Kisah Sukses Dewandra Djelantik dari Bidikan Lensa (Bisnis Photography)
Dari bìdikan lensanya, berlembar-lembar rupiah dan networking dengan agensi-agensì foto terkemuka pun mengalir dengan derasnya.
Kantornya tak begitu besar, berada dalam satu kompleks rumah pribadi dibilangan pulau Natuna Denpasar. Dari sanalah, seorang Dewandra Djelantik mengendalikan Bisnis Jasa Photography.
Orderan photoshoot berdering, aktivitas
editing hingga perumusan konsep-konsep kreatif untuk project
fotografinya pun mewarnai hari-hari Dewandra Djeiantik Photography.
Nama Dewandra sendiri
mungkin belum terlalu familiar ditelinga orang awam, namun dimata para
pencinta fotographi, model selebritis, expatriat di Bali, Dewandra Djelantik adalah salah satu fotografer paling berbakat yang pernah dimiliki Bali.
Namanya melejit di Dunia photography
international lewat pameran dan publikasi foto – fotonya di beberapa
Media kondang. Penelope Cruz, Tara Reid dan model-model tersohor dunia
lainnya pun pernah ia abadikan dengan bidikan kameranya.
Pria Kelahiran 7 Desember 1977 ini
sehari-harinya berkutat dengan berbagai kegiatan photoshoot untuk
Fashion, Restoran, Hotel, produk, dan sebagainya.
Pangsa pasarnya yang membidik kalangan internasional membuat portofolio bisnis fotografi milik putra dari A.A Gede Sudewa Djelantik ini pun semakin kokoh dan menjanjikan.
Berawal dari sebuah hobi tanpa
pendidikan formal tentang fotografi, alumni SMAN 1 Denpasar ini pun
menekuni bidangnya secara otodidak dan terbukti berhasil Menguasai pasar
fotografi kelas premium di Bali. Apa rahasianya?
Berikut petikan lengkapnya!
Jadi bagaimana ceritanya Anda bisa jatuh cinta dengan fotografi?
Saya begitu pertama ketemu dengan yang
namanya fotografi itu seperti jatuh cinta pada pandangan pertama,
hehehe. Dari SD sih saya sudah senang banget fotografi, tapi saya baru
punya kamera pertama yang pocket itu sejaksaya SMP. Jadi ceritanya
begini, saya memang dari kecil senang foto, karena pengaruh dari kakek
saya yang juga hobi foto.
Beliau kemana-mana menenteng kamera,
sibuk sendiri dengan kameranya. Saya jadi tertarik melihatnya, karena
sepertinya kok seru banget. Setelah kakek saya tiada, hobi fotografi ini
diturunkan juga ke ayah saya. Ayah saya senang motret, tapi tidak
sesenang kakek saya dulu, jadi akhimya saya yang malah sering
ambil-ambil kamera Ayah dan saya pinjam. Sampai akhirnya , beliau
menyadari bahwa hasil foto-foto saya lumayan bagus. Akhirnya Ayah
membelikan saya camera pocket untuk saya sendiri. Saya juga setiap tahun
melengkapi diri saya dengan kamera, baik meminjam punya Ayah, punya
Kakek, atau milik saya sendiri.
Menurut Anda, apa yang menarik dari fotografi?
Saya senang fotografi karena dengan
fotografi kita bisa merekam suatu momen dan kita bisa ingat terus. Momen
itu kan, tidak akan pernah bisa terulang lagi, walaupun gerakannya
persis sama dan tempatnya persis sama. Momen itu tidak akan ada yang
sama. Dengan fotografi, kita bisa merekam dan mengabadikan momen itu.
Inilah yang menjadi alasan, mengapa saya senang dengan fotografi,
apalagi kalau saya bisa membuat suatu foto itu berbicara.
Awalnya Anda paling senang foto objek seperti apa?
Pertama saya paling senang foto makro.
Jadi, saya senang foto sesuatu yang kecil begitu. Foto makro ini juga
bisa memotret apapun yang ada di sekitar kita, jadi gampang. Selain itu
saya juga senang memotret orang. Jadi saya foto bapak saya, ibu saya,
adik-adik saya, bahkan sampai anak-anak asuh yang ada di rumah saya. Itu
saja sih, objek-objek saya dulu. Sampai pada akhirnya waktu saya
sekolah saya bertemu dengan teman-teman yang juga suka dengan fotografi.
