Selasa, 19 Juni 2012

Marilah Kita Jujur Kepada Diri Kita

Investasi Kedurhakaan
Membaca judul diatas terus terang saya sendiri agak “merinding”. Berbicara tentang investasi atau asset, bisa jadi pikiran kita melayang kepada tabungan, deposito, tanah, dan lain sebagainya. Tetapi konsekuensi kita menginvestasikan anak sebagai  asset masa depan yang sebenarnya kepada KEDURHAKAAN. Silahkan simak selengkapnya, semoga bermanfaat buat kita sebagai Orang Tua dengan judul :


Investasi Kedurhakaan. 

Tetapi sesungguhnya kita semua berpotensi untuk berinvestasi dalam kedurhakaan. Kita tentu sering mendengar sebutan “ANAK DURHAKA”. Julukan ini tersematkan kepada seorang anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya, sering berbuat maksiat, dan lain sebagainya. Apalagi sekarang banyak keluhan dari para orangtua, juga guru-guru, betapa mendidik anak sekarang sangatlah sulit. Dinasehati, mereka membantah. Dibiarkan mereka semakin berani. Jadilah para orangtua dan guru ini berada dalam posisi dilematis. Maju kena, mundur kena. Ibarat makan buah simalakama. Akhirnya stigma “ANAK DURHAKA” sering muncul mengiringi pertumbuhan anak-anak yang “kenakalannya” tidak terkendali.

Sebenarnya, jika kita meluangkan sedikit waktu untuk berkontemplasi, bisa jadi label DURHAKA ini lebih pantas disematkan kepada kita sebagai orangtua. Ketika ada seorang anak yang tidak mau mendoakan orangtuanya, padahal doa anak menjadi salah satu pintu pundi-pundi amal bahkan ketika orangtua telah tiada, maka pertanyaan pertama yang harus diajukan adalah, apakah orangtua ini pernah atau sering mendoakan anaknya? Banyak diantara kita tidak sadar bahwa para nabi dulu menganggap penting doa bagi anak-anak mereka menjadi generasi shalih. Ada doa yang sangat terkenal dalam surat al-Furqan 74 (hayo… para orangtua harus tahu)

“Rabbana Hab lana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a’yun. Waj’alna lil muttaqin imaman”

Wahai tuhan kami, anugerahkan kepada kami dari istri-istri dan anak keturunan kami sebagai penyejuk mata kami. Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.

Surat Maryam ayat 5-6 juga merekam doa nabi Zakaria di usia senja yang memohon seorang putra. Tidak cukup hanya memohon seorang putra, beliau juga meminta putra yang dapat melanjutkan proses kebaikan yang dirintisnya, dalam rangka mencari ridho tuhannya.

“Maka anugerahakan aku seorang putra dari sisiMu. Yang akan mewarisiku dan mewarisi sebagian dari keluarga Ya’kub. Dan jadikan ia, wahai tuhanku, seorang yang Engkau ridhoi.”

Bahkan nabi Ibrahim ketika tidak juga kunjung dianugerahi keturunan, beliau mengulang-ulang permintaan kepada Allah agar diberi KETURUNAN YANG SHALIH (Rabbi Hab li minash shalihin). Beliau hanya minta diberi keturunan yang shalih, dan itu terbukti ketika anaknya diberitahu bahwa ia akan disembelih, sang anak (nabi Isma’il) oke saja. Dapatkah anda menyangkal fakta bahwa ketaatan Isma’il itu bukanlah pertanda keshalihannya?

Doa para nabi dan orang-orang yang shalih tersebut bahkan terlontarkan sejak anak-anaknya belum lahir, bahkan belum dalam kandungan. Satu lagi yang sering kita lupakan, bahwa apakah kita telah berbuat baik kepada anak kita, bahkan sebelum ia lahir selain dengan berdoa?  Yaitu dengan memilihkan pasangan yang baik yang akan menjadi orangtuanya. Imam Syafi’I pernah pada suatu ketika berkata kepada anaknya, “wahai anakku, bersyukurlah kepada Allah. Sesungguhnya aku telah berbuat kepadamu bahkan semenjak engkau belum lahir.” Si anak bertanya keheranan, “wahai ayah, aku sungguh mengetahui engkau telah berbuat baik kepadaku setelah kelahiranku. Tapi bagaimana bisa engkau berbuat baik kepadaku sebelum aku lahir?” Imam Syafi’I menjawab, “sesungguhnya aku telah memilihkan istri yang shalihah sehingga ia bisa menjadi ibu yang terbaik bagimu.”

Jika sekarang kita mengawali pernikahan kita dengan kemaksiatan seperti berduaan sebelum menikah, saling melihat aurat dan bahkan berzina dengan calon pasangan kita, kemudian proses ini dilanjutkan kepada jenjang pernikahan, maka kebaikan apa yang dapat diharapkan dari ibadah yang diawali dengan kemaksiatan. Selanjutnya tentu dapat ditebak, generasi yang terlahir dari mereka pun sulit diharapkan kebaikannya, terutama jika orangtuanya tidak menyadari kesalahannya dengan bertaubat.

Karena itu sesungguhnya jika anak-anak kita enggan mendoakan kita, marilah kita bertanya kepada diri kita, apakah kita pernah mendoakan anak-anak kita? Marilah kita jujur kepada diri kita, seberapa sering shalat kita dihiasi dengan permohonan agar anak-anak menjadi shalih dan shalihat? Atau jangan-jangan bahkan kita termasuk jarang shalat, sehingga anak-anak kita juga tidak mendirikan shalat dan tidak bisa menjadi shalih dan shalihat. Para ulama pernah menasehati, “lisan al-hal afshah min lisan al-maqal” nasehat yang dilakukan dengan dengan teladan perbuatan lebih memberikan dampak daripada nasehat dengan mulut semata. Dan ahrus kita akui, factor keteladanan ini semakin langka seiring perkembangan zaman. Apakah kita termasuk orag tua yang dapat diteladani oleh anak-anak kita? Jika memang kita jarang mendoakan anak-anak kita dan menjadi teladan bagi mereka, segeralah kita sadari bahwa kita sedang berlaku durhaka kepada anak-anak kita. Dan konsekuensinya kita sedang menginvestasikan anak-anak kita, asset masa depan kita yang sebenarnya kepada KEDURHAKAAN. 

Berarti pula, kita sedang menutup pintu mengalirnya pahala dari doa anak-anak kita setelah kita meninggal kelak. Semoga Allah melindungi kita dari yang demikian. Allahumma amin.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution