Investasi Kedurhakaan
Membaca judul diatas terus terang saya sendiri agak “merinding”.
Berbicara tentang investasi atau asset, bisa jadi pikiran kita melayang
kepada tabungan, deposito, tanah, dan lain sebagainya. Tetapi konsekuensi kita menginvestasikan anak sebagai asset masa depan yang sebenarnya kepada KEDURHAKAAN. Silahkan simak selengkapnya, semoga bermanfaat buat kita sebagai Orang Tua dengan judul :
Investasi Kedurhakaan.
Tetapi sesungguhnya kita semua berpotensi untuk berinvestasi dalam
kedurhakaan. Kita tentu sering mendengar sebutan “ANAK DURHAKA”. Julukan
ini tersematkan kepada seorang anak yang tidak berbakti kepada orang
tuanya, sering berbuat maksiat, dan lain sebagainya. Apalagi sekarang
banyak keluhan dari para orangtua, juga guru-guru, betapa mendidik anak
sekarang sangatlah sulit. Dinasehati, mereka membantah. Dibiarkan mereka
semakin berani. Jadilah para orangtua dan guru ini berada dalam posisi
dilematis. Maju kena, mundur kena. Ibarat makan buah simalakama.
Akhirnya stigma “ANAK DURHAKA” sering muncul mengiringi pertumbuhan
anak-anak yang “kenakalannya” tidak terkendali.
Sebenarnya, jika kita meluangkan sedikit waktu untuk berkontemplasi,
bisa jadi label DURHAKA ini lebih pantas disematkan kepada kita sebagai
orangtua. Ketika ada seorang anak yang tidak mau mendoakan orangtuanya,
padahal doa anak menjadi salah satu pintu pundi-pundi amal bahkan ketika
orangtua telah tiada, maka pertanyaan pertama yang harus diajukan
adalah, apakah orangtua ini pernah atau sering mendoakan anaknya? Banyak
diantara kita tidak sadar bahwa para nabi dulu menganggap penting doa
bagi anak-anak mereka menjadi generasi shalih. Ada doa yang sangat
terkenal dalam surat al-Furqan 74 (hayo… para orangtua harus tahu)
“Rabbana Hab lana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a’yun. Waj’alna lil muttaqin imaman”
Wahai tuhan kami, anugerahkan kepada kami dari istri-istri dan anak
keturunan kami sebagai penyejuk mata kami. Dan jadikanlah kami pemimpin
bagi orang-orang yang bertakwa.
Surat Maryam ayat 5-6 juga merekam doa nabi Zakaria di usia senja
yang memohon seorang putra. Tidak cukup hanya memohon seorang putra,
beliau juga meminta putra yang dapat melanjutkan proses kebaikan yang
dirintisnya, dalam rangka mencari ridho tuhannya.
“Maka anugerahakan aku seorang putra dari sisiMu. Yang akan mewarisiku dan mewarisi sebagian dari keluarga Ya’kub. Dan jadikan ia, wahai tuhanku, seorang yang Engkau ridhoi.”
Bahkan nabi Ibrahim ketika tidak juga kunjung dianugerahi keturunan,
beliau mengulang-ulang permintaan kepada Allah agar diberi KETURUNAN
YANG SHALIH (Rabbi Hab li minash shalihin). Beliau hanya minta diberi
keturunan yang shalih, dan itu terbukti ketika anaknya diberitahu bahwa
ia akan disembelih, sang anak (nabi Isma’il) oke saja. Dapatkah anda
menyangkal fakta bahwa ketaatan Isma’il itu bukanlah pertanda
keshalihannya?
Doa para nabi dan orang-orang yang shalih tersebut bahkan
terlontarkan sejak anak-anaknya belum lahir, bahkan belum dalam
kandungan. Satu lagi yang sering kita lupakan, bahwa apakah kita telah
berbuat baik kepada anak kita, bahkan sebelum ia lahir selain dengan
berdoa? Yaitu dengan memilihkan pasangan yang baik yang akan menjadi
orangtuanya. Imam Syafi’I pernah pada suatu ketika berkata kepada
anaknya, “wahai anakku, bersyukurlah kepada Allah. Sesungguhnya aku
telah berbuat kepadamu bahkan semenjak engkau belum lahir.” Si anak
bertanya keheranan, “wahai ayah, aku sungguh mengetahui engkau telah
berbuat baik kepadaku setelah kelahiranku. Tapi bagaimana bisa engkau
berbuat baik kepadaku sebelum aku lahir?” Imam Syafi’I menjawab,
“sesungguhnya aku telah memilihkan istri yang shalihah sehingga ia bisa
menjadi ibu yang terbaik bagimu.”
Jika sekarang kita mengawali pernikahan kita dengan kemaksiatan
seperti berduaan sebelum menikah, saling melihat aurat dan bahkan
berzina dengan calon pasangan kita, kemudian proses ini dilanjutkan
kepada jenjang pernikahan, maka kebaikan apa yang dapat diharapkan dari
ibadah yang diawali dengan kemaksiatan. Selanjutnya tentu dapat ditebak,
generasi yang terlahir dari mereka pun sulit diharapkan kebaikannya,
terutama jika orangtuanya tidak menyadari kesalahannya dengan bertaubat.
Karena itu sesungguhnya jika anak-anak kita enggan mendoakan kita,
marilah kita bertanya kepada diri kita, apakah kita pernah mendoakan
anak-anak kita? Marilah kita jujur kepada diri kita, seberapa sering
shalat kita dihiasi dengan permohonan agar anak-anak menjadi shalih dan
shalihat? Atau jangan-jangan bahkan kita termasuk jarang shalat,
sehingga anak-anak kita juga tidak mendirikan shalat dan tidak bisa
menjadi shalih dan shalihat. Para ulama pernah menasehati, “lisan al-hal
afshah min lisan al-maqal” nasehat yang dilakukan dengan dengan teladan
perbuatan lebih memberikan dampak daripada nasehat dengan mulut semata.
Dan ahrus kita akui, factor keteladanan ini semakin langka seiring
perkembangan zaman. Apakah kita termasuk orag tua yang dapat diteladani
oleh anak-anak kita? Jika memang kita jarang mendoakan anak-anak kita
dan menjadi teladan bagi mereka, segeralah kita sadari bahwa kita sedang
berlaku durhaka kepada anak-anak kita. Dan konsekuensinya kita sedang
menginvestasikan anak-anak kita, asset masa depan kita yang sebenarnya
kepada KEDURHAKAAN.
Berarti pula, kita sedang menutup pintu mengalirnya
pahala dari doa anak-anak kita setelah kita meninggal kelak. Semoga
Allah melindungi kita dari yang demikian. Allahumma amin.
0 komentar:
Posting Komentar