Dari sana kami mulai mencari objek-objek baru untuk difoto, misalnya
landscape, human interest, dan sebagainya.
Sebelum berkarir di bidang fotografi, apakah Anda pernah mencicipi pekerjaan di bidang lain?
Dulu sebenarnya saya berbisnis di bidang
komputer. Saya lulusan IT di Surabaya. dan akhirnya bergerak di bidang
software disana. Saya pulang ke Bali sehabis menikah, terus terang dalam
keadaan broke karena ditipu orang di Surabaya. Pertama saya di sini
kasarnya jual pulsa, modem, macam-macam deh. Saya beli di Jakarta dan
kemudian saya bawa pulang, jual-jual disini. Saat itu saya juga sering
foto-foto, tapi belum dibayar.
Apa yang akhirnya membuat Anda memutuskan untuk menjadi Fotografer Profesional?
Setelah pulang ke Bali saya berpikir,
mau mengerjakan apa ya habis ini?! Saat itu, bisnis komputer memang
sudah mulai banyak. Saya jadi lumayan sering foto-foto untuk teman-teman
saya, dan ternyata banyak yang suka. Sampai suatu saat, saya bertemu
dengan orang Spanyol yang kebetulan memiliki beberapa hotel di sini.
Saya menunjukkan foto-foto saya ke
beliau, dan beliau suka dengan foto-foto saya. Beliau mengusulkan saya
jadi fotografer profesional saja. Pertama saya ragu, masa sih foto kayak
begini laku? Beliau akhirnya menawarkan saya untuk mengambil beberapa
foto untuk hotelnya yang ada di Bali. Setelah jadi, beliau sangat senang
dengan hasilnya dan kembali mengusulkan saya agar saya menjadi
fotografer profesional. Saya akhirnya memutuskan untuk mencoba saja.
Lalu bagaimana ceritanya ketika awal-awal memulai karir di bidang fotografi tersebut?
Orang Spanyol yang mengusulkan saya
menjadi fotografer itu kemudian mengajarkan saya macam-macam dan
memberitahu saya tips-tips berguna untuk sisi bisnisnya. Beliau yang
memberitahu saya, agar jangan pernah menjual murah. Kalau saya tidak
yakin dengan kemampuan saya sendiri, lebih baik kasih gratis saja
daripada kelihatan murahan.
Untungnya, saat itu saya masih ada
kerjaan lain yaìtu yang di bidang IT itu tadi, kalau itu tidak ada
mungkin dulu saya sudah sempat jual murah juga kali ya, hehehe… Tapi
ternyata apa yang dikatakan orang itu benar. Dengan cara saya tidak
pernah menjual murah seperti ini, saya menempatkan diri saya di suatu
level tertentu.
Juga pada saat itu, tahun 2003, di
Indonesia ini ada yang namanya fotografer.net. Itu adalah tempat
berkumpulnya fotografer – fotografer, mulai dari yang baru belajar
sampai yang sudah senior. Disanalah saya bertemu dengan teman-teman
fotografer saya, dan kami membentuk komunitas.
Kalau ada yang datang ke Bali saya
temenin, sekalian belajar dari mereka cara untuk menjadi profesional.
Selain itu saya juga belajar hal-hal yang tidak disenangi klien dari
fotografer, dan hai itu saya catat dan saya jadikan formula untuk saya
menjadi fotografer nanti. Akhirnya saya coba, dari satu klien ke klien
yang lain, dan ternyata mereka semua senang dengan hasilnya. Saya selalu
minta kritik dan masukan dari mereka, hingga sampai saat ini.
Ngomong-ngomong apakah Anda
memang sudah membekali diri dengan kamera dan alat-alat pendukung untuk
pemotretan profesional di awal-awal karir Anda?
