernah kita kecap. Senyuman indah dan keceriaan hati melayang dan punah. Karena kita tak akan pernah puas dengan pemberian-Nya. Tak pernah ridha dengan takdir-Nya. Kekayaan harta yang dimiliki. Apatah lagi ketiadaan harta. Memiliki pendamping hidup, apalagi yang masih hidupnya menyendiri. Sehat yang menyapa tubuh, apalagi sakit yang mendera. Dalam keadaan lapang apalagi sempit. Jabatan yang disandang, apatah lagi rakyat jelata. Hidup di negeri yang aman apatah lagi mukim di tempat konflik. Dan seterusnya. Apapun keadaannya. Jika kita miskin hati. Maka kita tak akan pernah senang melewati hari-hari kita. Lisan tak pernah berhenti dari mengingkari kurnia-Nya. Rasulullah saw pernah bersabda kepada Abu Dzar ra, “Sesungguhnya hakikat kekayaan adalah kekayaan hati. Dan kemiskinan yang hakiki adalah miskin hati.” H.R; Ibnu Hibban.
Saudaraku..
Kita boleh saja miskin harta, rupa, jabatan, sandang, pangan, papan, kesehatan dan yang senada dengan itu. Tapi jangan sampai kita miskin iman, ilmu pengetahuan, kesabaran, muruah dan hati.
Ya Rabb, jadikanlah kami orang yang memilki kekayaan yang sejati.
Kaya iman, ilmu, kesabaran, muruah dan kaya hati. Aamiin ya Mujibas
Saailiin.
0 komentar:
Posting Komentar