Jangan Membicarakan Aib Orang Lain
Tidak ada manusia yang sempurna dalam segala hal. Selalu saja ada
kekurangan. Boleh jadi ada yang indah dalam rupa, tapi ada kekurangan
dalam gaya bicara. Bagus dalam penguasaan ilmu, tapi tidak mampu
menguasai emosi dan mudah tersinngung, kuat di satu sisi, tapi lemah di
sudut yang lain.
Dari situlah kita harus cermat mengukur timbangan penilaian terhadap
seseorang. Apa kekurangan dan kesalahannya. Kenapa bisa begitu, dan
seterusnya. Seperti apapun orang yang sedang kita nilai, keadilan tidak
boleh dilupakan. Walaupun terhadap orang yang tidak disukai, yakinlah
kalau di balik keburukan sifat seorang mukmin, pasti ada kebaikan di
sisi yang lain.
Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang beriman agar senantiasa bersikap adil. Perhatikan firman-Nya berikut ini: “Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al maidah [5]:8)
Dengan timbangan yang adil, maka penilaian kita bisa jadi
proporsional. tidak serta-merta menilai bahwa orang itu pasti salah.
Mungkin ada sebab yang membuat ia lalai, lengah, dan kehilangan kendali.
Bahkan mungkin jika kita berada di posisi dan situasi yang sama, kita pun tidak lebih bagus dari orang yang kita nilai. Karena itu, lihatlah terlebih dahulu kekurangan dalam diri kita sebelum kita menilai kekurangan orang lain.
Ego manusia cenderung mengatakan kalau ”sayalah yang lebih baik dari
yang lain”. Ego seperti inilah yang kerap membuat timbangan penilaian
jadi tidak adil.
Kesalahan dan kekurangan orang lain begitu jelas, tapi kekurangan diri sendiri tidak pernah terlihat.
Padahal, kalau saja bukan karena anugerah Allah SWT yang berupa
tertutupnya aib diri, tentu orang lain pun akan secara jelas menemukan
aib kita.
Sebagian dari kita, ada yang bisa menahan diri untuk tidak membuka
dan membicarakan aib orang lain, tapi ada juga sebagian dari kita yang
sulit menahan diri untuk tidak mengabarkan keburukan seseorang kepada
orang lain. Bagi sebagian orang, hal ini terasa sulit, karena lidah
kerap kali usil. Selalu saja tergelitik untuk menyampaikan isu-isu baru
yang menarik. Walau sebenarnya dia mengetahui, bahwa sesuatu yang
menarik buat orang lain kadang buruk buat objek yang dibicarakan. Di
situlah ujian seorang mukmin untuk mampu memilih dan memilah, mana yang
perlu dikabarkan dan mana yang tidak. Perhatikan sabda Rasulullah SAW
sebagai berikut: “Tidak akan masuk surga orang yang suka mendengar-dengar berita rahasia orang lain.” (Al-Bukhari).
Sebaiknya, sebelum kita memberi reaksi terhadap aib orang lain,
lihatlah dengan jujur seperti apa diri kita lebih baik atau lebih buruk?
Apabila ternyata kita lebih baik, maka bersyukurlah, namun jika
ternyata kita lebih buruk, maka segera bertobatlah. Inilah yang dimaksud
dengan: ”bahwa seorang mukmin, adalah cermin bagi mukmin lainnya. Dan
bila kita menemukan bahwa diri kita masih lebih baik dari saudara
semukmin kita, jangan menjadikan kita sombong dan jangan menyebarkan aib
orang lain”.
Seorang mukmin dengan mukmin lainnya adalah bersaudara. Perhatikan firman Alllah SWT brikuit ini: ”Orang-orang
beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat. (QS. Al Hujuraat [49] : 10)
Ketahuilah, orang yang gemar membicarakan aib orang lain, sebenarnya
tanpa ia sadari, ia sedang memperlihatkan jati dirinya yang asli. Yaitu,
tidak bisa memegang rahasia, lemah kesetiakawanannya, penggosip,
penyebar berita bohong (karena belum tentu yang diceritakannya benar).
Ketahuilah, semakin banyak aib yang ia bicarakan/sebarkan, maka semakin
jelas keburukan diri si penyebar.
Perhatikan firman Allah SWT berikut ini: ”Sesungguhnya
orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu
tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang
pedih di dunia dan di akhirat … (QS. An-Nur: 19).
Dan perhatikan juga firman-Nya dalam ayat yang lain: ”Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu
menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di
antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al Hujurat [49] :12).
Perhatikan hadits berikut ini: ”Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya sesama muslim, maka Allah SWT akan membelanya dari neraka kelak di hari Kiamat.” (HR. Tirmidzi 1932, Ahmad 6/450)
Perhatikan sabda Rasulullah SAW berikut ini: ”Tahukah kalian apa itu ghibah? Jawab
para sahabat : Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui. Maka kata
Nabi saw: “engkau membicarakan saudaramu tentang apa yang tidak
disukainya. Kata para sahabat: Bagaimana jika pada diri saudara kami itu benar ada hal yang dibicarakan itu? Jawab Nabi SAW:
Jika apa yang kamu bicarakan benar-benar ada padanya maka kamu telah
mengghibah-nya, dan jika apa yang kamu bicarakan tidak ada padanya maka
kamu telah membuat kedustaan atasnya.”(HR Muslim/2589, Abu Daud 4874, Tirmidzi 1935)
Jadi bila masih ada dari kita yang kadang masih suka membicarakan dan
atau mengungkapkan aib orang lain (sekalipun aib itu benar) maka
sadarlah segera, karena ghibah merupakan dosa besar yang hanya akan
diampuni, setelah orang yang kita ghibah memaafkan kita. Dan biasanya,
kebanyakan dari kita, sangat malu untuk meminta maaf dan mengakui
kesalahan kita, pada orang yang telah kita bicarakan aibnya.
“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Apabila melihat aib padanya, dia segera memperbaikinya.” (Al-Bukhari)
Dewi Yana
1 komentar:
berkaca pada diri sendiri itu perlu . tapi kalau berkaca dari orang lain apakah perlu juga ya
Posting Komentar