Wah, dulu alat saya minim sekali, karena
kan mahal banget. Tapi dulu saya dibantu oleh teman saya, Pak Adrianto,
pemilik Sosis Aroma. Beliau punya alat canggih-canggih. Sayangnya
beliau sering beli tapi nggak pernah dipakai, dan bahkan kadang-kadang
nggak tahu cara pakainya, hehehe… Malah justru kadang-kadang saya yang
disuruh cobain alat-alatnya beliau. Jadi kadang kalau saya lagi ada
kerjaan yang butuh alat-alat tersebut, saya sering pinjam ke Pak
Adrianto dan beberapa teman lain, nggak pakai kamera sendiri. Tapi kalau
dari klien ngelihatnya, “wah profesional banget ya orang ini alatnya
canggih!”
Tapi dari sana kalau saya punya uang,
saya sisihkan sedikit setiap kali sampai lama-lama terkumpul, kemudian
saya beli kamera dan sebagainya untuk menambah alat-alat saya sendiri.
Setiap ada pekerjaan yang membutuhkan alat tertentu, saya langsung
nabung untuk beli alat tersebut. Nggak berani kredit, karena waktu itu
kan pekerjaan masih belum menentu. Kalau sekarang, saya sih banyak
dibantu oleh Canon. Saya sering bicara untuk Canon, sehingga saya sering
dikasih kamera dan alat-alat dari Canon.
Kira-kira di tahun berapa bisnis fotografi Anda sudah bisa dikatakan benar-benar stabil?
Bisnis ini benar-benar sudah lengkap
kira-kira sekitar tahun 2006. Sekitar tahun 2007, saya sudah mulai
berani membayar pajak, dan tahun 2008 saya sudah mempunyai dua asisten.
Sekarang, asisten saya sudah berjumlah sebelas orang. Nggak kerasa sih
pertumbuhannya, soalnya prosesnya pelan-pelan. Sekarang saja, saya nggak
tahu saya adadi level mana,yang penting saya jalani saja terus.
Hai apa saja yang harus diperhatikan oleh fotografer kalau ingin menjadi seorangyang profesional?
Fotografi itu adalah sebuah protesi yang
sangat unik, karena bisa dibilang industri fotografi itu adalah art.
Kalau fotografer yang memang untuk art, terserah dia kapan dia mau foto.
Tapi kalau fotografer profesional yang komersial, kita harus
pintar-pintar mengatur mood kita. Saya menyebutnya manajemen mood.
Kadang-kadang kan, pasti ada perasaan jenuh dengan pekerjaan. Sebagai
fotografer profesional yang baik, kita harus bisa mengatur mood kita
itu, karena kalau mood kita jelek, akan sangat jelas terlihat di hasil
fotonya. Apalagi ketika klien datang dengan konsep yang berbeda dengan
konsep kita, disanalah kita harus belajar untuk mengontrol mood kita.
Lalu bagaimana cara mengontrol mood tersebut?
Kalau saya sih belajar mengontrol moodu
dengan yoga dan meditasi. Sampai sekarang, saya masih belum menemukan
cara lain yang lebih baik daripada itu.
Selain mood management, apakah ada lagi yang harus diperhatikan?
Satu lagi tentunya manajemen uang. Hal
ini selalu menjadi masalah di bidang usaha manapun, tetapi untuk bidang
fotografi itu sedìkit lebih susah, karena fotografi itu kan seni. Orang
seni itu biasanya lebih mementingkan seni dibandingkan uang, jadi hai
itu sudah bukan prioritas pertama lagi. Apalagi kalau punya uang
dikit-dikit sudah ingin beli kamera lagi. Makanya saya menyerahkan
masalah keuangan ke asisten dan istri saya. Saya lepas masalah itu, yang
penting di dompet saya ada uang dan kalau saya swipe kartu kredit bisa,
hehehe…
Bagaimana dengan manajemen waktu? Apakah hai itu juga penting untuk fotografer?
Sangat penting. Agar orang percaya
dengan kita, kita harus bisa tepat waktu dalam segala hai. Mulai dari
meeting, waktu photoshoot, dan editing. Kalau bilang sama klien selesai
dalam tiga hari, ya harus selesai dalam tiga hari dan hasilnya harus
akurat. Semakin akurat kita, semakin banyak klien yang senang. Setelah
saya bertanya ke banyak orang, orang-orang senang fotografer yang cepat.
Untuk melakukan hai ini, saya sampai harus merekrut tiga orang untuk
mengedit foto-foto saya agar bisa memproses hasil photoshoot dengan
cepat dan tepat waktu.
Bagaimana cara Anda menentukan harga untuk jasa fotografi Anda sendiri?
Pertama kali saya memasang harga, justru
disarankan dari klien. Saya yang bertanya kalau pekerjaan seperti yang
mereka minta kira-kira budget-nya berapa. Klien saya memberitahu saya
harga yang mereka dapat dari fotografer yang lain, dan saya akhirnya
memutuskan untuk menyamakannya saja. Dalam hati saya kaget juga,
ternyata lumayan banyak.
Setelah itu, saya melihat kira-kira
biaya saya untuk mengerjakan pekerjaan itu berapa, dan setelah itu saya
mikirin di pasar kira-kira pekerjaan itu dihargain berapa sama
orang-orang. Kemudian saya coba-coba saja, sih. Misalnya saya
mengeluarkan satu angka di satu klien. Kalau klien tidak terlalu gampang bilang iya tapi tetap setuju, berarti
harganya pas. Kalau klien sudah langsung menyambar harganya dan setuju,
nah, itu berarti kemurahan. Saya coba hai ini di beberapa tempat. Harga
saya juga nggak gila-gila banget, kok. Kalau harga yang saya pasang
sudah nggak kesentuh lagi sama pasar kan, saya cari kerjaan juga susah.
Dalam bidang fotografi, perlu tidak menggunakan strategi marketing?
Perlu sih, tetapi cara marketing-nya
fotografer itu beda dan unik dibandingkan bidang usaha lainnya. Kalau
untuk fotografer, cara marketing yang palingampuh itu ya dari mulut ke
mulut. Karena fotografi itu artjadi itu melibatkan toste para klien. Hai ini tidak bisa dikomunikasikan lewat
iklan-iklan seperti misalnya iklan bank. Strategi marketing para
fotografer itu lebih ke arah dari mulut ke mulut, bicara di suatu tempat
atau acara, atau juga bisa ngeblog atau social media, misalnya saya
foto dan setelah itu saya masukkan ke Instagram. Cara-cara ini lebih
ampuh dibandingkan iklan.
Kami dengar Anda juga senang foto figur perempuan yang nu-de. Bisa tolong ceritakan sedikit?
Oh, iya. Jadi ceritanya saya itu memang
senang dengan sculpture, patung yang nu-de itu. Saya mikir, kalau figur
perempuan difoto nu-de seperti sculpture begitu bagus juga ya, seperti
nu-de art. Jadi akhirnya saya coba sebagai personal project. Mungkin
beritanya tersebar dari mulut ke mulut, akhirnya ada juga klien yang
minta untuk difoto nu-de dan dia mau bayar, karena dia sudah lama
mencari-cari fotografer yang bisa foto nu-de dan tentunya bisa
dipercaya.
Saya pertama mengira bisnis nu-de
photography itu bukan bidang yang menjanjikan, tapi ternyata banyak
sekali yang berminat. Kliennya iokal ada, internasional pun ada.
Kebanyakan ingin foto nu-de untuk koleksi pribadi. Sekarang, saya
misalnya kerja seminggu empat kali atau lima kali, dua harinya saya
memotret nu-de. Dari sana saya jadi mulai belajar anatomi tubuh juga,
supaya tahu bagaimana cara memotret nu-de supaya hasilnya bagus.
Awalnya merasa risih nggak saat pertama kali melakukan photoshoot nu-de!
Untuk pertama kalinya pasti merasa aneh,
ya. Tetapi saya sudah janji kok ke istri saya untuk tidak pernah foto
nu-de sendiri. Saya harus ditemani oleh seorang asisten. Kalau klien
tidak mau asisten laki-laki, saya juga punya asisten perempuan. Yang
mengedit hasil foto yang nu-de juga bukan saya, tapi asisten saya yang
perempuan.
Selain Dewandra Djelantik Photography ini, apa Anda punya usaha lainnya?
Sekarang saya punya asosiasi yang
bernama Tree, berupa manajemen fotografi. Jadi saya mengajak teman-teman
saya yang punya visi sama, dan saya kebetulan menjadi kepalanya. Semua
pasar yang ada di Bali ini saya siapkan di dalam asosiasi ini.
Contohnya, ada fotografer untuk perhiasan. Dia Jago sekali di dalam
bidangfoto untuk perhiasan, tidak ada yang bisa menandingi dia di dalam
bidang itu. Saya rekrut orangnya dan jika saya dapat klien yang meminta
foto perhiasan, saya berikan pekerjaan itu ke dia. Ada juga yang khusus
foto anak-anak, khusus foto binatang, dan macam-macam.
Kalau secara pribadi, styte fotografi Anda sejujurnya lebih mengarah ke seperti apa?
Nah, ini susahnya fotografer komersial.
Kami nggak boleh punya style. Kami harus mengikuti klien maunya apa,
jadi kerjanya by request. Kalau saya pribadi sih senangnya foto nature,
tapi saya nggak boleh maksain. Sebagai seorangfotografer komersial saya
harus bisa mengikuti pasar, walaupunjadinya nggak ada spesifikasi, tapi
fotonya menjual dan informatif.
Apakah fotografer kita bisa bersaing
dengan fotografer luar, karena banyak kasus di Bali dimana kaum ekspat
malah justru cenderung menggunakan jasa fotografer asing ketimbang
fotografer lokal sendiri.
Apa masalah sesungguhnya?
lya itu memangseringterjadi, biasanya
untuk pemotretan fashion kebanyakan. Banyak teman-teman fotografer lokal
yang kesal memang, namun mereka nggak bisa berbuat apa-apa, karena
mereka tak mampu bersaing untuk itu. Hai itu yang sering saya singgung
ke teman-teman saya, bahwa inilah kelemahan kita.
Jika kita tak senang orang-orang asing
itu menjajah kita, meremehkan kita lagi, kita harus smart untuk
menghadapi itu. Makanya, karena itu saya juga masuknya ke komunitas
bule. Jadi setiap harinya, ya saya hanya beredar di komunitas itu saja,
Saya foto di hotel itu, vila itu, restoran itu, otomatis ya saya ketemu
orang-orang dari komunitas itu. Terkadang juga teman-teman di sini nggak
mau belajar ya untuk melihat foto- foto di luar sana, mereka masih saja
pakai patokan yang di dalam negeri. Nah itu kan kembali lagi kita harus
bisa menyesuaikan dengan taste-nya klien yang notabene orang asing
itu. Kita harus bisa membaca maunya mereka itu seperti apa. Kita bisa
mulai dari membaca majalah-majalah luar, melihat tren yang sedang
berkembang di dunia. Kita orang Indonesia juga dikenal pemalu, nggak
suka banyak omong, mungkin ini juga yang membuat mereka underestimate ke
kita. Tapi meski kita diam seperti itu, kita juga tetap harus bisa
menunjukan kualitas kita sama mereka.
Bisa ceritakan mimpi atau cita-cita Anda yang belum terwujud?
Saya ingin membuat Bali menjadi sentral
photography destination untuk orang-orang luar. Saya mau mengambil pasar
untuk luar negeri, dan kita bikin coaching clinic untuk orang-orang
yang mau belajar foto dan punya foto yang bagus di Bali. Jadi kita bikin
satu sentral yang berisi guru-guru yang bisa mengajarkan fotografi ke
mereka dan sekalian juga mengantarkan mereka keliling Bali. Cuma
masalahnya, saya masih belum ketemu orang untuk mengatur ini. Kan, nggak
mungkin saya yang anterin mereka keliling-keliling Bali.
Selain itu, saya juga ingin
mengembalikan wibawa kampung saya Karangasem. Bukan mengembalikannya
seperti kerajaan dulu, tapi sekedar mengembalikan wibawanya saja. Tapi
untuk melakukan hai ini, saya harus mulai dari dalam dulu, yaitu dari
orang-orangnya. Saya juga berusaha mengikuti usul Pak Hermawan waktu
itu, yaitu untuk mencari orang-orang dari luar dan menempatkannya di
Karangasem supaya mereka bisa memberikan sesuatu untuk Karangasem. Dan
branding project untuk Karangasem itu sendiri baru mulai saya
realisasikan.
0 komentar:
Posting Komentar